Chapter 2

2.5K 61 0
                                    

"Astaghfitullahaladzim. Kamu apa-apaan, Nak?"

Tampak beberapa noda bekas lipstik di bibir Adam. Hatinya mencelos, anaknya berdandan seperti perempuan.

Adam terlihat seperti maling yang tertangkap basah. Ia gusar. Tangannya gemetar, kakinya mendadak lemas. Mulutnya terkunci. Ia bahkan tak bisa menjelaskan apa pun kepada ibu.

Pemuda itu lantas duduk di tepi kasur, menunduk. Menyiapkan diri jika ibu marah.

"Coba jawab ibu. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berdandan seperti ini?"

Adam melirik ibu sekilas, lalu kembali menunduk.

"Adam minta maaf, Bu. Adam nyaman seperti ini?" Hatinya bergejolak. Adam tahu ini salah, tetapi ia harus mengatakannya.

"Apa maksudmu, Nak?"

"Bu, selama delapan belas tahun, Adam menurut apa kata ibu. Sekali saja Adam ingin dimengerti. Sekali saja, Adam ingin ibu menerima keputusan Adam."

Sekuat tenaga ibu membesarkan hati.

"Keputusan apa?" Ibu menatap nanar. Bibirnya bergetar mengucapkannya. Sesungguhnya ia belum siap jika perkiraannya benar.

Pemuda itu menganjur napas panjang. Menutup mata sambil menggigit bibir. Ia takut ibu murka, ia khawatir ibu sedih.

"Keputusan apa, Nak?" Ibu menggoncang tubuh Adam. Kali ini ibu menatap lekat mata Adam.

"Adam ingin berubah." Anak itu tetap tak berani menatap mata ibu.

"Berubah? Ibu nggak ngerti. Coba jelaskan."

"Adam, ingin jadi ...."

Ibu memperhatikan wajah Adam.

"Jadi apa?"

"Bu." Adam bangkit membelakangi ibu, "Selama ini Adam di-bully di sekolah. Adam dibilang banci karena nggak suka main bola. Adam dibilang cowok jadi-jadian karena lebih senang berteman dengan perempuan ketimbang laki-laki. Adam dibilang dua kelamin karena nggak gagah. Ibu nggak tahu, kan?"

"Lalu apa hubungannya kamu jadi seperti ini?"

"Adam nggak nyaman jadi laki-laki."

Segaris bening meluncur ke pipi ibu. Wanita itu berusaha kuat mendengar apa yang baru saja anak semata wayangnya ucapkan. Seketika lututnya lemas, Ibu mundur beberapa langkah lalu terduduk di atas dipan.

Kalau saja suaminya masih ada, pasti tak akan seberat ini menerima pengakuan Adam.

"Adam hanya minta, ibu menghargai keputusan Adam." Anak itu bersimpuh di hadapan ibunya.

"Keputusan apa?" Rahang ibu mengeras. Pandangannya kosong.

Adam bergeming, ia tak bisa menjawab. Seharusnya ibu mengerti keinginannya.

"Kamu sendiri bingung. Artinya kamu tahu kalau itu salah. Apa kamu pikir ibu akan menyetujui anaknya terjerumus dan termasuk dalam golongan kaum Luth?" Mata ibu berkaca-kaca tetapi tajam menatap Adam. "Tidak, Nak! Ibu tidak rela!"

"Ibu nggak ngerti apa yang aku rasakan. Aku cuma ingin jadi diri sendiri. Aku nggak nyaman seperti ini. Aku merasa hidup di tubuh yang salah."

"Allah nggak pernah salah menciptakan hamba-Nya. Ciptaan-Nya selalu sempurna. Lawan keinginan itu. Ibu tahu kamu, Nak. Kamu punya ini, kan?" Ibu menunjuk dada Adam, "tanyakan padanya, nuranimu."

Adam menggeleng, sekeras apa pun menjelaskan pada ibu hasilnya akan sia-sia.

"Siapa yang mempengaruhimu? Bilang sama ibu, siapa?" Ibu menggoncang bahu Adam.

Adam bergeming, hati ibu semakin kesal.

"Astaghfirullah." Ibu mengusap wajah, berusaha mengumpulkan kesabaran.

"Bu ...." Adam menggoyang-goyangkan tangan ibu, tetapi rahangnya tetap mengeras, sama sekali tak memandang wajah Adam.

"Kalau kamu memang ingin ibu mati lebih cepat. Lakukan apa yang kamu inginkan tadi. Selama masih hidup, ibu tidak akan membiarkan kamu terjerumus."

Ibu menepis tangan Adam, lalu bangkit meninggalkannya.

"Tapi, Bu, Bu." Adam meremas rambutnya. Batinnya diselimuti dilema.

*
Di dalam kamar, Ibu menangis tersedu-sedu. Ia tak menyangka ujian terberat mendidik anak justru dimulai saat Adam lulus SMA. Bukan ketika masih kecil. Dulu, saat suaminya meninggal, ia merasa dunianya runtuh. Tak tahu harus bergantung kepada siapa. Tetapi Allah Maha Baik. Ia titipkan Adam sebagai sumber kekuatannya. Perlahan ibu bangkit demi Adam, anak semata wayangnya. Tetapi ternyata Allah mengujinya lagi, Adam justru menjadi cobaan terberat baginya. Ternyata mencintai sesuatu secara berlebihan itu tak boleh. Hanya Allah satu-satunya yang boleh dicintai tanpa batas. Allah Maha Pencemburu. Ia akan menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang sangat dicintainya.

Tiba-tiba deru suara motor terdengar. Tangis ibu semakin tergugu. Ia merasa gagal sebagai orang tua.

"Ya Allah, lindungi anak hamba. Maafkan hamba, kuatkan hamba menghadapi semua ini."

Matahari mulai redup di petala langit, awan berwarna jingga menggelayut sendu. Adam membelah jalanan menuju Mall di pusat kota. Kacau balau menghadapi pergolakan batin yang dia rasakan.

Dalam perjalanan, pemuda itu merasakan pipinya menghangat karena basah oleh air mata. Ia tak kuasa melihat ibu bersedih. Wanita itulah satu-satunya yang dia miliki di dunia ini sejak ayahnya tiada delapan belas tahun yang lalu. Dalam benaknya, Adam ingin membuat ibunya bahagia, mencukupi segala kebutuhannya, sehingga wanita itu tidak harus bangun tengah malam mempersiapkan dagangan nasi uduk untuk dijual pada pagi harinya. Namun, di sisi lain Adam juga tak ingin tersiksa karena merasa berada di tubuh yang salah.

Dia adalah wanita yang terjebak di tubuh seorang pria. 

Adam mencoba menenangkan perasaan dengan masuk ke sebuah Mall. Dia bingung hendak ke mana. Singgah di rumah Alea pasti akan sangat merepotkan. Dia tidak ingin Alea tahu masalahnya dengan ibu. Biarlah, masalah ini dia simpan dan selesaikan dengan caranya sendiri.

Adam berjalan melewati sebuah salon. Langkahnya terhenti ketika melihat sebuah papan pengumuman tertempel di balik di dinding kaca. Pemuda itu terpaku cukup lama sebelum akhirnya memutuskan masuk ke salon itu.

Adam melihat ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu, hingga akhirnya seorang karyawan salon mendatanginya.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya karyawan salon, seorang pria yang bertingjah gemulai.

"Em ... maaf, Mas. Apa lowongan yang tertempel di kaca itu masih ada?" Adam bertanya ragu.

Laki-laki itu tersenyum, "Lowongan itu sebenarnya sudah terisi, tapi kami sedang membutuhkan make up artis untuk cabang salon kami yang lain. Anda bisa make up?"

Adam berpikir sejenak mungkin ini saatnya membuktikan pada ibu, bahwa Adam bisa tidak merepotkan. Ia bisa bekerja dan meminta ibu berhenti berjualan nasi uduk.

Namun, sebenarnya bukan itu yang diinginkan ibunya. Adam tidak tahu bahwa di rumah ketika baru saja menyelesaikan salat maghrib, ibu begitu cemas, kekhawatiran menggelayuti pikirannya. Ibu memejamkan mata seraya berdoa.

"Ya Allah, apabila dosa-dosaku yang menyebabkan doa-doaku sulit terkabul, maka ampunilah segala dosaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Limpahkanlah kasih sayangmu kepada kami semua. Ya Rabb anugerahkanlah hamba keturunan yang dapat menjadi penyejuk hati dan jadikanlah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Rabbana Hablana min azwa jina wa dzuriyyatina qurrota a'yun waja'alna lil muttaqina imma maa, innaka antal wahab."

Wanita itu bersujud di akhir doanya, tak terasa cairan bening mulai menggenangi kelenjar lakrimalis, perlahan ... lalu menetes di atas sajadah tempat dia bersujud.

ADAM DAN MADAWhere stories live. Discover now