EDISI KANGEN - 3) TENTANG PERSINGGAHAN

190K 4.7K 380
                                    


SEBELUM pindah ke SMA Adhi Wijaya, Ladit sering merasa kesepian yang aneh di National High. Sebuah perasaan bahwa dirinya bukan bagian dari NH. Tertinggal di belakang. Sejujurnya, Ladit Gardira selalu memiliki perasaan itu mengingat di tiap perkumpulan teman-teman orangtuanya, Ladit menjadi yang terkecil dibanding anak-anak lain. Yang jarak usianya paling dekat adalah Jasmine dan kedua kakak kembarnya, Larissa dan Fey, yaitu enam tahun. Yang lain, termasuk Liliana, sangat terlampau jauh dari Ladit.

Di perkumpulan yang berikutnya, Ladit yang berumur 16 adalah anak paling kecil di sana. Orangtuanya dan teman-temannya sedang mengobrol tentang prom night, yang tentu saja tidak Ladit mengerti, sementara anak-anak mereka—yang sudah Ladit anggap saudara sepupu—sedang mengobrol tentang hal lain. Mereka semua sudah masuk usia dua puluh, bahkan beberapa sudah berencana untuk menikah.

"Yang, inget, gak, waktu kamu marah-marah sama aku nolak ada prom night," Uncle Alvaro membuat Ladit tanpa sengaja menyimak percakapan mereka setelah sekian lama hanya termenung di sofa, dekat Seth.

Tante Anggi, mendelik ke arah Uncle Alvaro. "Mulai, mulai. Terus aja, Roo, mempermalukan istrinya di depan banyak orang. Aku udah biasa diginiin."

Ladit sekuat tenaga menahan tawa. Pertempuran sengit antara Tante Anggi dan Uncle Alvaro selalu membuat cerah suasana. Menurut ucapan Seth, anjing dan kucing itu selalu bertengkar seperti mereka masih SMA. Mungkin itu yang bikin mereka tetap awet muda. Karena di usia yang menginjak empat puluh ke atas, mereka masih terlihat bugar dan sehat. Semua unek-unek terhadap pasangan, diungkapkan begitu saja.

"Yeee, abisan, kamu ngotot banget pengen prom dihapus. Prom loh, Nggi."

"Prom itu budaya—"

Semua orang meneruskan kalimat itu dengan harmonisasi, "Barat."

Anggi menggerutu, "Tuh tau. Pinter."

Tawa geli menguar di ruang keluarga rumah Paman Juna. Termasuk Ladit, yang tawanya berusaha ditahan sekuat mungkin, karena kalau tidak, Ladit tidak akan kebagian martabak dan sosis keju legendaris buatan Tante Anggi yang kelezatannya melegenda.

Setelah itu, obrolannya mulai membosankan, membuat Ladit sempat mengantuk. Setelah ketiga kali kepalanya terantuk bahu Seth, papanya itu pun mulai bersuara. "Ladit gak mau ke rumah pohon aja? Ada komiknya Paman Julian di sana."

Nama Ladit yang dibawa ke obrolan membuat teman-teman Seth memusatkan perhatian ke arahnya.

"Ladit ikut main film lo, kan, Seth?" tanya Mika. "Kenapa gak gue, sih, gue kan pangeran jagat raya."

Seth menaikkan alisnya ke arah Mika. "Ye, yang pangeran itu Miles, bukan elo."

"Ladit jadi Ladit, kan?" tanya Om Matt.

Ladit mengangguk pelan. Dia masih saja tidak begitu nyaman bicara dengan teman-teman Seth.

"Yang semangat, dong," hibur Tante Mou dengan senyum cerianya. "Bentar lagi kan, jadi seleb!"

Seth tertawa. "Awas aja, ya, kalo kamu pas terkenal lupa Papa, Dit."

"Emangnya elo, Seth, langsung lupa kita-kita pas jadi sutradra," ledek Julian. "Ladit mah, gak kayak bapaknya. Ya kan, Dit?"

Ladit tidak menimpali ucapan mereka meski dia melayangkan senyum kecil ke arah Mou, alih-alih, Ladit beranjak ke rumah pohon. Tanpa Ladit sadari, Juna melihat pergerakannya. Hanya Paman Juna, sementara yang lain sibuk melanjutkan obrolan mereka.

"Eh, gue ambil minum dulu bentar," ucap Juna seraya berdiri dari duduknya.

Alih-alih ke dapur, Juna menuju ke arah Ladit yang sedang memanjat rumah pohon. Juna tersenyum, kemudian ikut menyusul di belakang Ladit. Ladit yang setengah jalan menoleh ke belakang. Meski heran, Ladit tetap memanjat hingga sampai di rumah pohon.

R: Raja, Ratu & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang