[𝟖] : 𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡

3.2K 494 32
                                    

Kini aku dan Lucas berada di toko baju. Aku mau beli baju. Clumsy me, mana tidak liat-liat dulu lagi. Ini pun pakai sandal rumah kelinci berbuluku.

Malunya.

"Cepat pilih." Lucas mendorongku ke baju-baju yang digantung.

Aku menatap sinis mbak-mbak toko yang menertawakanku. Asal mereka tau mengapa aku bernasih seperti ini. Ingin rasanya mencolok mata mereka.

"Emmm—"

Sungguh aku tidak tau mau mengambil apa. Mana baju-baju disini mahal-mahal. Apa Lucas tidak peka kalau aku tidak membawa dompet?

Aku hanya memegang-megang baju tanpa memilihnya. Tiba-tiba Lucas memberi aku salah satunya.

"Ini, pakai aja."

Aku berjalan ke arah fitting room. Boleh juga yang dipilihkan Lucas. Selain suka bunga, seleranya lumayan untuk perihal wanita.

Tapi masalahnya apa baju ini tidak kependekan?

Croptop hitam bergaris putih tanpa lengan dipadukan dengan rok pendek jeans serta sepatu sneakers sebagai pelengkapnya.

Aku keluar dari fitting room dan menghampiri Lucas. "Apa enggak kependekan?"

Lucas hanya menatap aku diam seribu bahasa. Dia menatapku—ntahla mungkin memang tidak cocok.

"Lo— jelek," ucap Lucas gugup dan membuang muka bergurau. "Ayo."

"Sialan!"

Lucas pergi meninggalkan aku di toko baju ini. Aku harus bayar pakai apa ini? Telpon bang Hanbin? Pakai apa juga?

Aku ke sini tidak bawa uang sama sekali. Dompet pun tinggal. Hp saja tidak bawa.

Kenapa aku ini?

Aku menghampiri mbak-mbak penjaga toko. "Mbak, saya boleh pinjam teleponnya gak?"

Baru saja mbak itu mengulurkan teleponnya, Lucas tiba-tiba menarik kerah bajuku dan mengedipkan mata pada mbaknya.

Dasar ganjen.

Aku berbalik. "Ini yang bayar siapa?"

"Udah gausah dipikirin. Liat tuh mbaknya udah kejang-kejang gue kedipin."

Aku berjalan mendahului Lucas. "Gatel."

"Cemburu ya?"

"Enak aja. Gue udah punya Te—"

"Punya siapa? Teman?"

Valerie bodoh, hampir saja keceplosan.

"I—iya temen, udah ah."

Aku kembali berjalan mendahului Lucas. Lucas pun merangkulku dari belakang.

"Eh gausah pegang-pegang. Sok akrab."

Ia melepaskan rangkulannya kemudian berbisik di telingaku. "Yang bayar bajunya siapa ya?"

Aku berbalik. "Lo?"

Lucas hanya menampilkan eyes smilenya. Yang sangat lucu untuk disia-siakan tidak melihatnya.

Aku kembali teringat Lisa dan Ten. Kemana mereka?

Aku harus mengikutinya kembali. Tapi aku tidak membawa dompet maupun uang. Lucas, oh ya dia.

Mungkin dia bisa dimanfaatkan disaat-saat seperti ini. Aku tersenyum pada Lucas yang membuatnya celingak-celinguk.

Aku memukulnya. "Gue senyumin kau tau."

"Mau apa?"

Aku menunduk dan berkata semanis mungkin. "Temenin gue ngikutin Lisa dong."

"Tapi kita kan gak teman," ujar Lucas membuang muka.

"Yaudah kalau gitu, kita temenan dari sekarang."

"Iya nih?"

"Iya."

Kalau seperti ini tidak akan jadi-jadi aku pergi mengikuti Lisa. Dengan cepat aku menarik tangan Lucas dan memikirkan kemana mereka pergi.

Aku benar-benar tidak tau kemana mereka pergi. Mall sebesar ini? Harus aku jelajahi untuk mencari mereka?

Aku menggeleng kepala.

"Nyari siapa sih Val?" tanya Lucas yang melepas genggaman tangan kami.

"Lisa."

Sebenarnya Ten.

"Buat apa?" Lucas memutar tubuhku agar menghadap padanya.

"Emm-it—" aku menjentikkan jari. "Lisa baru pertama kali pergi sama cowok jadi gue harus mantau."

Lucas menaikkan satu alisnya. Dia beneran bisa. Tidak seperti Ten yang menaikkan agar terlihat keren. Tiba-tiba aku merasa kangen pada Ten.

Biasanya hari weekend seperti sekarang aku akan pergi ke rumah Ten hanya untuk menonton bersama atau menggangu dia. Mungkin besok aku akan mengajak Ten jalan-jalan.

"Hei, kenapa jadi cemberut?" tanya Lucas yang sepertinya melihat perubahan moodku.

Aku menggeleng dan tersenyum. "Ah gapapa. Kalau lo jadi Ten bakal ngajak Lisa kemana?"

"Ten? Jadi Lisa pergi sama Ten?"

Astaga aku baru teringat kalau Ten dan Lucas pernah berkelahi karena Ten mengira aku selingkuh. Lucas pasti tau kalau Ten itu pacarku.

Bagus sekali Val bagus.

"Bukannya lo pacarnya? Dia sampai nonjok muka gue lho. tapi kok malah sama Lisa? Kalian udah put—"

Belum selesai dia bicara aku langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Jangan sampai Ten dan aku putus.

Aku tidak mau.

"Lebih baik kita bicarakan sambil duduk-duduk."

Kami mencari cafe terdekat dan berakhir di starbucks. Sekarang Lucas duduk dihadapanku sambil menatapku dalam diam.

Kenapa hawanya jadi creepy begini?

"Oke, jadi ceritakan sama kenapa Lisa bisa date sama Ten yang notabennya pacar lo?" tanya Lucas.

"Kepo." Aku menyesap green tea ku.

"Kita kan teman," ujar Lucas mengedikkan bahunya.

Aku menghela nafas sebelum akhirnya menceritakan pada Lucas semuanya.











"Jadi lo nyuruh Ten untuk pura-pura jadi pacar Lisa?"

"I—iya," jawabku ragu-ragu.

"Biar apa? Biar lo enggak nyakitin hati Lisa?"

Aku menunduk. Tidak tau menjawab apa.

"Bodoh. Dengan begitu bukan Lisa saja yang bakal sakit hati. Ten juga dan--- Lo juga."

tbc-

Cultivar | Ten NCT Where stories live. Discover now