16. The (Supposedly Proper) First Date (1)

54 10 8
                                    

Yuda

Hari ini adalah hari kencan pertama gue dengan Grisel. Cielah, deg-degan juga nih bro nyebutnya. Kencan pertama. Akk. Pengen berguling ke trotoar gue jadinya.

Tapi ternyata tidak semudah itu alfonso. Karena rencana awalnya adalah gue jemput Grisel di rumahnya dan kita berangkat bareng seperti kencan pertama pada umumnya lah. Gue pamit ke orang tuanya Grisel (ayahnya atau ibunya, salah satu dari dua itu deh) terus bilang kalo bakal balikin anaknya tepat waktu, nggak pulang malem-malem, terus Grisel bakal tersipu malu sementara orangtuanya tersenyum penuh pengertian karena teringat dengan masa muda mereka dan juga karena gue ganteng, sopan, dan mereka bisa memercayakan anaknya kepada gue.

Ya betul gue emang lumayan sering nonton film romansa.

Tapi semua imajinasi gue itu buyar pas gue ngabarin Grisel kalo gue udah mau otw rumahnya dan Grisel balas—empat puluh menit kemudian—kalo dia masih di tempat dia survei buat tugasnya dan kemungkinan selesainya masih lumayan lama. Dia bilang dia kayaknya nggak bakal bisa ikut dan nyuruh gue pergi sendiri aja.

Tentu aja gue syok (oke lebay). Nggak bisa gitu dong. Dan perdebatan sengit pun terjadi, karena Grisel bukan orang yang mau ngalah dengan mudah. Hah, dia pikir gue orang yang mudah ngalah! Ini bukan hal yang bisa dibangga-banggain amat sebetulnya, tapi gue juga bisa keras kepala. Terutama karena gue udah menunggu-nunggu hari ini dan nggak mau banget nyerah di tengah jalan.

"Aduh, udahlah. Gue nggak jadi ikut, nggak bakal keburu, Yud."

Gue yang saat ini sedang menunggu lampu merah berganti jadi hijau, menggelengkan kepala gue kuat-kuat meski gue sadar betul Grisel nggak bisa ngeliat gue berhubung kita sekarang cuma tersambung lewat telepon. Dan juga hati. Nggak deng, itu mah gue doang yang pengen.

"Nggak bisa, nggak bisa. Gue udah puter balik nih, lo gue jemput dari situ aja terus kita langsung berangkat. Pokoknya lo selesein keperluan lo, terus ntar pas lo balik badan, tring, langsung ada gue di situ. Gampanglah." ujar gue ngasal. Tapi beneran ini gue lagi di jalan ke tempat dia survei buat tugasnya sambil ngelirik-lirik Google Maps soalnya ni daerah belom pernah gue denger padahal perasaan mah gue udah menjelajahi Tangerang sampe ke pojok-pojok berhubung hobi gue ngayap.

Di seberang sana, gue bisa denger Grisel berdecak geli. Dari decakannya itu gue tahu Grisel menganggap kalimat gue lucu namun nggak punya waktu buat tertawa. Atau mungkin itu asumsi gue doang sih karena pengen dianggap lucu sama Grisel. Biasalah, namanya juga orang jatuh cinta. Eh, ini jatuh cinta bukan ya? Pokoknya itu deh.

"Duh, gue mau banget lanjut berdebat sama lo tapi gue lagi wawancarain narasumber. Yaudah kalo lo keburu buat ke sini, gue jadi ikut. Tapi bener ya, begitu gue balik badan lo langsung ada. Kalo lo nggak ada, gue pulang."

Rupanya Yang Mulia meragukan kekuatan super gue. Dengan pongah gue membalas, "Siap. Lo tinggal liat aja nanti dan siap-siap terkesima."

"Hadah, iya, iya, percaya. Udah ya, gue mesti lanjut lagi nih. Jangan nelpon sambil nyetir ya, babay!"

Daaann ditutup! Gue bahkan belom bilang apa-apa? Bener-bener nenek sihir yang nggak punya hati.

Lampu merah akhirnya berganti ke kuning sedetik, kemudian menjadi hijau. Gue menginjak pedal gas kuat-kuat, tersenyum-senyum sendiri karena tadi Grisel bilang, jangan nelpon sambil nyetir. Pengetahuan umum sih, tapi gue mau mendefinisikannya sebagai Grisel mengkhawatirkan keselamatan jiwa raga gue. Duh, jadi berbunga-bunga nih Romeo.

--------------------------

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

GraduallyWhere stories live. Discover now