Part 44

6K 1K 102
                                    


Genta sudah  merasa aneh ketika mengetahui Raya menginap di rumah orangtuanya. Tapi sedikit pun ia tidak pernah bermimpi kalau laki-laki itu akhirnya muncul lagi. Kembali lagi dan berusaha mengambil miliknya yang paling berharga, istri dan anaknya. Ia tahu hal yang buruk telah terjadi ketika ayahnyalah yang menjemputnya ke bandara. Tak pernah sekali pun laki-laki itu menjemput Genta dan tiba-tiba hari ini ia melihatnya gerbang kedatangan bandara dengan wajah yang berkerut dan sangat serius.
“Ada apa, Pa?” tanya Genta ketika mereka telah duduk  berhadapan di Anomali Coffee, Setiabudi Building.
“Laki-laki itu kembali.”
“Siapa?” tanya Genta heran.
“Fatta.”
Genta terdiam lalu menatap Pak Anindya, “Dari wajah Papa aku tau dia kembali bukan dengan niat baik bukan?”
“Mbok Ijah menceritakan tentang Tara padanya.”
“Apa dia mau mengambil Tara?” tanya Genta hati-hati.
“Bukan hanya Tara tetapi juga Raya.”
“Maksud Papa?” tanya Genta cepat.
“Dia meminta Raya meninggalkan kamu.”
Sekarang wajah Genta tidak terlihat tenang lagi. Wajahnya yang lembut dan tenang berganti ketegangan dan amarah yang muncul seketika. Tangannya mengepal dan mati-matian Genta menahan keinginan untuk menghancurkan meja di hadapannya.
“Tenanglah, Nak,” ujar Pak Anindya sambil  memegang tangan Genta.
“Bagaimana aku bisa tenang, Pa,” sergah Genta gusar, “Dia berusaha mengambil anak dan istriku.”
“Dia tidak akan bisa mengambilnya,” ujar Pak Anindya.
“Bagaimana Papa begitu yakin?”
“Nggak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengambil Raya dan Tara dari keluarga kita.”
“Kapan dia kembali?” tanya Genta tajam.
“Ketika kamu ke Medan. Raya bertemu dengannya di bandara.”
“Dan kenapa nggak ada yang menceritakannya padaku?” tanya Genta dengan suara tercekik.
“Kamu sedang tur dan kami nggak ingin mengganggu konsentrasimu.”
“Raya itu istriku,” kata Genta hampir berteriak, “Seharusnya dia menceritakan semuanya padaku.”
“Raya cerita pada kami.”
“Itu benar, Papa! Tapi aku suaminya dan aku berhak untuk tau, apalagi yang menyangkut tentang kelangsungan pernikahan kami. Dia tidak boleh menyembunyikan satu rahasia saja dariku.”
“Dia nggak menyimpan rahasia apa pun, Nak. Fatta mendatangi rumah kalian dan memaksanya meninggalkan kamu. Raya begitu takut dan frustasi lalu menemui kami. Itu saja.”
“Tapi tetap saja dia harus menceritakan semuanya padaku, Pa,” ujar Genta kesal, “Dari wajah Papa aku tau masalahnya nggak semudah itu. Dan Papa juga tau sampai hari ini Raya masih belum melupakan Fatta. Raya masih mencintainya.”
Pak Anindya menggeleng untuk menyangkal.
“Papa nggak usah menyangkalnya, kita sama-sama tau itulah kenyataannya.”
“Tapi kalian sudah menikah Ta, kalian bahkan memiliki Tara.”
“Tapi tetap saja ada Fatta di antara kami. Walaupun kami telah menikah, aku tau itulah kenyataan yang ada. Dan faktanya adalah Tara itu anak kandung Fatta. Aku mencintai Tara Papa, sangat mencintainya, tapi tetap saja ia anak kandung Fatta. Dan bukan tidak mungkin laki-laki itu akan berhasil membawa Raya dan Tara.”
“Itu tidak akan terjadi, Genta. Raya tidak semudah itu di pengaruhi. Mungkin Raya masih belum mencintai kamu, tapi Papa tau kalau dia begitu menyayangi kamu. Raya bahagia dengan pernikahan kalian dan begitu gembira masuk ke dalam keluarga ini. Dan ia nggak akan begitu bodoh menukar semua kebahagiaannya dengan janji-janji laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya.”
“Papa nggak mengenal Raya. Raya itu begitu rapuh dan begitu mudah di pengaruhi,” ujar Genta sambil mengamati wajah ayahnya.
“Karena itu bijaksana bukan membawa Raya ke rumah Papa, setidaknya ia tidak akan bertemu Fatta dan keluarganya sendirian.”
“Apa mereka pernah bertemu lagi setelah itu?” tanya Genta ingin tahu.
Pak Anindya menggeleng, “Ibunya pernah datang, tapi Mama yang menemuinya dan mereka bertengkar.”
“Bertengkar?”
“Ia berniat membawa Tara. Aneh bukan, padahal ia begitu membenci Raya, tapi ia dengan tidak tau malunya muncul di depan pintu dan mengaku-ngaku sebagai nenek Tara.”
“Nggak satu pun anggota keluarga itu yang akan aku biarkan menemui istri dan anakku.”
“Mungkin mereka akan membawa masalah ini ke pengadilan dan ini akan menjadi berita besar, Genta,” ujar Pak Anindya hati-hati.
“Aku nggak peduli dengan semua pemberitaan, Pa. Itu nggak akan mempengaruhi apa pun. Aku nggak pernah mencuri Raya dan Tara dari siapa pun. Mereka meninggalkannya dalam keadaan hancur. Akulah yang membawanya, merawatnya dan mencintainya. Dan aku nggak akan rela seorang pun dari keluarga Handoko menyentuhnya kembali. Walau pun semua media akan memuat berita ini, aku nggak akan peduli. Urusan pribadiku nggak ada hubungannya dengan FUEL. Dan mereka nggak akan bisa mengambil keuntungan dari situasi ini. Justru merekalah yang harus berhati-hati jika tidak ingin keadaan berbalik dan semua orang akan tau bagaimana keluarga Handoko memperlakukan Raya demikian buruk. Yang justru aku takutkan Pa, bagaimana sebenarnya perasaan Raya. Dia pernah mencintai Fatta demikian besar dan bukan tidak mungkin laki-laki itu berhasil meyakinkan Raya. Aku memang suaminya dan mungkin Raya mulai terbiasa dengan kehadiranku dan perlahan-lahan belajar hidup bersamaku, tapi ia belum mencintai aku. Itulah masalah terbesar yang harus kuhadapi, bukan pemberitaan media.”

A Homing BirdWo Geschichten leben. Entdecke jetzt