Bab 1

438 14 2
                                    

Simen dan Dodo berjalan mengendap-ngendap di antara ruang-ruang kelas yang berjajar di sepanjang lorong sekolah yang mereka lewati.

Mereka sedang berusaha tidak membuat keributan yang mencolok agar aksi bolos sekolah mereka berhasil tanpa ketahuan guru-guru yang lain.

Di ujung lorong ada taman sekolah yang sudah terbengkalai, konon katanya taman itu tidak bisa dirusak karena ada penunggunya, makanya dibiarkan begitu. Lagi, kepala sekolah tidak punya cukup biaya untuk mengurus taman itu.

Tembok penghalang antara taman itu dan jalan raya adalah satu-satunya cara anak-anak bandel seperti Simen dan Dodo untuk kabur dari guru-guru yang tidak mereka sukai, lah sabodo amat sama cerita hantunya. Nongkrong di kelas tanpa melakukan apapun selain mendengar ocehan nggak masuk akal - akalnya anak bebal - adalah sesuatu yang lebih menyeramkan dari pada cerita-cerita mistis yang ada di dunia. Bayangkan ada anak yang sampai frustasi gara-gara hal yang tidak jelas seperti itu, menurut Simen jelas pelajaran tidak mesti sampai sebegitunya.

"Do, aku duluan nih." Simen memanjat pohon yang dahannya terjulur sampai keluar area sekolahan. Temboknya memang tidak bisa langsung dipanjat karena tinggi, tapi kalau dari luar bisa langsung dilompati, masalahnya orang yang terlambat lewat sini juga harus berusaha mencari akal mencapai tembok sebelum melompatinya, "untung dahannya besar ya, Do."

Dodo menyusul Simen setelah mendengar suara Simen yang sudah sampai di tembok seberang. Dodo berusaha memanjat pohonnya. Baru saja menempelkan badan ke pohon, bulu-bulu di tengkuknya entah karena apa jadi terasa berdiri sekarang. Dodo merinding seketika, tapi pas teringat raut wajah Pak Jojo, si kepala sekolah botak. Ia meneruskan aksinya menyusul Simen sambil sesekali melihat ke kiri, kanan, atas, bawah, dan arah tujuannya.

Menurut Dodo, Pak Jojo itu baik tapi botaknya itu loh, nggak banget deh. Nggak sesuai standart cowok-cowok populer zaman ini. Dodo bisa bilang begini karena nyatanya meskipun Dodo anaknya bandel, bajunya lusuh, tampangnya urak-urakan, Erin - si ketua osis cantik - tetap jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pandangan pertama sih katanya soalnya Erin sendiri belum pernah pacaran sebelumnya.

"Do, lama amat sih? Boker dulu kau?" Umpat Simen kesal.

"Nggak lah. Minggir aku mau lompat." Dodo mendarat dengan selamat ke seberang tembok pembatas sekolah, "jadi tujuan kita?"

"Lagi gak mood aku kemana-mana. Mau pulang aja lah. Tidur."

"Yah? Capek-capek bolos cuma untuk tidur?" Manjat pohonnya kan capek Otong, mana serem lagi, "masa mau langsung pulang?"

"Tidur sekarang jadi prioritas ku. Kalau kau mau pergi, pergi aja sendiri. Udah gede kan? Mandiri dong." Simen berjalan meninggalkan Dodo yang masih mikir di tempatnya.

"Kambinglah, Men. Sejak kapan coba tidur jadi prioritas lu?!" Teriak Dodo berlari menyusul Simen.

"Sejak hari ini dan seterusnya." Jawab Simen dari kejauhan.

Dodo berhasil menyusul Simen sebelum Simen menaiki angkot yang dia stop. Rumah Simen dan Dodo berhadap-hadapan, tidak jarang Simen dan Dodo pulang bareng dari sekolah tapi selalu saja tidak bisa pergi bareng ke sekolah. Hal ini karena Simen yang tidak bisa bangun pagi dan selalu kesiangan, sampai guru piket pun sudah hapal namanya sangkin seringnya terlambat dan di setrap di depan tiang bendera.

Simen sebenarnya anaknya baik cuma otaknya aja yang kadang tidak merespon dengan baik, kalau Simen jahat dia tidak akan mau mengajak Dodo bolos sekolah, kebahagiaan itu kan semestinya dibagi, setidaknya begitu menurut cerpen yang pernah di baca Simen di majalah wanita dewasa.

BayanganWhere stories live. Discover now