31. Dimulai lagi

81 11 1
                                    

Hari pertama sekolah setelah liburan. Tidak seperti biasa, Yori sudah terbangun dan bersiap-siap ke sekolah sejak pagi. Bahkan ibunya dibuat heran. Mungkin karena ini awal yang baru bagi Yori. Dia terlihat bersemangat.

Baru pukul 6.15 Yori sudah sampai di sekolah. Setelah memarkir sepeda motornya, Yori tidak langsung ke kelas. Ia berdiri menyandar tembok depan gerbang, membuat dirinya jadi pusat perhatian. Ia tidak bermaksud jadi cowok cari perhatian dengan berdiri di sana. Ia hanya sedang menunggu seseorang.

Satu menit, dua menit, hingga hampir 30 menit, seseorang yang ia tunggu tak muncul juga. Bahkan kini bukan hanya Yori saja yang berdiri di sana. Ada Tania, Hana dan Jess di sebelahnya.

“Mas Yori, bel sudah berbunyi. Mas Yori sama teman-temannya silakan masuk ke kelas. Daripada nanti dikira terlambat. Bisa-bisa kena hukuman.”

Ucapan Pak Rusdi menyadarkan mereka. Ternyata sudah lama mereka berdiri di sana, tapi orang itu belum datang juga. Sedih sebenarnya untuk menyadari ternyata harapan tak sampai.

“Kalian masuk dulu aja. Aku akan di sini sebentar lagi. Setidaknya sampai gerbangnya di tutup,” pinta Yori.

“Tidak. Aku akan ikut di sini,” jawab Tania mantap

“Kami juga.”

***

Sungguh, Sia benar-benar tidak pulang ke rumah hingga liburan usai. Dan hari ini seharusnya jadi hari pertama sekolah di semester dua. Tapi sampai pukul tujuh kurang sepuluh menit, ia masih di atas kasur, berselimut.

Bukan. Bukan karena Sia terlambat bangun.

“Woi, bocah.” Satya memandangi Sia yang masih selimutan. “Kau tidak sekolah? Sudah jam berapa ini?”

Sia menyingkirkan selimut dari mukanya lalu menatap ke arah Satya yang berdiri di ambang pintu. “Apa aku bisa masuk sekolah?”

Alis Satya terangkat. “Apa maksudmu? Kenapa kau tidak bisa sekolah? Kau sakit?”

Kini Sia membuka selimutnya hingga setengah badan lalu menendangnya hingga jatuh dari kasur. Tentu saja itu membuat Satya merasa Awkward untuk berada di sana dan melihat itu semua. Bagaimana bisa seorang gadis melakukan hal itu di depan lelaki asing. Berbeda dengan Sia yang bahkan tak peduli dengan kotoran di mata, bekas liur di pipi dan rambut berantakan.

“Aku tidak punya seragam.”

Seketika Satya menepuk dahinya. Sia benar-benar seperti anak kecil.

“Lalu, kenapa kau tidak pulang saja?” Kali ini Satya mengucapkannya cukup keras. Ia mulai kesal dan lelah dengan kelakuan Sia yang terkadang tidak berpikir ketika memutuskan sesuatu.

Tak perlu waktu lama, Satya langsung meninggalkan Sia di sana, pergi keluar rumah. Itulah yang membuat Sia jadi merasa bersalah. Merasa sepertinya Satya sudah jenuh dengannya. Mungkin karena dirinya selalu merepotkan lelaki itu. Serba salah.

***

“Mas Yori, ini sudah jam tujuh lebih. Saya akan tutup gerbangnya sekarang. Mas Yori dan teman-teman mau masuk atau tetap di sana?”

Kecewa, sedih, bercampur aduk dalam hati masing-masing. Seiring harapan yang sirna, semangat mereka melemah juga. Harapan untuk bertemu dengan kawan yang beberapa hari ini menghilang entah kemana. Mengingatnya saja, pikiran negatif menjalar seketika. Bagaimana jika Sia benar-benar diculik? Bagaimana jika setelah surat ‘baik-baik saja’ itu, Sia justru mendapat masalah dan tidak baik-baik saja? Bagaimana jika Sia kelaparan? Ditangkap petugas dinas sosial karena dikira gembel? Atau parahnya, dipaksa jadi pengemis? Pengamen? Atau yang lebih mengerikan, jadi tuna susila?

DreamcatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang