"Berarti, kalau sepuluh kali sepuluh bukan dua puluh dong?" Jeje menggelengkan kepalanya. "Lo kalau kaya gini ngitungnya San, jadi pedagang juga gak bakal kaya."

Jeje lalu bangun dan memberi buku itu pada Ihsan. "Nanti gue ajarin, rabu kan kita Sekolah tuh, makanya masuk rajin. Biar gak jadi sampah negara," ucap Jeje, mengusap kepala bocah itu. "Udah San, gue mau ngaso dulu capek."

"Kak Jeje abis tawuran?" Jeje mengangguk. "Iya tapi lo jangan ikut-ikutan, masih kecil."

"Kalau udah gede gue boleh gak?" Ihsan kini bertanya dengan polosnya.

Jeje merenyit, "Kalau tawurannya pake prestasi boleh San."

"Emang ada tawuran pake prestasi?"

"Ada." Jeje mengangguk mantab.

"Gimana tuh?"

"Makanya belajar biar ngerti." Jawab Jeje, dan segera berbalik meninggalkan Ihsan sendirian.

***

"Begadang jangan begadang... asik asik srrr, kalau tiada duit nyaa.... srrrr srrr, begadang boleh sajaa...... aaaaa... asal ada enengnyaa"

"Gue ogah si bang, begadang bareng lo." Jeje menggigit gorengannya dengan pandangan merenyit ke arah bang Dendi.

Bang Dendi berdecak dan mengebaskan kain lap kotak-kotak nya ke udara. "Yah si Jeje. Itukan lagu."

Jeje tertawa, "Makanya bang, kawin. Orang tuh kawin. Lo mau jadi bujang lapuk? hari gini belum nyebar undangan. Malu sama mantan."

Bukannya berkata sopan pada bang Dendi yang jelas umurnya terpaut jauh puluhan tahun dengannya, Jeje justru dengan sesuka hati berkata semaunya. Tak ada tata krama dalam lingkungan yang ia jalani seperti ini. Bergaul dengan warga pinggiran kota yang keras sudah menjadi hal biasa jika mereka saling melontarkan kata semena-mena.

Bang Dendi hanya tertawa sebagai ucapannya, niatnya yang ingin menjawab terurungkan karena ia keduluan didatangi seorang pembeli orang kantoran yang bekerja di depan kawasan ini. Perbandingan yang mencolok bukan? disetiap kawasan elit, pasti dibelakangnya adalah kawasan kumuh yang padat merayap tanpa jeda.

Tak berselang lama, tiba-tiba suara ponsel Jeje juga berbunyi dari saku jaket nya, Jeje membukanya, melihat username yang tertera lalu menjawab panggilannya. "Ada apa Roy?"

Jeje mampu mendengar napas Roy yang tersendat-sendat. "Je! buran kabur! polisi lagi lacak lo sek—"

"Selamat siang dengan Jasmine Rawnie?" napas Jeje tertahan seketika, ia mengangkat wajahnya dengan ekspresi tak terbaca, sedangkan ponsel yang ada ditelinga Jeje terlepas begitu saja dan jatuh diantara kedua pahanya membuat suara Roy yang memanggil namanya dari balik telepon meredam begitu saja. Mata jeje melebar dengan pandangan tak terartikan ketika tiba-tiba dua pria berumur matang berjaket serba hitam menyebut namanya dengan suara mencekam.

Jeje menelan salivanya. Pelan-pelan pandangannya mengeliling kesekitar. Dan saat ini semua mata terarah padanya. Tanpa ada aktivitas lain pun. Karena Jeje didatangi polisi!.

"Anda yang bernama Jasmine Rawnie? mari ikut saya ke Kapolsek." Jeje tak bisa berkata sesudahnya. Napas nya semakin susah dan lidah nya kelu ketika dua tangannya diajukan dan disatukan dengan borgol.

"Pak tap—" niat Jeje ingin membela diri dan menyela pun menggantung di udara begitu saja karena merasa percuma. Karena, apapun itu alasannya, Jeje tetap saja akan dibawa ke Kapolsek juga.

"Jelaskan nanti." Jeje segera bangun ketika salah satu polisi mendorong pundaknya. Sial. Pekiknya dalam hati. Biasanya nasib nya tak akan semalang ini. "Je!" pandangan Jeje menoleh sebentar pada bang Dendi. Namun Jeje tak sempat mengeluarkan kata karena salah satu polisi memutar kepalanya kedepan dan kembali mendorongnya secara kasar.

***

"Apa peran kamu dalam tawuran yang berlangsung tadi pagi?"

Mata Jeje terangkat menatap pak Nurman, Polisi yang sekarang sedang mengintrogasinya dengan tangan sibuk mengetik pada keyboard dan mata terarah pada layar komputer disampingnya. Entah untuk apa. "Pelengkap pak," Jeje menjawab sekenanya.

"Jawab yang benar!" pak Nurman menghentakan meja nya. "Saya bener kok pak." Jeje membalas dengan santai dan melirik ke arah lain.

Jawaban Jeje memang sudah yang terbenar. Tawuran itu segera bubar ketika ia baru saja ingin melayangkan linggis yang dibawa nya pada pelajar Sekolah lain yang menurutnya sebagai lawan. Jeje memang selalu menjadi bagian pemukul di tawuran mana pun. Selalu menutupi identitasnya dengan masker dan topi agar tak ada yang mengenalinya. Karena sekali ia berpandangan dengan lawannya sendiri, maka lawan itu akan segera mengenali Jeje. Karena Jeje memiliki cukup koneksi diri yang kuat dimana-mana.

"Siapa yang kamu ingin pukuli dengan linggis disana?"

Alis Jeje menaut. Belum ada. Belum ada sasarannya membuat Jeje menggeleng. "Kamu ini." Pak Nurman menekan keras tombol enter pada keyboard dengan ibu jarinya. "Pelajar mana kamu?!" kini pak Norman menautkan kedua jarinya di depan meja. Jeje tak akan menjawabnya. "Pramesta?" tanya pak Nurman menyebut nama SMA yang tadi menjadi pasukan tawurannya.

Jeje menggeleng lagi. "Bukan."

"Nama mu didaftar SMA Pramesta ini tak ada. Lalu kamu pelajar mana?"

"Pelajar SMA."

"Iya. Saya tahu!" pak Nurman bangun dari duduknya beriringan dengan meninggikan suaranya. Menumpu kedua telapak tangannya di atas meja yang menjadi pembatasnya dengan Jeje, lalu sedikit membungkuk menatap Jeje , berhasil menimbulkan atmosfir mencekam tapi Jeje tak gentar sama sekali.

Tapi, belum sempat Jeje membalas tatapan intimidasi dari pak Nurman, tiba-tiba pintu kaca ruangan tempatnya berada terbuka dari seberang sana, menampakan dua anggota Polisi memboyong dan mendorong seorang lelaki untuk masuk dengan kasar persis seperti yang dilakukan polisi itu untuknya tadi.

Mata Jeje justru teralihkan ke dua buah pilox yang menjadi barang bukti disana. Lalu terangkat menatap seorang pemuda dengan topi persis yang mirip seperti miliknya. Dan mencoba melihat lelaki itu yang terus menundukan wajahnya amat dalam.

Jeje mencoba melihat wajahnya barang kali ia mengenalinya. Dan mungkin saja lelaki itu terasa dipandangi, karena kini dia menaikan wajahnya dan segaris mata setajam elangnya yang berhasil bersitatap dengan pandangan Jeje yang juga dibalas tak kalah tajamnya oleh cewek itu.

"Siapa lagi bocah badung hari ini?" pak Nurman menaru satu tangannya di pinggang dan melihat sengit pada lelaki itu.

"Pelaku vandalisme yang mencoret-coret dinding tiang fly over Komandan." Pak Nurman seketika mendengus dengan keras.

Alis Jeje terangkat satu. Cowok itu baru ia lihat hari ini. Mungkin bukan satu komunitas pecinta grafiti dan mural jalan seperti dirinya. Karena mukanya cukup asing bagi Jeje.

Tak lama, setelah pandangannya mengikuti arah lelaki itu yang ternyata turut diintrogasi bersebrangan dengannya, seorang pria yang berusia yang nampak nya sebaya dengan pak Nurman—dengan mengenakan satu stel tuxedo hitam, turut masuk diruangan ini. Kelihatan sekali orang sibuk metropolitan dimata Jeje.

Dengan menarik napasnya, pria itu menyeka keringat tipisnya di dahi dan menatap pak Nurman lelah. "Itu putra saya Komandan," katanya pada pak Nurman.

Pak Nurman menoleh ke arah cowok disebrang Jeje dan kembali menatap pria dengan tuxedo itu. "Akan saya urus dia, kalian, urus cewek brandalan ini." Ucap pak Nurman memerintah dua anak bawahannya untuk berganti mengintrogasi Jeje yang tak kunjung kelar.

Berandalan?!.

Mata Jeje segera menoleh ke sebelah kiri, namun kembali lagi, mata nya justru lagi-lagi bertabrakan dengan mata cowok itu.

Siapa dia?.

***

Apa ayo.....

cerita ke 2 dong ini wkwk💃🏻
vote ya! ga vote ga asik.
updet sesuai sikon kayanya hehehe

terimakasi❤️
sha.

⬇️⬇️↗️
⭐️📝📨

Bad AttackWhere stories live. Discover now