1. Two (Similar) Mornings

770 54 36
                                    

Yuda

Kalau suatu hari gue merasa sudah saatnya untuk gue membuat daftar orang-orang yang pantas gue tendang sampe mental ke Antartika, orang yang kerjaannya bangunin orang lain jam tujuh pagi ketika hari libur bakal menduduki tempat pertama. Harusnya oknum-oknum perusak ketenangan ini dihukum seberat-beratnya.

Gue bener-bener heran kenapa sampe sekarang nggak ada hukum yang mengatur tindakan kriminal macam begini. Padahal menurut gue ini salah satu masalah pelik kenegaraan. Tindakan nggak berperikemanusiaan kayak gini yang bisa memecahkan perang saudara, meningkatnya crime rate, dan merosotnya perkembangan ekonomi negara.

Oke, mungkin nggak separah itu. Gue aja yang bete berat karena dibangunin pagi-pagi sama si kunyuk yang udah nyerocos aja depan pintu padahal nyawa gue lengkap aja belom.

"....terus hari ini giliran lo buat mangkas rumput liar di halaman belakang, Yud. Udah ngeganggu banget, persis kayak rambut lo sekarang."

Brengsek. Berani-beraninya dia menghina rambut gue yang tebel, sehat dan bagus banget ini? Orang ini bener-bener nggak ngaca. Rambut gue jauh lebih oke dibanding rambut dia yang kalo salah potong dikit bisa bikin dia berubah sejelek Frankenstein.

Gue meraba-raba sekitar bantal gue, mencari sesuatu yang bisa gue lempar ke arah Seno, karena kelopak mata gue masih berat banget, lebih berat dari dosa-dosa gue. Gila, emangnya semua orang kayak dia apa, yang hobi bangun barengan sama ayam berkokok demi menghirup udara segar pagi hari dan ngelamun di teras ala kakek-kakek umur enam puluhan? Sori-sori aja nih, tapi gue sama sekali nggak ada niat mempraktekkan rutinitas pagi hari ala biksu kayak gitu.

"Yud, dalam hitungan kelima kalo lo nggak bangun, nasi uduk lo gue hibahin ke Dito."

Sial, biksu ini tau aja kelemahan gue. Kelopak mata gue langsung seringan bulu, dan tiba-tiba aja gue udah duduk tegak.

"Jangan berani-berani sentuh nasi uduk gue." ujar gue dramatis, didukung oleh suara serak gue yang bikin gue jadi kedengeran kayak Arnold Schwarzenegger. Keren juga. Apa ini pertanda gue harus sering-sering tidur?

Seno mendengus. "Kalo gue nggak nitip ke Yoga, nasi uduk itu nggak bakal nyampe ke bawah atap ini."

"Najis." Orang ini bisa dramatis juga. "Lagak lo udah kayak pencipta nasi uduk aja."

Seno sudah membuka mulut siap membalas cercaan tidak penting gue ketika terdengar suara Yoga, "Sen! Yuda bangun nggak? Kalo nggak mau bangun ya udah biarin, nasi uduknya buat Dito aja dia bentar lagi mau berangkat!"

Sekarang gue bener-bener loncat dari tempat tidur.

"ENGGAK BOLEH! GUE BANGUN, GUE BANGUN!"

Gue menerabas Seno dan berlari menuruni tangga dengan berisik, tapi gue nggak punya waktu dan talenta untuk turun tangga tenang-tenang. Ini masalah hidup dan mati, coy!

Sesampainya di sofa ruang depan tempat anak-anak biasa nongkrong, gue menemukan Yoga yang sedang duduk santai dengan semangkuk bubur ayam di tangannya. Di atas meja ada kantung plastik hitam yang gue yakin berisi sepotong surga dunia yang diizinkan Tuhan untuk menghuni bumi.

Tanpa malu-malu gue merampas kantong plastik tersebut dan memeriksa isinya. Masih utuh.

Gue mendelik ke arah Yoga.

"Gue nggak nyangka ada niatan lo untuk mengkhianati gue." tukas gue, memeluk kantong plastik berisi bungkusan nasi uduk yang hangat itu. Seno muncul dari belakang gue, duduk di samping Yoga dan melanjutkan melahap bubur ayam yang sepertinya tadi sempat tertahan karena harus menyiksa gue dulu.

GraduallyWhere stories live. Discover now