"Baik, Dok. Terima kasih."

"Sama-sama. Saya permisi dulu, ya." Dokter pergi meninggalkan ruangan.

Terlihat semangkuk bubur dan susu di atas meja samping tempat tidur yang beberapa saat lalu diantarkan ke kamar yang sama sekali belum tersentuh.

"Bu, makan dulu, ya." Wanita itu hanya menggeleng.

"Sebentar lagi Adam ke sini. Ibu harus sehat, biar bisa pulang bersama Adam," bujuk Irwan, dia prihatin melihat wanita yang ada di depannya, andai saja ibunya masih hidup, pasti usianya sama dengan ibu Adam. Sayangnya, Irwan tidak diberi kesempatan oleh Allah untuk merasakan kasih sayang lebih lama dari seorang ibu.

Irwan memberikan suapan kecil ke mulut Ibu Adam hingga bubur yang ada di mangkok sisa setengah. Namun, beberapa saat setelah makan, Ibu justru tidak bisa tidur. Beliau terus gelisah dan mengeluh sakit perut. Irwan berusaha memanggil suster jaga untuk memeriksa keadaannya.

"Saya konsultasi dulu sama dokter." Suster lalu keluar menghubungi dokter melalui sambungan telepon rumah sakit.

Beberapa saat kemudian, suster masuk dengan membawa perlengkapan medis lainnya, diantaranya adalah benda yang mirip selang. Tindakan nasogastrik tube dilakukan. Tindakan ini berfungsi mengeluarkan seluruh isi perut pasien, dengan cara memasukkan selang melalui hidung, sampai melewati tenggorokkan, sehingga bisa mencapai lambung. Terlihat cairan berwarna hitam mengalir keluar dari lambung ibu Adam. Irwan sedikit khawatir. Namun, akhirnya bisa lebih tenang setelah melihat Bu Khadijah tertidur pulas. Dia berpikir, mungkin perut Bu Khadijah sudah merasa nyaman.

***

Adam melihat rumahnya terbuka, tidak biasanya maghrib begini Ibu tidak menutup pintu.

Ragu.

Adam melangkah masuk. "Assalamualaikum."

Terlihat Alea yang sedang duduk di sofa ruang tamu memegang ponsel sambil tertunduk lesu.

"Waalaikumsalam," jawab Alea seraya mendongakkan kepala.

"Al, kok kamu di sini?" Adam masuk menghampiri Alea.

"Kamu kemana aja sih, Dam? Aku telepon nggak diangkat, aku WA nggak dibaca." Raut wajah Alea penuh kekhawatiran. Namun, ucapan gadis itu tak dihiraukan. Adam justru mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

"Ibu mana?"

"Aku tadi ke sini sama Irwan, mau kasih undangan ini." Dia menyerahkan selembar kertas putih kepada Adam, "lalu aku mendengar suara benda jatuh di kamar ibu kamu." suara Alea bergetar menahan tangis.

"Trus?" tanya Adam penasaran.

"Aku lihat ibu kamu udah jatuh di kamar tertimpa kipas angin."

Adam menelan ludah, ada ketakutan yang menyergap batinnya. Namun, dia berusaha menepis prasangka itu.

"Lalu sekarang Ibu di mana?" tanya dia kemudian. Dadanya berdegup kencang. Firasatnya mengatakan sudah terjadi sesuatu dengan ibunya. Karena Adam tidak mendapati Ibu di rumah.

"Irwan sama anak-anak kos sebelah bawa ibu kamu ke rumah sakit."

Belum selesai Alea bercerita, ponselnya berdering.

"Halo, Al. Gimana? Adam udah bisa dihubungi?"

"Ini udah sama aku."

"Suruh ke sini, ya. Cepetan! Ibunya masuk ICU"

DEG!

***

Adam dan Alea berjalan setengah berlari memasuki lorong rumah sakit. Tiba di depan ruang ICU, Irwan terlihat sedang duduk menunggu mereka berdua.

"Ibu gimana, Ir?" tanya Adam.

"Kata dokter kesadarannya tinggal 10. Tadi waktu dokter mau memberikan obat, ibumu tidak juga bangun walaupun sudah dibangunkan beberapa kali. Dokter akhirnya memutuskan untuk memindahkannya ke ruang ICU," terang Irwan seraya menunjukkan raut kekhawatiran.

"Aku mau ketemu Ibu." Terlihat kaca-kaca melapisi matanya. Suara Adam terdengar parau. Irwan tahu, pemuda itu sedang menahan tangis. Dia segera menghambur masuk ke ruang ICU.

Adam berjalan perlahan dan mendapati tubuh ibunya yang terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang sudah terpasang.

Adam masuk ke ruangan setelah sebelumnya melapisi pakaiannya dengan baju khusus untuk pengunjung pasien ICU. Dia lihat mata Ibu tertutup. Ketika Adam mendekat, pemuda itu membisikkan sesuatu ke telinga ibunya sambil memegang tangannya.

"Bu ...." Ibunya sedikit membuka mata, dan melirik ke arah Adam seolah ingin mengatakan sesuatu. Adam mendekatkan telinga ke bibir ibunya.

"Ibu, kangen." Tak terasa air mata Adam menetes, sekuat tenaga dia berusaha untuk menahan tangis. Namun, ternyata dia lemah juga di hadapan ibunya.

"Waktu Ibu sudah tidak banyak." Lirih suaranya terdengar sedikit cadel karena stroke yang diderita.

Adam menyesali perbuatannya. Seandainya saat itu dia tidak egois dan mendengarkan ibunya, pasti tidak akan seperti ini jadinya. Dia tak bisa lagi menahan tangis, dia membenamkan diri dalam penyesalan yang teramat dalam, terbayang di benaknya bagaimana jika nanti ibunya benar-benar tiada.

"Nak, kalau sudah dapat kerja. Segeralah menikah. Ibu sudah tua, ibu takut tidak sempat menimang cucu darimu."

Tiba-tiba Adam teringat perkataan Ibu sesaat setelah lulus SMA. Dia memang berencana langsung bekerja supaya bisa membiayai hidup keluarga.

Adam mengutuk dirinya sendiri. Bahkan ibunya tidak pernah meminta apapun darinya kecuali menginginkannya menjadi laki-laki salih. Namun, apa yang dia lakukan sekarang?

Ketika orang bertanya apa kelaminnya, dia bingung menjawabnya. Jangankan menjadi lelaki salih, untuk menjadi pria sejati saja dia tidak mampu.

"Maafkan Adam, Bu," ucapnya seraya menciumi tangan Ibu beberapa kali. Terlihat air mata mengalir dari sudut mata, hingga mengenai tangan ibunya. Adam merasakan kerinduan yang teramat dalam. Tangan ini ... tangan yang dulu menggendongnya, membantunya berdiri ketika jatuh, membacakan cerita sebelum tidur.

"Ibu jangan berpikir macam-macam dulu, ya. Ibu pasti sembuh," ucapnya dengan suara serak karena menangis. Beberapa kali dia berusaha mengusap air mata dengan punggung tangan, hingga akhirnya Adam tidak menyadari, seorang berpakaian serba putih mendekati dan menepuk pundaknya.

"Maaf, saudara anaknya? Bisa ikut saya sebentar?"

Ketika Adam hendak berdiri, dia lihat napas ibunya berat dan tidak teratur, jedanya semakin lama. Manik matanya tidak berkedip memandang Sang ibu. Adam menunggu ibunya menghirup napas.

Kekhawatiran mulai menyusup batinnya ketika melihat jeda napas ibunya semakin lama, sampai akhirnya Adam tak melihat dada ibunya bergerak naik turun seperti semula.

Adam mendongak. Dia lihat detak jantung Ibu di layar monitor, semakin lama semakin melemah.

"Dok, sebentar! Ibu berhenti bernapas," ucap Adam seraya menarik lengan jas berwarna putih milik pria itu

ADAM DAN MADAWhere stories live. Discover now