Part 38

5.2K 992 214
                                    

Raya sekarang mulai terlihat gemuk dengan perutnya yang membundar. Tapi Genta suka melihatnya pagi-pagi berjalan ke arahnya dengan tertatih-tatih tapi sekaligus terlihat anggun dan menggemaskan. Hari-hari mereka berlalu dengan begitu cepat. Mereka mulai membeli perlengkapan bayi dan sebagainya. Dahulu hidup Genta amat permanen dan statis dengan kegiatan di band dan malam-malam panjang di tempat hiburan. Tapi sekarang semuanya berubah, perubahan yang menyenangkan dan memberikan pengalaman baru yang menyegarkan.
Begitu membanggakan mengantarkan Raya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Begitu menyenangkan berburu tempat tidur bayi dan bersibuk-sibuk mencari nama-nama bayi di dalam buku nama. Dan seharian ini, ia dan Raya berbelanja pakaian dan berbagai perlengkapan bayi mereka.
Genta melirik jam dinding. Pukul dua lebih tiga puluh lima menit dan ia belum bisa tidur. Genta bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Perutnya amat lapar dan ia betul-betul ingin makan saat ini. Ketika ia sampai di dapur, lampu dapur telah menyala dan Raya duduk di tengah ruangan dengan setangkup roti dan segelas susu.
“Raya?”
“Aku membangunkanmu, ya?” tanya Raya sambil bertopang dagu memerhatikannya.
Genta menggeleng lalu duduk di samping Raya, “Aku lapar.”
“Mau kubuatkan makanan?” tanya Raya.
Genta menggeleng, “Makan roti saja,” sahut Genta sambil membuka tempat roti, mengolesinya dengan selai blueberry Bonne Maman dan mulai makan.
“Capek ya, menemaniku seharian?” tanya Raya dengan pandangan menyelidik.
“Nggak, menyenangkan kok.”
“Aku lapar banget,” gumam Raya.
“Aku juga dan untunglah kamu sudah melewati masa ngidam. Kalau enggak, bukan gak mungkin malam ini kita pergi ke Bandung membeli batagor.”
Raya tertawa dan memerhatikan Genta yang makan dengan lahap.
“Jangan memandangiku seperti itu,” kata Genta jengah.
“Kalau kamu malu-malu seperti itu terlihat manis sekali.
Genta tergelak, “Kamu sering menyelinap malam-malam dan makan begini, Ra?”
Raya tersipu malu dan mengangguk.
“Kenapa malu?” tanya Genta heran.
“Orang-orang bilang jangan makan terlalu banyak ketika hamil, atau kamu akan kesulitan untuk mendapatkan bentuk tubuhmu kembali.”
“Omong kosong,” sahut Genta, “Perempuan hamil makan bukan untuk dirinya sendiri tapi juga untuk bayinya, jadi makan begitu banyak makanan malah sangat dianjurkan.”
“Baru akhir-akhir ini aku begitu tergila-gila pada makanan. Kemarin-kemarin setiap mencium bau makanan perutku langsung mual. Tapi sekarang semua makanan terasa sangat enak. Oh… bayinya bergerak!”
“Apa?”
“Bayinya bergerak,” kata Raya sambil mengamati perutnya.
“Seperti apa rasanya?” tanya Genta dengan perasaan takjub.
Raya meraih tangan Genta dan menempelkannya di perutnya. Dan Genta ternganga seketika. Di bawah telapak tangannya bayi itu mulai bergerak.
“Sayang… dia bergerak,” gumamnya sambil memandang Raya dengan perasaan campur aduk.
Raya tertawa, “Peganglah… ini kakinya.”
“Bagaimana kamu tau ini kakinya?” tanya Genta bingung.
“Karena dia menendang.”
“Tentu saja, dia laki-laki seperti yang Papa bilang. Anak laki-lakiku,” kata Genta dengan bangga, “Ya ampun, Raya… anak laki-lakiku keren sekali.”
“Keren?” tanya Raya bingung.
“Kurasa dia sedang menggebuk drum di dalam sana seperti Om Ruben,” bisik Genta, “Dina kan selalu bilang Ruben cowok terkeren di seluruh muka bumi. Kurasa nggak lama lagi dia bakal dapat saingan.”
“Mama mendaftarkanku ke kelas senam,” kata Raya tiba-tiba pada Genta.
“Kapan mulainya?” tanya Genta.
“Besok malam jam tujuh,” kata Raya sambil menguap, “Di rumah sakit.”
“Sudah mau tidur, Ra?”
Raya melorot di kursinya sambil mendongak menatap Genta dan bertukar pandang, “Semua orang di antar suaminya,” tuturnya pelan lebih menyerupai bisikan.
Genta tersenyum lembut, “Besok malam kamu akan di antar suamimu ke kelas senam itu. Sekarang lebih baik kita pergi tidur, ya,” lanjut Genta sambil membantu Raya berdiri dari kursinya dan mengantarkannya ke dalam kamar, membaringkan Raya, menyelimutinya dan memerhatikannya hingga istrinya itu tertidur pulas.

*****


Seluruh penghuni kelas itu nyaris tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran senamnya begitu pula dengan semua orang di rumah sakit, begitu Genta dan Raya datang untuk kelas senam hamil pertamanya. Keberadaan Genta benar-benar menarik perhatian. Dia begitu tampan, begitu ramah dan begitu memanjakan serta memuja istrinya. Genta tidak segan-segan memegang tas tangan istrinya, menuntunnya ketika berjalan, menatap mata sang istri ketika bicara, begitu perhatian dan baik hati. Orang yang melihat akan mengira mereka adalah pasangan yang berbahagia dan saling mencintai. Membuat semua perempuan di sana merasakan perasaan iri pada perempuan hamil yang terlihat tidak percaya diri dan rapuh di samping Genta.
“Ya ampun… Raya, kamu sangat beruntung. Suamimu itu jauh lebih cakep dari di TV,” bisik seorang perempuan hamil di sampingnya sambil mengamati Genta yang duduk di antara laki-laki lain di ruangan itu yang tengah menunggui istri-istri mereka.
“Apa dia menidurkanmu dengan nyanyian setiap malam?” tanya perempuan lain di belakang Raya sambil menatap Genta antusias.
Raya memandangi Genta. Genta balas menatapnya dan tersenyum manis. Mengenakan celana denim hitam, kaus abu-abu gelap, habis mandi dan sangat bersemangat mengikuti kelas senam Raya, Genta terlihat benar-benar tampan. Dan Raya benar-benar sadar mengapa semua orang memandanginya dengan perasaan iri. Genta terlihat amat manis di sana, tersenyum penuh cinta dan memandanginya tanpa berkedip.
“Ah… pasti romantis sekali ya, kehidupan pernikahan kalian. Apa dia sudah menciptakan lagu untuk bayi kalian?”
Raya tersenyum kecil dan Genta balas tersenyum di tempatnya. Menciptakan lagu untuk bayi ini memang romantis. Tapi Genta tidak hanya romantis. Dia begitu baik hati. Memberinya rumah yang indah, menikahinya dengan pesta luar biasa, bulan madu ke pegunungan,  membeli perlengkapan bayi, merawatnya ketika dia begitu lemas dan tak berdaya dengan kehamilannya dan tentu saja menyelamatkan mukanya serta bayinya dengan memberi status sebagai istri.
Pelajaran senam itu dimulai, Raya duduk dan menjulurkan kakinya seperti teman-teman sekelasnya dan mencoba berkonsentrasi pada pelajarannya. Raya memerhatikan pelatih senamnya dan mereka mulai melakukan relaksasi sederhana sebagai permulaan. Pelatih senamnya bertepuk tangan setelah dua jam berlalu, “Baiklah pelajaran kita selesai hari ini. Kita akan betemu tiga hari lagi untuk latihan pernafasan. Dan para ayah, bantuin dong, bundanya bangkit.”
Dengan sigap Genta bangkit berdiri menuju Raya. Sambil tersenyum dia membantu Raya berdiri dan kemudian menuntun istrinya menuju mobil mereka.
“Capek, sayang?” tanya Genta di dalam mobil yang bergerak meninggalkan rumah sakit.
Raya menggeleng, “Tapi aku lapar.”
“Mau makan apa?”
“Aku mau makan soto betawi,” Raya tersenyum senang sambil bersandar di kursinya.
Ya.. seenggaknya soto betawi banyak di Jakarta.

A Homing BirdWhere stories live. Discover now