34

2.7K 253 7
                                    

Aku bahagia karena akhirnya bisa mengumpulkan sahabat-sahabatku di rumah ditambah dengan keberadaan Danis. Makin lama anakku ini makin pandai dan juga makin ngeselin kalau ngambek. Apalagi ngambeknya minta adek, ya mana bisa kita ngsih adek. Suruh Ayahmu bilang ke Oma restui hubungan Bunda dan Ayahnya baru jadi itu adeknya ucapku asal pada Danis sontak membuat Stefan menjitak kepalaku karena asal bicara. 

Aku sedang membuahkan minuman buat teman ngobrol bareng cemilan bikinan Bi Imah sementara mereka sedang mengobrol di gazebo. Kebahagiaanku bertambah saat Stefan dan Ali ternyata sudah baikan tanpa aku ketahui. Aku menatap mereka penuh curiga saat keduanya bertemu langsung saling menyapa, ternyata hubungan Stefan dan Ali sudah baik maka aku hadiahi keduanya pelukan meski Stefan kembali protes dibelakang.

"Hai..." Sapa Ali, rupanya dua menyusul ke dapur.

"Hai..." Aku balas menyapanya. 

Aku per hatikan wajah Al semakin hari semakin berseri, badannya sedikit berisi. Aku senang dia sudah mulai memikirkan badannya, kasian melihat pak pilot kurus kering.

"Terimakasih..." Ucapku tulus. Karena keberanian Ali menemui Stefan dan demi aku juga, tidak hanya hubunganku dan Stefan yang membaik tapi hubungan mereka juga.

Sebenarnya aku merasa bersalah pada Ali karena aku tidak mampu membalas perasaannya padaku tapi aku selalu mengekori dan lari ke dekatnya membuat dia semakin berat pastinya melepaskan perasaannya padaku. 

"Sudah seharusnya aku sebagai sahabatmu membantu sahabatnya apalagi tanpa disengaja aku juga sebagai sumber masalah kalian. Coba aja jika aku bisa menjaga jarak kedekatan  kita, pastinya Oma tidak akan memanfaatkan hubungan kita bukan?-" Aku mengangguk membenarkan setiap perkataannya. Betul juga, kedekatan kami bagi aku dan Ali mungkin terlihat biasa tapi saat orang lain yang melihat belum tentu.

"Li,tapi bagaimana pun aku pasti jadi beban berat kamu. Setiap kali aku punya masalah akubselalu lari ke kamu, setiap kali aku ingin ini iti, dapet ini itu pasti selalu aku larinya ke kamu. Aku jadi terkesan seperti sahabat yang memanfaatkan kebaikanmu saja."

"Hei, kok bilangnya gitu. Aku nggak pernah berfikir seperti itu, jika pun ada orang lain bilang begitu maka biarkan... Jangan dengarkan mereka. Kamu tetap sahabat baik aku, juga seseorang yang pernah ada di hati aku."

"Terbuat dari apa hati kamu, Li?" Tanya aku sedih, andaikan dulu dia jujur dengan perasaannya mungkin aku bisa membuka hati untuk dia dan mungkin kita juga sudah bahagia bersama anak-anak kita.

"Aku hanya sedang belajar untuk bahagia demi orang-orang yang aku sayangi."

Aku langsung menghamburkan diri kepelukan Ali, aku menangisi kebaikan hatinya, keikhlasan dirinya. Betapa beruntungnya nanti wanita yang mendampingi hidup Ali. Aku yakin siapapun wanita itu pasti dapat membahagiakan Ali luar dalam. 

"Maaf.... Maaf..." gumamku

Aku rasakan tangannya mengusap punggungku dengan lembut. "Sudah sudah tak ada yang perlu dimaafkan... Hati seseorang tidak bisa dipaksakan." Kata Ali, sepertinya memang dia sudah menyiapkan diri untuk menerima semuanya yang ada.

"Makasih Lo, makasih...."

Ali mendorong sedikit bahuku, membuat pelukanku merenggang. "Susah ya, nanti ada yang marah kalau lihat kita pelukan lama-lama ditambah kamu nangis, bisa-bisa aku babak belur."

Ali tuh pinter banget merubah suasana, aku pun melepas pelukanku dan kembali membuatkan minum yang sempat aku abaikan beberapa saat. 

"Aku nggak mungkin bikin kamu babak belur, bro!.." Itu suara Stefan. Ternyata dia sudah berada di belakangku. "Aku nasih takut sama Bunbunya Danish, bisa-bisa dia marah 7 hari 7 malam."

My Ex HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang