• TPM|8 •

12.9K 655 75
                                    

Davren berjalan kesana dan kesini menunggu kehadiran adiknya yang belum juga terlihat membuat perasaan Davren tidak karuan. Rama yang berada disana pun tidak dapat menenangkan pria itu.

Rama menghela nafas kasar merasakan jengah karena Davren terlihat sangat gelisah. Ia tahu akan kekhawatir sahabatnya terhadap Dea. Tapi tidakkah Davren menyadari bahwa sejak tadi semua mata terarah kepadanya.

"Dav, duduklah! Kau tidak malu mereka bahkan menatap kau aneh." ucap Rama melipat kaki kakanannya keatas kaki kiri.

Davren mengedarkan pandangannya. Semua mata memang tertuju kepadanya tapi Davren, tidak peduli akan hal itu. Yang ia pedulikan sekarang adalah dimana Dea sekarang. Davren, membutuhkan penjelasan adiknya yang sudah membuat dirinya khawatir.

Davren menghempaskan bokongnya kesamping Rama. Amarahnya memuncak karena tidak ada satupun dari mereka yang menahan kepergian Dea. Padahal mereka tahu bahwa Dea tidak pernah pergi jauh ia selalu dalam pengawasan tapi sekarang justru gadis itu berada di bandara sendiri.

Sementara itu di tempat lain Dea menyeret kopernya dengan lesu. Perutnya terasa lapar karena saat meninggalkan rumah ia tidak sempat mengisikan perutnya lebih dulu. Kedua matanya terbelalak ketika di rasa melihat Davren dan Rama.

"Kakak?!" teriak Dea berlari menghampiri Davren dan Rama. Dia berlari sesekali menubruk tubuh orang lain.

Davren mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru telinganya masih berfungsi dengan baik. Ia mendengar suara adiknya Dea. Tidak hanya Davren tapi Rama, pun juga dapat mendengarkan suara Dea.

Rama menepuk pundak Davren sambil menunjuk kearah gadis yang sedang berlari.

"Dea?!" gumam Davren tubuhnya terhuyung kebelakang saat tubuh mungil itu menubruk tubuhnya.

"Kakak!" isak Dea memeluk Davren erat. "Aku ingin bersama kakak, aku tidak mau bersama Daddy dan Mommy!"

"Kenapa kau pergi meninggalkan rumah?" Davren melepaskan pelukan Dea. "Kamu tahu itu bisa membahayakan diri kamu?"

"Kak----"

"Kamu tahu? Kamu membuat kakak khawatir. Apa yang kamu lakuin itu salah De." sambar Davren menahan amarahnya.

Dea menunduk untuk pertama kalinya Davren memarahinya. Dirinya tahu bahwa ia salah karena pergi meninggalkan rumah tapi dia pergi karena tidak ingin meninggalkan Davren. Kakaknya hidup sendiri dan Dea ingin menemani kakaknya.

"Dea. Cuma mau sama kakak, nemenin kakak!" lirih Dea. "Mereka jahat kak, mereka tidak perduli dengan kakak."

"Dea----"

"Dea tidak suka dengan mereka yang seolah menganggap kakak orang asing. Dea, selama ini diam karena tidak mau ada keributan tapi kejadian saat di bandara itu membuat Dea, sadar kalau apa yang Daddy lakukan salah." sambar Dea. "Dea sedih Daddy memperlakukan kakak tidak adil."

Davren menghela nafas kasar. "Tapi tidak begini sayang, kamu membuat kakak khawatir!"

"Maafkan Dea kak."

Davren menarik Dea ke dalam pelukannya. "Jangan pernah ulangi hal bodoh yang membuat kakak khawatir!"

Dea mengangguk. "Ya kak, aku janji tidak akan mengulanginya lagi! Dea janji sama kakak!"

Davren mengecup kening Dea cukup lama. Lalu membawa adiknya pergi dari bandara sambil memeluknya. Sedangkan Rama hanya tersenyum ia meraih koper Dea dan menyeretnya.

Sesampainya di depan rumah. Davren turun sambil menggendong tubuh adiknya yang terlelap selama di perjalanan pulang adiknya terus menangis karena menceritakan pertengkaran sebelum Dea memilih pergi dari mansion. Davren membaringkan tubuh adiknya di kasur yang cukup besar ia mengecup kening adiknya lalu berjalan meninggalkan Dea yang tertidur pulas.

The Perfect Match [SUDAH DI BUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang