14. Don't be a Hero

83 12 22
                                    

"Nah... Sampe deh, kita."

Yuda mematikan mesin mobil, kemudian mendelik ke penumpang di sampingnya yang sedang melepas seat-beltnya. "Yang Mulia diem di situ, ya. Gue bukain pintunya."

Merengut, tahu betul dengan keadaan kakinya yang begini ia hanya bisa menurut, Grisel menggerutu. "Iya, tau. Buruan."

Dengan rasa girang karena Yuda tahu kalau di situasi seperti biasa, mana mau Grisel diperlakukan begini. Yang ada dia sudah ditoyor duluan kalau main ala-ala gentleman. Padahal, Yuda suka jadi gentleman. Ia terbiasa memperlakukan ibunya ala ratu, lalu dapat balasan senyuman manis ibunya, atau dapat tepukan hangat di punggungnya. Ibunya selalu menghargai hal-hal kecil yang dilakukan Yuda, membuat Yuda terbiasa dan selalu ingin menjaga gestur-gestur kecil yang kerap dilakukannya.

Karena itu juga, teman-temannya suka meledeknya old-fashioned atau sok romantis. Peduli amat.

Yuda membukakan pintu mobilnya, kemudian berjongkok lagi di depan Grisel, seperti yang ia lakukan sejam yang lalu. Menepuk-nepuk pundaknya sendiri, isyarat agar Grisel lagi-lagi naik ke punggungnya. Grisel mengerang pelan.

"Aduh Yud, kita tuh di depan rumah gue. Ya kali gue nggak bisa jalan barang satu meter."

"Udah nggak usah bawel. Satu meter pun tetep aja nggak ada yang tau. Kalo lo kecengklak lagi dalam perjalanan satu meter lo menuju pintu rumah lo gimana?"

"Asli, lebay banget. Kalo gue kecengklak lagi, nah baru abis itu lo gendong gue."

"Ya elah, kerja dua kali itu namanya. Mending gendong dari sekarang aja."

"Lo apaan sih, terobsesi banget gendong-gendongan? Lo punya mimpi terpendam jadi tukang jualan jamu apa gimana?"

"Yang Mulia, mending buruan naik sekarang sebelum ada orang lewat. Inget, yang tinggal di sini elo. Jadi yang bakal jadi omongan tetangga soal ada cowok jongkok di samping mobil yang di parkir di depan rumah ini, jelas elo. Gue sih nggak keberatan diomongin, apalagi gue nggak tinggal di sini."

Grisel merengut. "Alah, kalo itu mah emang lo aja yang nggak tau malu."

"Hehe, bener juga sih. Hayuk lah, buruan naek. Udah ready nih kang delman-nya." ujar Yuda dengan nada suara yang jenaka.

Pffft. Grisel mendengus geli. Akhirnya luluh, sekali lagi ia menempatkan tangannya di bahu Yuda dan Yuda yang dengan sigap menggendongnya dan berdiri, menutup pintu mobil dengan kakinya. Begitu mereka berhadapan dengan gerbang, Grisel dengan nada memerintahnya menyuruh Yuda menunduk.

"Gue mau buka gerbang nih, lulut lo nekuk dikit dah."

Menurut, Yuda merunduk sedikit, membawa Grisel ke tinggi yang pas untuknya mengulurkan tangan dan memasukkan kunci ke gembok pagarnya. Jantung Yuda berdegup tidak tahu diri begitu ia sendiri menyadari betapa dekatnya wajah Grisel dengannya. Yuda bahkan bisa menghirup wangi parfum Grisel, campuran aroma lavender dan sitrus. Yuda tersenyum sedikit. Ia kenal wangi itu, wangi yang sering melekat di Grisel, wangi yang ia hapal. Lady Vengeance, parfum keluaran Juliette Has a Gun.

Yuda ingat waktu pertama kali ia menanyakan parfum ini, Grisel menjawabnya dengan nada bangga, mengacungkan botol hitam yang lebih mirip botol berisi racun dibanding parfum. Atau mungkin karena namanya saja begitu, dan karena Grisel yang memegang. Apalagi waktu itu kukunya sedang dicat merah gelap. Bagaimana Yuda tidak merasa terancam.

"Ck." Grisel berdecak tidak sabar karena kunci gemboknya tersangkut. Ia memajukan lagi badannya, membuat Yuda makin gugup saja. Yuda melirik Grisel. Kalau ia menengok ke kanan sedikit saja—

"Nah, udah kebuka."

Buru-buru Yuda menghalau semua pikiran-pikiran aneh dari kepalanya. Didorongnya pintu pagar yang sudah terbuka itu dengan kakinya, kemudian Grisel menjulurkan lengannya untuk menutupnya. Dalam beberapa kali pengalamannya mengantar Grisel pulang, Yuda biasanya hanya sampai depan pagar. Karena itu, kini di depan pintu rumah Grisel, Yuda dibuat melongo dengan akses pintu yang bisa dibuka dengan menggunakan fingerprint dan password.

GraduallyWhere stories live. Discover now