23. Kapan Lagi

345 26 7
                                    

"Jadi, mulai kapan kau akan pindah jurusan?"

"Hari pertama semester dua."

Hari terakhir ujian. Pagi ini hanya satu mata pelajaran yang diujikan dan itu bukan pelajaran inti yang perlu dikhawatirkan. Terlihat raut wajah para murid tidak terlalu tegang dan bahkan cenderung ceria, terlebih ketika mereka telah menyelesaikan ujian. Mereka langsung berhamburan dengan helaan napas lega dan senyum yang mengembang. Nongkrong di kantin dengan bebas, bermain basket leluasa, tertawa lepas, mereka bebas sekarang.

Tapi tidak dengan Sia.

"SIA!" teriak Jess dan Hana bersamaan. Kebetulan, mereka berada di ruangan yang berbeda dengan Sia. Kelas mereka dibagi menjadi dua, kelompok absen awal akan terpisah ruangannya dengan kelompok absen akhir.

"Ih, kenapa wajahmu gitu? Kau tidak bisa mengerjakan soal tadi?" goda Jess, disusul tawa kecil Hana.

Mendengar ucapan menggoda Jess, biasanya Sia akan segera menjitak kepala temannya itu sambil mengomel ngalor-ngidul. Tapi tidak kali ini. Sia diam saja seolah pasrah.

"Sia? Kalau kebelet boker, cepetan ke kamar mandi sana. Jangan diem disini!" Kini Hana yang ganti menggoda Sia. Mereka terkikik lagi.

Sia hanya melempar tatapan kesal sesaat dan masih diam. Melihat temannya tanpa ekspresi begitu Jess dan Hana saling tatap satu sama lain.

"Kau sakit Sia?" tanya Jess sambil memegang dahi Sia lalu membandingkan dengan ketiaknya. "Panas sih."

Kali ini Hana dan Jess terkekeh cukup keras. Sia sempat menoleh ke arah mereka sesaat lalu kembali dengan ekspresinya semula.

"Ih, Sia kenapa sih?" senggol Jess. Sia menoleh ke Jess dan Hana yang ada di sebelah kanannya dan menampakkan ekspresi sedihnya. "Sia nakutin ih."

"Yori..." Hanya itu yang diucapkan Sia masih dengan ekspresi jeleknya.

"Yori?" Jess dan Hana kembali bersitatap. "Emang Yori kenapa?" Sia menghela napas panjang, terasa berat untuk bercerita.

"Hei, udang!"

Baru saja Sia membuka mulut untuk bercerita, sosok itu muncul tiba-tiba membuat Sia terkesiap, segera menoleh ke arah suara. "Yori?"

Yori melihat perubahan ekspresi tiga wanita di depannya. Seperti tukang rosok yang ketahuan mengutil sandal di masjid. Yori teliti satu per satu wajah-wajah itu. Ekspresi paling mencolok adalah Sia, seperti biasa.

"Y-yori kenapa belom pulang? Bukannya tadi kau selesai duluan?"

"Aku nunggu kamu."

Deg.

Glek.

Hatchuuu. Hana bersin.

Nggak boleh baper, Sia. Sia menggeleng cepat, menghapus imajinasi liarnya.

"Kalian nggak keberatan kan kalo Sia pulang bareng aku kali ini?" ijin Yori pada Jess dan Hana. Lagi-lagi mereka saling bertatapan. Sementara Sia mencoba meminimalkan debaran di dadanya yang semakin tak karuan.

"Bukannya kalian udah sering pulang bareng ya selama ujian ini?" Jess dan Hana terkekeh mencoba menggoda Yori. Buru-buru Sia melempar tatapan membunuhnya, seolah mengatakan 'pergilah, pengacau!' Saat itu juga, Jess dan Hana berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya.

Entah kenapa suasana justru jadi canggung ketika Jess dan Hana pergi. Banyak yang ingin dikata, tapi bibir membeku. Angin berhenti bertiup. Waktu berhenti berputar.

Tiba-tiba saja Yori berbalik dan meninggalkan Sia.

"Eh? Yori, tunggu." Sia berlari kecil menyusul Yori. "Tadi katanya pulang bareng. Tapi sekarang aku ditinggal."

"Sebenarnya, tadi aku cuma iseng. Aku habis ngambil pulpenku yang ketinggalan di kelas. Trus ketemu kalian deh, Tri idiot. Haha" Yori tertawa lebar ke arah Sia yang mendadak mematung ketika mendengar lelucon tak lucu Yori. "Kapan lagi aku bisa mengerjaimu."

Lalu Yori berlalu. Lagi-lagi Sia hanya menatap punggung itu menjauh. Dibalik perasaan kesal pada lelucon tak lucu Yori tadi, ada perasaan yang berbeda dari biasa. Kembali, ia memikirkan Yori yang akan jadi jarang ia temui setelah kepindahannya ke departemen sosial. Memang sedikit berlebihan karena faktanya mereka masih bisa bertemu sewaktu istirahat. Tapi, tetap saja berbeda bagi Sia.

Sia masih ingin menghabiskan waktu bersama dengan lelaki yang diam-diam menyita separuh pikiran Sia akhir-akhir ini. Terlebih lagi, setelah waktu yang sering mereka habiskan bersama, meski hanya sekedar belajar, membuat Sia ketagihan untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama Yori.

Yah, kapan lagi.

Buru-buru Sia mengejar Yori yang telah sampai di ujung lorong. Senyum mengembang di bibir Sia. Ia putuskan untuk tidak bersedih karena jarang bertemu Yori. Yah, memang seharusnya tidak begitu. Seharusnya ia bahagia karena pada akhirnya Yori bisa mendapat jalan keluar untuk mimpinya.

Begitu Sia dapat meraih punggung Yori, segera ia jitak kepalanya.

"Aw!" Yori mengusap-usap kepalanya yang terjitak. Muncul Sia dari belakangnya. "Sia?"

"Kapan lagi jitak kepalamu yang encer itu, induk udang? Hahaha" Buru-buru Sia kabur sambil memeletkan lidahnya ke arah Yori. Yori menatap Sia yang telah berlari menjauh dengan tatapan seolah berkata 'kau mau main-main denganku ya' lalu segera berlari menyusul Sia. Berusaha meraihnya dan tentu saja membalaskan dendam atas jitakan di kepalanya.

Mereka terus saja berlarian di jalanan sekolah bahkan tanpa sadar ada orang lain yang sejak tadi mengawasi mereka.

*****

Pendek ya?
Maaf deh. Minggu depan diusahakan lebih panjang :)

17102016

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang