02

318 72 16
                                    

"Akhhh!" ringis Hyerin saat telapak tangannya beradu dengan tajamnya pisau.

"Dokter!" jerit seorang perawat.

Darah segar mengalir dari telapak tangannya. Tapi setidaknya ia berhasil menjatuhkan pisau itu dan menendangnya menjauh dari jangkauan pria dihadapannya.

Jeon menatap nanar tangan gadis itu. Dengan gemetar ia meraih tangan Hyerin yang berdarah.

"Mianhae," lirihnya dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. (Maafkan aku)

Hyerin memeluk pria itu sesekali menepuk punggungnya.

"Gwaenchana, jangan menangis Jeon." (Aku baik-baik saja)






🍁🍁🍁



Setelah aksi percobaan bunuh diri pria bermarga Jeon itu gagal. Pria itu dan sang penyelamat, Hyerin duduk di taman rumah sakit.

"Hei, jangan seperti ini! Lihat aku Jeon!" pinta Hyerin lembut.

Namun pria itu tak mengindahkannya, dengan sengaja ia menghindari kontak mata dengan wanita itu.

"Jeon!" panggil Hyerin lagi tapi nihil.

Mau tak mau Hyerin bangkit dan duduk di samping kanan Jeon di salah satu kursi panjang taman.

Kedua telapak tangannya ia gunakan untuk menangkup wajah pria itu.

"Hei lihat aku," ujar Hyerin.

"Aku melukai mu Rin. Aku seorang penjahat, harusnya aku dihukum."

Pria itu berujar dengan air mata yang kembali membasahi pipinya. Dia benar-benar merasa bersalah.

"Tidak. Kau bukan penjahat, kau itu temanku. Jangan menangis." Hyerin menghapus air mata pria itu dengan jemarinya.

Perkataan wanita itu sepertinya mengandung sihir. Karena tanpa berpikir lagi Jeon langsung mengangguk mengiyakan, menghentikan tangisnya.

Pria itu meraih kedua telapak tangan wanita itu. Menatap tangan kiri gadis itu yang dibalut perban.

"Maaf," ujarnya untuk kesekian kalinya.

Hyerin tersenyum sembari mengangguk. Tangannya mengacak rambut pria itu gemas.

Namun dalam hitungan detik senyumnya memudar digantikan dengan wajah yang merengut.

"Apa yang membuatmu kembali melakukan hal itu hm? Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk tidak melakukannya lagi?"

Jeon kembali menundukan kepalanya.
"Maaf," cicitnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Hyerin.

"Mau cerita?"

Jeon terlihat ragu namun pada akhirnya ia tetap mengatakannya pada Hyerin.

"Aku bermimpi lagi. Mimpi buruk hingga rasanya aku ingin mati saja."

"Ssssttt tak baik berkata seperti itu Jeon. Hidupmu itu berharga," tegur Hyerin.

Jeon tersenyum miris
"Aku hanya sendirian Rin. Tidak ada yang menginginkanku," ujarnya.

Penuturan pria itu membuat hati Hyerin terasa tersayat. Menyakitkan. Definisi yang tepat dari pengakuan pria itu.

Merasa sendirian. Diasingkan. Kesepian. Hyerin sudah sangat mengenal hal itu sejak lama. Perasaan yang sama seperti yang pasiennya alami.

"Siapa bilang kau sendirian? Aku ada disini untuk mu." Hyerin tersenyum tulus pada pria itu. Membuat Jeon terpana sepersekian detik sebelum akhirnya ikut tersenyum.

Benar. Hyerin memang selalu ada untuknya selama beberapa bulan ini.

Hyerin bukannya ingin menjadi sok pahlawan. Bukan hanya untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang dokter kejiwaan.












Tujuannya hanyalah agar orang lain bisa lebih menghargai kehidupan mereka dan tidak menyerah meskipun kehilangan banyak hal. Sama sepertinya.














Hidup memang tidak seindah itu. Tapi bukan berarti kita menyerah begitu saja.

TBC

Hai guyss!!  Hihi cepet bgt yak aku updetnya? Tangan aku gatel bgt soalnya buat nulis sama updet ini wkwkwk.

Makasii udah bacaa :*
Jangan lupa klik bintang yaa kalo bisa ketik apa gt kek di kolom komentar wkwk..

Sampai jumpa esokk!!!

Rin~




FatiguéWhere stories live. Discover now