BAB 54

340K 22.4K 1.4K
                                    

Over and Over Again - Nathan Skyes

BAB 54

AKHIR-akhir ini, Raja mencampakkan Ratu.

Ratu membuka pintu utama rumahnya. Jalannya lunglai menuju sofa ruang keluarga. Mata Ratu tertuju pada langit-langit.

Awalnya, langit-langit itu tampak jelas. Ada lampu gantung di sana, di pinggirnya ada ukiran gips yang indah. Namun semakin Ratu melihatnya, semakin buram pandangannya.

Ratu terisak seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sejak Raja mengantarnya pulang ... mereka tidak lagi bertukar sapa. Untuk memanggil nama pun, lidah Ratu seolah kelu. Ratu tidak bisa menjelaskan semuanya kepada Raja di saat cowok itu sama sekali tidak mengucap satu kata pun padanya.

"Lho, Ratu? Kok udah pulang?"

Suara Reon tidak Ratu hiraukan.

"Kan gue mau jemput, Rat," sahut Reon lembut. Dia duduk di samping Ratu sambil mengusap punggung adiknya yang bergetar. "Kenapa?"

"Ratu kesel, Bang," keluh Ratu dengan bibir bergetar. Gadis itu memeluk tungkai kakinya dan bersandar pada bahu abangnya.

"Kesel?"

"Kesel sama diri Ratu sendiri yang sembunyiin sesuatu dari Raja. Kesel karena semuanya terlambat."

Awalnya, Reon tidak mengerti maksud adiknya. Namun setelah ia mengingat-ingat, dia berhasil menyambungkan benang merah yang membingungkan itu.

"Jadi kamu nggak ngasih tau Raja, kalo kamu ikut Komplotan Rahasia?"

Ratu mengangguk seraya memeluk Reon. Dengan bakat sebagai abang, Reon memeluk Ratu lebih erat sambil menenangkan.

"Uuu, Tayang-Tayang, jangan nangis lagi, ya. Abang nggak bawa permen," ucap Reon dengan bercanda.

Sejak kapan kata sayang menjadi tayang? Dasar, Reon!

"Ratu tuh lagi serius, Bang," keluh Ratu sambil mencubit sepenuh tenaga lengan Reon.

"WADAW!! Sakit banget, Rat, cubitannya. Lo emang punya bakat buat nyiksa orang, ya."

"Dasar, Abang nggak sensitif, nggak peka, nyebelin, nggak punya perasaan!"

"Ya ampun, Adikku Tayang," Reon mengulas senyum kecil, "Sini-sini, marahin Bang Reon aja. 'Kan Ratu Tayang mah nggak bisa marahin Leon, Agung, sama Raja sekaligus."

Sontak, tangis Ratu berhenti. Dia mengusap sisa air matanya, lalu menatap lebih jelas abangnya yang berbeda sembilan tahun darinya.

"Abang ... tau?" tanya Ratu tak percaya.

Abang tahu tentang kebingungannya?

Abang tahu masalah Ratu?

Sejak kapan?

"Tau, dong. Gue ini Abang Super. Gue tau masalah Dede Gemes kayak Ratu."

"Ih, Bang!" desis Ratu, "Bang Reon kapan sih, nggak bercanda?"

Reon melepas tawa geli seraya mengelus puncak kepala Ratu. "Masa, Abang harus ngomong yang serius-serius mulu? Bukannya seneng, Ratu malah makin stress. Udah dong, nangisnya. Bang Reon emang nggak bawa permen, tapi bawa spaghetti dari restoran kesukaannya Ratu."

Spaghetti dari restoran yang terkenal akan kelezatan saus serta lembut tekstur mienya itu membuat Ratu melonjak. "Dimana, Bang?! Dimana?!" tukas Ratu sambil menarik-narik tangan Reon untuk berdiri. "Dimana sumber kehidupan gue?!"

Lima menit kemudian, senyum cerah muncul di wajah gadis berumur enam belas itu, dengan semangkuk penuh spaghetti berada di hadapannya.

"Hm ...," gumam Reon melihat Ratu hanya membagi ampas spaghetti—sayuran serta mie yang telah terpotong kecil-kecil, "Dasar, Rakus."

Ratu hanya nyengir sambil menjulurkan lidahnya mengejek.

"Jadi ... mau cerita?" tanya Reon kasual.

Kali ini, Ratu berhasil menumpahkan segala keluh kesahnya tanpa harus menangis berlebihan atau apa. Dia bahkan mencerocos sambil menusuk-nusuk makanannya, berandai-andai bahwa dia menusuk masalah tersebut. Dari awal, Ratu menceritakan tentang kebencian Raja terhadap Komplotan Rahasia, lalu beralih pada dirinya yang menyukai Raja namun harus menyembunyikan rahasianya, selanjutnya sikap Agung yang aneh pada pertemuan pertama ... seterusnya hingga Raja mencampakkan Ratu setelah mengetahui kebenarannya.

Suasana hening untuk sesaat sampai suara dehaman Reon membuat Ratu menunduk. Pasti, abangnya akan ceramah. Apapun ceramah Reon, Ratu selalu takut. Pasalnya, omongan Reon sangat 'kena' ke hatinya, bahkan 'menusuk'.

"Kalian berdua salah. Lo yang nggak jujur. Dia yang nggak bisa nerima lo apa adanya," cetus Reon. "Tapi, nggak peduli siapa yang pertama memulai 'perang dingin' ini, lo harus secepatnya minta maaf ke Raja. Lo juga seharusnya ngerti kalau Raja punya trauma tentang Komplotan Rahasia. Wajar kalo sekarang dia tampak ngejauhin lo atau gimana. Yang pasti sih, lo harus minta maaf."

"Minta maaf?" ulang Ratu dengan nada hampa. "Gimana gue bisa minta maaf, kalo setiap ketemu aja, dia ngacangin?"

"Buat dia nggak ngacangin. Nangis, kek. Histeris, kek. Cewek 'kan punya banyak cara," tukas Reon dengan tampang sebal, mungkin teringat sesuatu karena ucapan Ratu tadi.

"Hm ... Abang Reon luluh ya, kalo pacarnya nangis di depan Abang?" tanya Ratu sambil nyengir.

"Heh, urusan orang dewasa," gerutu Reon sambil mencubit pipi Ratu. "Tapi iya, sih. Air mata cewek bikin gue luluh. Makanya, lo jangan sering nangis gara-gara Raja. Nanti kalo Raja babak belur gara-gara gue, lo lagi 'kan yang nangis. Jangan siksa gue, Adikku Tayang."

"Abang lebay."

"Abang sayang Ratu, makanya lebay, soalnya Ratu lebay," balas Reon.

Saat mereka menonton TV malam itu, terjadi percakapan ini:

Ratu: "Bang, jangan ninggalin Ratu, ya?"

Reon: "Lah, emang Bang Reon mau kemana lagi, coba? Rumah aja cuma di sini, Rat."

Ratu: "Pokoknya jangan ninggalin Ratu."

Reon: "Tuh, lebaynya kumat."

Ratu: "Kalo Bang Reon nggak ada, Ratu 'kan sendiri."

Reon: "... Iya, Rat. Udah jadi tugas Bang Reon untuk jagain lo."

Lalu setelahnya, Ratu meringkuk di samping Reon hingga terlelap.

R: Raja, Ratu & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang