4-Pembawa Sial

49 6 0
                                    

Mereka kini sudah sampai di depan rumah Dhyra. Langit sudah agak cerah, walau masih ada rintik kecil air hujan.

"Makasih ya, Tha." Seru Dhyra. "Hatttchiiii." Tiba-tiba Dhyra bersin.

"Lo gapapa, Ra? Udah masuk sana! Udah jam 16.00 nih katanya lo ada les setengah jam lagi." Astha merasa bersalah.

"Iya, gue masuk dulu ya, bye!" Dhyra masuk ke dalam rumah, dengan perasaan yang tidak enak yang dia rasakan. Sakit.

Ketika membuka pintu Mba Ina langsung menyambut Dhyra. "Non, kok basah kuyup begini? Mba Ina siapin air panas ya buat mandi? Setengah jam lagi les, lho?" Ucap Mba Ina khawatir.

"Aku ga les, Mba. Ga enak badan. Siapin aja air panasnya, aku mau ke atas sebentar." Jelas Dhyra langsung menaiki anak tangga.

Dhyra duduk di kursi di depan meja belajar dan dirogohnya ponsel dari dalam tas yang sebelumnya dibungkus oleh plastik. Itu adalah ide Astha, supaya handphone-nya tidak terkena air.

Ada pesan masuk dari Astha.

Adhyastha Putra : Ra, istirahat aja. Kalau sakit gausah dipaksa les...

Adhyra M. : Gara-gara lo nih, Tha! Gue besok ada ulangan harian matematika lagi!

Adhyastha Putra : Kemarin lusa kelas gue udah ulangan matematika. Kebetulan udah dibagiin. Lo mau liat punya gue?

Adhyra M. : Ga usah, gue mau dapet nilai yang dari usaha gue sendiri.

Setelah membalas pesan itu, Dhyra meletakkan handphone-nya dan menuju ke bawah untuk mandi.

Selesai mandi, Dhyra berencana untuk belajar sebentar. Untuk ulangan harian matematika besok. Dhyra memegang dahinya. Demam nih gue, pikirnya. Tapi, Dhyra tetap melanjutkan untuk belajar. Satu jam belajar, kepala Dhyra pusing dan dia memutuskan untuk tidur.

Handphone yang sudah pindah posisi di atas nakas sekarang bergetar sejak tadi. Ada banyak pesan dari Astha.

Sedangkan di rumah, Astha khawatir dengan kondisi Dhyra. Jarak warung dengan rumah Dhyra tadi lumayan jauh, ditambah kondisi hujan-hujan. Bego banget lo Tha, Astha merutuki dirinya sendiri. Akhirnya Astha mengirim pesan pada Vania.

Adhyastha Putra : Van, si Dhyra masuk ga?

Vania Clarissa : Enggak, Tha. Kenapa?

Adhyastha Putra : Gapapa, yaudah lo les yang rajin.

Vania Clarissa : Oke.

Ini semakin membuat Astha tambah khawatir. Dhyra pasti sakit. Secepat kilat Astha meraih kunci motor dan jaketnya.

Satu jam kemudian, Astha sudah berdiri di depan rumah Dhyra sambil membawa bungkusan makanan. Bel rumah itu dipencetnya. Semenit kemudian, pintu itu terbuka. Terlihat sosok yang belum ditemui Astha sebelumnya.

"Selamat malam..." sapa Astha gugup. Dari penampilan-nya Astha menebak bahwa itu Mama Dhyra.

"Iya, malam. Nyari siapa ya?" Ucap Rina halus.

"Mau nyari Dhyra, ada?"

"Ohh, Dhyra... Kebetulan Dhyra sudah tidur sejak tadi, kata Mba Ina tadi ga enak badan dia-nya." Kata Rina menjelaskan.

"Kamu teman sekolahnya Dhyra?" Tanya Rina.

"Iya, Tante. Saya Astha."

"Masuk dulu, yuk!" Ajak Rina.

Astha masuk mengikuti Rina. "Duduk dulu." Rina mempersilahkan.

"Ohh iya, Tante. Maaf, sebenarnya saya yang menjadi penyebab Dhyra ga enak badan, Tante." Alis Rina terangkat. "Kok, bisa?" Tanya Rina.

Astha menceritakan semua kejadian hari ini yang ia lalui bersama Dhyra, dan juga perihal pelipis Dhyra itu. Ia merasa sangat bersalah.

"Ooh begitu, yaudah gapapa, Dhyra-nya belum bangun. Apa kamu mau nunggu sampai dia bangun? Katanya tadi mau ketemu Dhyra?" Rina adalah sosok ibu yang sangat sabar.

"Enggak usah, Tante. Ini saya mau ngasih ini aja tadi, cuma kebetulan ketemu Tante jadi saya sekalian menjelaskan. Sudah malam, Tante. Saya pamit dulu, ya! Salamin ke Dhyra, ya tante." Kata Astha berdiri dari duduknya.

"Oh iya, pasti. Hati-hati ya, jangan ngebut."

"Iya, Tante."

Suara motor Astha sudah tidak terdengar lagi. Rina tersenyum, mengingat kembali masa-masa SMA-nya dulu ketika pertama kali bertemu dengan Wiryawan, suaminya.

"Eh, Mba Ina tolong bangunin Dhyra ya." Suruh Rina.

"Iya, Nyonya."

Rina membuka bungkusan itu dan ternyata berisi bakso, dan juga post it.

'Ra, maafin gue ya. Gue udah nga sengaja nendang bola ke arah lo, sekarang bikin lo sakit gara-gara hujan tadi. Dimakan ya baksonya, Ra. Ra, jangan anggap gue pembawa sial dihidup lo ya. Cepet sembuh, Ra..—Astha'

Ada langkah seseorang menuruni anak tangga. Rina segera menoleh.

"Ra, makan dulu. Nih ada bakso sama obatnya diminum ya abis makan." Ucap Rina.

"Dari siapa, Ma?"

"Astha." Dhyra tercengang.

"Dia kesini lagi?"

"Iya."

"Udah kayak abang-abang gojek aja dia." Sahut Dhyra.

Dasar cowok pembawa sial, batinnya.

"Yaudah, kamu makan nih. Keburu dingin ntar ga enak. Mama mau ke kamar Olivia dulu."

Dhyra melihat bakso yang sudah berada di mangkok yang sudah disiapkan Rina itu dan membaca sebuah post it yang sudah pasti dari Astha. Dhyra tersenyum. Geli gue, Tha.

Selesai makan bakso dan minum obat, Dhyra naik lagi menuju kamarnya. Dibuka handphone yang sejak tadi ia anggurkan itu.

25 pesan, 5 missed call. Dari Astha.

Tiba-tiba ada telpon masuk, dari Astha juga. Dhyra langsung mengangkatnya.

"Ra...udah bangun?" Ucap Astha dari sebrang sana dengan lembut.

"Udah."

"Udah dimakan bakso-nya? Sama obatnya?"

Terlihat bahwa Astha khawatir.

"Udah."

"Lo besok sekolah, Ra? Kalau masih ga enak badan ga usah sekolah ya, Ra."

"Besok gue tetep sekolah."

"Yaudah, kalo lo maunya gitu, Ra. Tidur sana, udah malem."

"Iya." Dhyra menutup panggilan telpon itu.

Ada perasaan senang mendengar Astha khawatir akan dirinya. Sebenarnya tadi Dhyra mau memarahi Astha dan mengatainya cowok pembawa sial karena gara-gara Astha dia bisa sakit begini. Tapi ia mengurungkan niatnya. Astha sudah berbaik hati mengantarkan ia pulang dan mentraktirnya makan. Dan kini mengantar makanan lagi untuk yang kedua kali-nya.

Kini Dhyra mematikan lampu kamar dan siap masuk ke dalam selimut.

Ada satu notif di handphone Dhyra.

Adhyastha Putra : Sekali lagi maaf ya, Ra😔Cepet sembuh ya, good night. 🤗🤗

Can I Love You?On viuen les histories. Descobreix ara