39

3K 253 10
                                    

Acara pernikahan di gelar di Jogja setelah Yuki resmi keluar dari rumah sakit 7 hari lalu. Meski Yuki menolak, tapi Stefan tetap memaksa hingga pada akhirnya mereka kini berada di atas pelaminan.

Senyum bahagia tak pernah lepas dari bibir Stefan dan juga Danish. Akhirnya impian mereka untuk tinggal bersama dalam satu rumah terwujud.

Stefan tak pernah melepas pandangan dari wajah Yuki, ia tahu di dalan hati Yuki ada keraguan untuk pernikahan ini tetapi Stefan tak akan pernah menyerah untuk meyakinkan Yuki. Salah satu jalan dengan menikahi Yuki karena dengan status mereka suami istri akan lebih leluasa dalam memperjuangkan Yuki.

Tamu-tamu mereka sudah pulang, menyisakan keluarga inti dari kedua keluarga dan juga teman dekat Yuki dan Stefan. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang keluarga yang masih terhias bunga-bunga Indah. Mereka sedang menikmati santap sore bersama.

"Selamat ya, sayang. Akhirnya usaha kamu sedari dulu tidak sia-sia." Kata Ica pada Yuki. Saat yang lain sibuk makan, Ica menyempatkan diri mendekati Yuki. Ia ingin mengobrol lebih dekat dengan sahabatnya itu.

"Kamu harus bahagia, lihat-" Ica menunjuk kerah semua orang yang sedang merasakan bahagia dengan pernikahan Yuki. "Belajar menerima, sayang. Aku tahu itu berat. Tetapi lihat, mereka semua bahagia dengan pernikahan kalian. Mereka semua mensupport kalian. Percaya sama aku, Kuy. Kamu bisa melewati ini, kita semua di sini untuk kamu."

Kalimat-kalimat semangat terus keluar dari mulut sahabat-sahabat Yuki dan juga keluarganya. Berharap Yuki kembali semangat, membuat Yuki kembali seperti dulu lagi. Yuki yang penuh dengan keceriaan.

Ica meraih kedua tangan Yuki, membawa tangan Yuki kedalam dekapan hangatnya. "Kita sayang sama kamu." Empat kata penuh ketulusan meluncur dari mulut Ica. Membuat Yuki akhirnya tersenyum kembali. Mereka saling berpelukan, saling memberikan kekuatan dan melepas rindu yang sempat terhalangi sikap diam Yuki.

"Makasih Ca, makasih." Bisik Yuki haru.

🍁🍁

Sejak kecelakaan yang menimpa diriku, aku berubah menjadi pribadi yang pemurung, diam, tidak perduli dengan orang-orang di sekitarku. Aku masih ingat ketika mata ini bangun dan sadar jika aku berada di rumah sakit seketika aku menjerit saat Mama dan Papa bilang kakiku lumpuh sehingga aku tak bisa menggerakkannya.

Aku menangis, merah, benci, kesal, merasa kecil dan tak berguna. Seketika semua perasaan itu tercampur di hatiku membuatku semakin sesak. Apalagi setelah Stefan datang, aku semakin membenci takdir hidupku sendiri. Impianku untuk kembali berumah tangga dengan Stefan sirna setelah aku tahu, aku tidak bisa apa-apa lagi. Aku nggak mungkin membiarkan Stefan merawat perempuan lumpuh sepertiku. Ia pantas bersanding dengan wanita yang lebih sempurna. Namun lagi-lagi Stefan memaksaku, menyakinkan diriku jika aku bisa menerima takdir ini, asal aku percaya, aku semangat dan juga percaya dengan orang-orang disekeliling kita.

Meski aku menolak, ia tetap merencanakan pernikahan kita. Ia membuat pesta sederhana, ia mengucap kembali janjinya dihadapan Allah dan para saksi dengan lantang, ia menyakinkanku jika ia akan berjuang sama-sama di dalam kehidupan berumah tangga kita.

Apalagi setelah Ica memberikanku petuah panjang lebar, mata hatiku yabg sempat tertutup akhirnya kembali terbuka. Tidak sepenuhnya perkataan Ica yang mengembalikan aku seperti dulu, tapi saat Ica menunjuk orang-orang yang bahagia dengan pernikahan inilah aku akhirnya memutuskan untuk mencoba ihlas dan ikut bahagia bersama mereka. 

Pesta kecil-kecil pernikahanku dan Stefan sudah berakhir, acara makan-makan khusus keluarga, kerabat serta sahabat dekat pun sudah usai. Stefan membawaku ke kamar kami, kamar ku saat ini berubah status menjadi kamar kami. Saat ini dia sedang mandi sementara aku duduk diatas kursi roda tepat di depan meja rias. Aku mnghapus makeup yang menempel tebal di wajah. Kemudian mengambilkan pakaian santai untuk Stefan dan meletakkannya di atas ranjang tidur kami.

Peranku sebagai istri dan ibu rumah tangga akhirnya kembali setelah membutuhkan penantian yang cukup panjang.

Aku mendengar suara kamar mandi terbuka. Aku tersenyum pada suamiku yang kini masih berdiri di depan pintu dengan badan yang terlilit handuk dari pinggang sampai lutut. Aku menyuruh nya mendekat, memberikan bajunyang sudah aku siapkan dan dia membalas perlakuan dengan satu buah kecupan.

"Kamu mau mandi? Biar aku bantu!" Kata Stefan semangat. Tapi aku segera mencegahnya. Aku ingin belajar mandiri, agar tidak manja dan kesulitan saat dirumah ini hanya saya seorang.

"Aku bisa, aku sudah belajar kemarin dan aku bisa. Lebih baik kamu pakai baju dulu, aku nggak mau kamu sakit."

Aku meninggalkan Stefan guna membersihkan diri. Badanku terasa lengket setelah seharian full dibalut gaun mewah Indah.

Semenjak Aku pulang, aku meminta Mama membantuku untuk beraktifitas di dalam rumah. Terutama untuk urusan kamar mandi, Papa merubah sedikit kamar mandi ini dimana di sisi kanan searah dengan kran, Ayah memberinya besi untuk membantuku berdiri. Karena tidak mungkin aku membawa serta kursi roda masuk begitu juga di dekat pintu kamar mandi. Sehingga memudahkan untukku berdiri meski dengan langkah yang tertatih.

Lima belas menit waktu yang aku butuhkan untuk menyegarkan tubuhku. Lalu keluar kamar mandi dengan sudah memakai pakaian tidur. Aku lihat Stefan sedang meninabobokan Danish, sayup-sayup aku dengar suara idakan Danish mungkin anak kami itu merajuk.

"Bee..." Panggilku kepada Stefan. Aku ingin dia membantuku jalan menuju ranjang kami. Terlalu malas untuk kembali duduk di kursi roda.

"Hei, tunggu." Jawabnya. Aku melihat Stefan meminta izin kepada Danish terlebih dahulu sebelum dia berjalan kearahku.

Aku sudah siap berpegangan di lengan Stefan, tapi tanpa aku duga dia justru membawa tubuhku melayang. "Stefan..." Pekikku kaget. 

"Biar romantis..." Bisiknya ditelingaku membuatku merasa lucu kepadanya.

Perlahan Stefan menurunkan tubuhku ke kasur sebelah Danish. Tenyata mata putrkau masih terbuka. Dia mengerjapkan matanya lucu dan masih ada sisa tangis di sana.

"Anak Bunbun kenapa?" Tanyaku sembari mencium tangan mungilnya. Rasanya sudah lama sekali aku tak bermain dengannya. 

"Mau bobo sama Yayah dan Bunbun. Tapi Onti bilang kalau Danish nggak boleh bobo sama Bunbun dan Yayah, terus Danish nangis." Curhatnya.

Aku tersenyum, aku paham kenapa si Kakak nggak mengizinkan Danish tidur di sini. "Cup cup, kasihan... Boleh kok Danish bobo di sini, iya kan Yah?" Tanyaku pada Stefan yang sudah berada di sini kiri Danish dan aku berada di sisi kanan Danish.

"Ya, tentu saja." Jawabnya

"Ya udah yuk kita bobo." Ajakku diangguki Danish dan Stefan. 

Stefan menyelimuti tubuh kami bertiga hingga batas dada Danish. Tangan mungil Danish memeluk tubuhku erat, wajahnya bersembunyi di dadaku. Sementara Stefan tanganya sudah melingkari tubuh kami berdua. 

Hangat, itu yang aku rasakan. Meski terkadang kita melakukan seperti ini, namun kali ini terasa berbeda. Lebih tenag dan begitu hangat jadinya. 

Sesutu yang pernah aku impikan, tidur bertiga dalam satu ranjang dengan status keluarga kecil. Sungguh bahagia sekali ranyada hati ini meski dulu dan juga kemarin-kemarin aku sempat menyerah dengan keluarga ini. 

Aku merasakan usapan lembut di pinggang dari Stefan. Suamiku itu tersenyum kemudian dari bibirnya aku melihat dia berkata "terimakasih" dan juga "aku sayang kalian..." meskipun hanya berupa gerak bibir tapi tidak sulit bagiku menangkapnya.

🍁🍁

Banjarmegara, 6 Juni 2018

😀♡♡

My Ex HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang