33. Terima Kasih

72 5 6
                                    

Berusaha menghindari keramaian, itulah yang dilakukan Tania, Yori, Sia dan Satya dengan duduk di warung es pisang ijo jauh dari gerbang sekolah. Mereka sudah di sana sejak 10 menit yang lalu tapi tidak ada yang membuka suara.

“Maaf kalau aku tidak sopan, tapi kau siapa?” Yori bertanya pada Satya. Mereka duduk berhadap-hadapan. Yori-Sia dan Tania-Satya.

“Namaku Satya. Aku...” Satya ragu-ragu, takut jika orang di depannya kaget seperti teman Sia tadi.

“Dia yang menolong Sia.” Potong Tania.

Yori mengangguk-angguk.

“Hanya itu saja responmu, Yori? Apa kau tidak memahaminya?” Tania masih menunggu respon Yori. Sayangnya otak Yori sudah terlalu penuh dengan materi sosiologi dan ekonomi. Yori hanya menatap balik Tania dengan tatapan tidak mengerti.

“Tunggu. Tania kau salah paham. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Sia sudah membaca arah pikiran Tania.

“Tidak seperti yang ku pikirkan? Lalu seperti apa seharusnya? Laki-laki dan perempuan dalam satu atap..... seperti apa seharusnya?” cerca Tania.

“Satu atap?” Yori melongo, melempar pandangan pada Sia.

“Dengar ceritaku dulu.” Ucap Sia panik.

Tania dan Sia masih adu mulut. Yori hanya memandangi mereka bergantian seperti orang bodoh. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan dua perempuan itu. Sementara Satya hanya diam, menunduk.

Suara bising dari jalanan sama sekali tidak berpengaruh pada obrolan sengit mereka. Tidak ada yang bisa menyela. Entah itu si penjual pisang ijo, entah itu suara klakson mobil bahkan suara penjual tahu bulat yang khas dan keras.

“Dengar.” Satya mengatakannya dengan lantang, mencoba menarik perhatian. “Aku yakin kalian sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang aku dan Sia. Tapi kalian tidak akan percaya bagaimana aku dan Sia bisa bertemu, bagaimana kami menghabiskan waktu, dan terlebih lagi, bagaimana gadis ini membuat pengeluaran bulananku meningkat dua kali lipat.”

***

“Kau bilang, Sia makan nasi porsi kuli lebih cepat darimu?” Tania tergelak. Ia masih ingat bagaimana cara Sia makan ketika Sia masih di rumahnya. Ia ingat betul Sia selalu tidak peka sekitar jika makan. Tidak jaim sama sekali, bahkan di depan Yori. Dan kini Sia melakukannya lagi di hadapan Satya. Benar-benar Sia tukang makan.

“Dan dia hampir terjungkal ke tempat sampah?” tawa Tania lebih meledak lagi dari sebelumnya. Air matanya sudah menggenang di sudut-sudut mata. Ia memegangi perut, merasa perutnya kencang karena terlalu banyak tertawa.

“Kau seharusnya membiarkannya saja terjungkal di tempat sampah. Dasar Sia konyol.” Tania masih belum bisa menghentikan tawanya.

Sia hanya cemberut, Satya mengatakan semua aibnya pada Tania. Ia pasti akan jadi sasaran empuk ejekan Tania dan Yori nantinya.

Hari semakin siang. Semakin sedikit murid-murid yang nongkrong di sekitar sekolah. Masing-masing dari mereka punya kegiatan lain setelah jam sekolah. Entah les, kerja kelompok, atau memang sudah ingin pulang.

Sejak tadi Sia hanya terfokus pada cerita Satya dan ekspresi Tania ketika mendengar semua aib nya dibongkar. Ia baru sadar, ada satu orang yang tidak memberikan respon sama sekali.

Yori.

Mata Sia beralih kearah Yori. Sia baru sadar Yori menatapnya sedari tadi. Sangat lekat hingga membuat Sia salah tingkah.

“Dan, begitulah yang sebenarnya terjadi.” Ucap Satya mengakhiri ceritanya. Tawa Tania perlahan memudar. Ia mengusap air yang menggenang di ujung matanya lalu menoleh kearah Sia dan Yori. Begitu juga dengan Satya. Mendadak mereka hening sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang