Part 31

5.7K 986 51
                                    

Buat yang lagi nungguin semifinal sepak bola Sea Games Indonesia - Malaysia, nihhh... saya kasih cemilannya Genta...
Semoga ini jadi malam yang cerah buat kita, yaa...

*****

Di luar apartemennya langit amat cerah. Semuanya biru dan menyenangkan. Raya duduk melamun di kursi makannya dengan murung. Suasana yang cerah tidak membuat hatinya berubah cerah. Raya menyendok sereal dan memakannya dengan setengah hati. Kalau bukan karena sedang mengandung, dia benar-benar tidak ingin makan. Tapi dia memang harus makan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk calon bayi ini. Bayi yang pasti akan sangat dicintainya. Bayi Fatta.

Mengetahui Fatta kembali dengan Alexa sungguh menyakitinya. Ini seperti terserang penyakit dan ternyata penyakit cinta ini sungguh mematikan. Paling tidak mematikan semangat hidupnya. Tetapi sejak bangun tidur tadi Raya bertekad akan melupakan cintanya dan menyembuhkan patah hatinya. Dia harus merancang masa depannya sendiri, juga masa depan bayinya. Tanpa Fatta tentu saja.

Bel apartemennya berbunyi nyaring. Raya mengangkat wajahnya dari mangkuk sereal dan berpikir-pikir siapa yang datang sepagi ini. Ini hari sabtu dan ia tahu bukan Dina yang datang berkunjung karena pagi ini Dina sedang terbang. Raya bangkit dari kursinya dan setengah berharap Fatta yang datang, tapi pada saat yang bersamaan dia tahu itu tidak mungkin. Fatta sekarang berada di Singapura dengan Alexa dan calon bayi di perut istrinya itu. Raya membuka pintu dan Genta berdiri di sana dengan senyum terkembang.

"Genta?"

"Aku boleh masuk nggak, Ra?" tanya Genta dengan sopan.

Raya membuka pintu lebar-lebar dan Genta melangkah masuk.

"Sudah lama sekali, ya?" ujar Genta sambil tersenyum menatap Raya dengan penuh kerinduan.

Raya mengangguk lalu mempersilahkan Genta duduk. Raya tersenyum lalu duduk di sofa tak jauh Genta. Genta memandang Raya dalam-dalam. Mengamati dan meneliti keadaan gadis itu tepatnya. Raya terlihat lebih kurus dan juga pucat, membuat gadis itu terlihat semakin rapuh. Genta memandangi Raya dalam-dalam dan tekadnya semakin bulat untuk melindungi gadis itu dan bayinya.

"Jangan melihat aku seperti itu, Ta," ujar Raya jengah.

"Kenapa jadi begini, Ra?"

Raya menggeleng, "Dina sudah cerita semua, ya?"

Genta mengangguk.

"Mungkin sudah harus seperti ini, Ta. Nggak apa-apa kok."

"Ini nggak adil, Raya."

"Nggak semua orang di dunia ini mendapat keadilan. Nggak semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dan nggak semua orang harus bahagia. Mungkin aku salah satunya."

"Raya kamu berubah, dulu kamu nggak seperti ini."

"Nggak ada yang akan seperti dulu lagi, Ta," ujar Raya pelan.

"Mungkin," Genta mengangguk setuju, "Tapi paling tidak kamu harus menata hidup kamu lagi. Masa depan kamu."

"Caranya?"

"Menikahlah denganku."

Raya ternganga di tempat duduknya, "Menikah?"

Genta mengangguk mantap.

"Denganmu?"

Genta menganggukkan kepalanya sekali lagi, "Ya, denganku!"

"Tapi ini nggak masuk akal!"

"Kenapa, Ra?"

"Ya ampun, Genta!" Raya menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

"Kita sama-sama sendiri, karena itu bukan masalah kan kalau kita menikah? Aku dan Marsya sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi, begitu pula kamu dengan Fatta. Dan yang terpenting aku mencintai kamu."

A Homing BirdOnde histórias criam vida. Descubra agora