Part 36

4.8K 883 62
                                    

Siapa bilang lepas dari kepenatan itu tidak menyenangkan? Itulah yang dirasakan Raya hari ini. Dia sangat menunggu-nunggu bepergian dengan Genta. Walau pun bukan beranjangsana ke negeri di seberang lautan, akan tetapi setelah semua masalah dan kesesakan, memanjakan diri dan menjauh sejenak dari Jakarta terlihat menyenangkan untuk dilakukan.  Kesemuanya itu memang obat stress paling ampuh setelah semua kelelahan luar biasa yang di mulai dari persiapan pernikahan hingga resepsi yang menguras tenaga dan pikiran. Dan Kampung Sampireun adalah surganya bagi pasangan bulan madu, sekali pun mereka menikah hanya untuk menyelamatkan sesuatu.
Menjalani bulan madu romantis adalah impian Raya sejak dulu. Dengan Fatta tentu saja. Tapi saat ini, laki-laki yang akhirnya menikahinya adalah Genta. Laki-laki baik yang begitu mencintainya. Raya menggenggam erat tangan Genta begitu ia melangkah memasuki Kampung Sampireun. Raya mengedarkan pandangannya dan mendesah bahagia menatap pemandangan alam pedesaan, menghadirkan suasana kampung tatar Sunda. Hembusan angin lembut membelai pipi Raya dan ia memejamkan mata begitu mendengar alunan musik tradisional. Genta tersenyum dan menyentuh pipi istrinya.
“Cantik sekali,” ujar Raya sambil tersenyum.
Genta mendekatkan kepalanya dan berbisik, “Secantik kamu.”
Raya tersipu dan mengerjap, “Ini... benar-benar bulan madu sempurna.”
Raya sedang menyelupkan kakinya di air danau ketika ia memandangi bentangan langit biru dengan burung-burung merpati putih yang berterbangan. Gemericik air danau dan desau angin yang membelai pucuk-pucuk pohon bambu terdengar bagai simfoni orkestra alam yang memabukkan. Benar-benar bulan madu sempurna dengan suami terbaik yang turun dari dari langit. Apa lagi yang kurang? Oh My…
Raya menatap sepasang merpati putih yang tengah meliuk memadu kasih itu, ketika tanpa sadar bibir mungilnya menyenandungkan Free as a bird nya The Beatles. Sebuah lagu lama yang sangat di sukai Fatta.

Free as a bird
Is the next best thing to be
Free as a bird
Home
Home and dry
Like a bird on wings
Whatever happened to
The life that we once knew
Can we really live without each other?
When did we lose the touch
That seemed to mean so much
It always made me feel so
Free as a bird
Is the next best thing to be
Home
Home and dry
Like a homing bird that files
As a bird on wings

Whatever happened to
The life that we once knew
Always made me feel so
Free as a bird
Free as a bird
That’s the next best thing to be
Free as a bird
Free as a bird
Free as a bird

“Cantik, Ra?” tanya Genta yang tiba-tiba sudah ikut berdiri di samping Raya.
Raya menoleh dan tersenyum lembut, “Banget! Lihat burungnya.”
“Kenapa burungnya?” tanya Genta.
“Burung itu cantik, putih dan bebas. Burung itu simbol kebebasan. Mereka dapat terbang dan pergi kemana aja. Ketika mereka terbang untuk waktu yang lama mereka akan tetap menemukan jalannya untuk kembali pulang. A homing bird. Tapi manusia gak seperti itu, beberapa dari mereka pergi dan tidak akan pernah kembali,” gumam Raya muram.
Genta menatap wajah Raya yang berkabut dan mengerti arah pembicaraannya. Tentu saja Fatta. Dan Genta memang berharap Fatta tidak akan pernah kembali. Tidak satu kali pun.
“Kamu tau,” desah Raya sembari menatap angkasa, “Burung merpati, dimana pun ia akan dilepaskan, kemana pun ia akan terbang, ia akan kembali ke rumahnya. Kembali ke tempat dimana ia merasa nyaman. Dimana ia tahu ada pasangan hidupnya yang menunggu di sarang mereka. Karena merpati itu setia, Genta. Dan mereka romantis, juga selalu dapat bekerja sama baik dalam membuat sarang atau mengerami telur. Mereka bersama dan saling mengerti tanpa syarat.”
Tiba-tiba Raya menatap Genta dan tersenyum dengan mata yang menyorot sedih, “Tapi ada satu keunikan yang jarang diketahui oleh orang-orang. Merpati tak punya empedu. Itu berarti secara tak langsung, merpati tak memiliki kepahitan dalam tubuhnya. Dalam hidupnya. Merpati tak pernah mendendam. Merpati tak pernah ingkar janji.”
“Raya...”
“Aku ingin seperti merpati, Genta. Ingin selalu tahu jalan pulang ke rumahku. Ingin dapat mencintai pasangan hidupku dan bekerja sama dengannya untuk membuat pernikahanku berjalan baik. Ingin bahagia dan tak merasakan kepahitan hidup. Ingin tak mendendam. Dan ingin tak mengingkari janji pernikahanku. Bisakah aku, Genta?”
Genta menatap wajah mungil Raya yang terlihat tersiksa. Bekas airmata terlihat di ujung pipinya. Genta mengulurkan tangannya, mengusap lembut  pipi itu.
“Kamu masih bingung dengan pernikahan yang mendadak ini, sayang.”
Raya menggelengkan kepalanya, “Bisakah aku, Genta? Bisakah aku sebahagia merpati? Bisakah aku setulus mereka?”
“Jika kamu yakin, maka kamu akan bisa. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu atas pertanyaan itu. Terkadang musuh terbesar kita adalah ketakutan kita sendiri, sayang. Jadi kumohon, perangilah rasa takutmu.”
Raya memiringkan kepalanya, terlihat berpikir lalu ia mengangguk, “Jika kamu ada disampingku, aku akan bisa mengatasinya. Benar bukan?”
Genta tersenyum dan menatap ke pendar kecokelatan mata istrinya. Cantik dan indah. Pendar yang membangkitkan rasa takut akan kehilangan pemilik mata itu. Dan belum pernah Genta seumur hidupnya begitu menginginkan seseorang atau pun sesuatu seperti ia menginginkan Raya. Perasaan ingin memiliki yang begitu dominan juga menakutkan. Genta meneguhkan hati, jika Raya adalah merpati, maka ia adalah pasangan hidupnya. Oleh karena itu mereka akan memerangi rasa takut ini bersama-sama.
“Bayinya bagaimana?” tanya Genta berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Dia baik-baik aja,” kata Raya dengan masih tetap memandangi Genta, “Terimakasih, ya?”
“Loh… ini kan hadiah bulan madu dari Mama dan Papa,” ujar Genta sambil menyibak rambut yang menutupi mata Raya.
“Kalau kamu nggak menikahi aku, kita kan gak mungkin ada di sini,” kata Raya.
“Raya?”
“Ya?”
“Berhentilah berpikir seperti itu.”
“Seperti apa?” tanya Raya.
“Seperti... “ Genta menyentuh rambut Raya dan membelainya lembut, “Sayangku, jangan mengatakan apa pun yang seolah-olah menyiratkan kita adalah orang asing. Kamu tau, kita sudah menikah. Sudah kewajibanku untuk menjaga dan membahagiakan istriku. Bila saat ini kamu belum mencintaiku, tak apa. Tapi, percayailah aku. Percayakan hidupmu padaku dan aku janji akan berusaha semampuku untuk memberikan yang terbaik padamu dan anak kita. Aku akan menjadi seseorang yang selalu ada dalam hidupmu, menjadi seseorang yang peduli pada kebahagiaanmu. Bisa kamu mempercayaiku, Raya?”
Kata-kata itu membuat Raya ingin menangis. Rasa sakit menghantamnya ketika ia menahan tangis. Betapa baiknya laki-laki yang menjadi suaminya ini.
“Aku percaya, tapi.. tunggulah aku hingga aku siap membuka lembaran baru,” bisik Raya.
Raya meraih tangan Genta, menggenggamnya seolah-olah itu adalah pegangan terakhir untuk menyelamatkan hidupnya. Genta tersenyum dan Raya menyelinap ke dada laki-laki itu. Sudut bibir Raya tertarik begitu ia merasakan kenyamanan dan tak ingin beranjak. Rasanya seolah ia menemukan sandaran dan tempat berlabuh. Isakan yang coba di tahan itu pecah dan menyisakan tangis yang menyesakkan dada.
Genta mengeratkan pelukannya, “Sudahkah aku mengatakan padamu, semuanya akan baik-baik saja, sayang?”
Raya mendongak dan ia memandang sepasang mata tajam yang membuatnya tersesat. Setelah berminggu-minggu kehilangan arah, Raya percaya pemilik sepasang mata elang itulah yang akan menuntun hidupnya menjadi lebih bahagia.

*****

Genta menyesap kopinya dan mencoba mengabaikan Raya yang tengah terbaring di atas tempat tidur berkanopi cantik itu. Genta meraih ponselnya dan membuka akun media sosialnya, mencoba membalas ucapan selamat atas pernikahannya dan Raya. Laki-laki itu hanya sanggup bertahan selama semenit sebelum ia kembali berpaling pada Raya yang tengah menguap. Gadis itu terlihat cantik dengan rambut berantakan dan wajahnya yang polos. Alunan suara kecapi mengalun lembut dan Genta menahan diri untuk tak melangkah ke peraduan dan menyentuh istrinya.
“Sudah malam, Raya. Sudah saatnya kamu tidur.”
“Aku belum mengantuk,” bantah Raya sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
Genta tertawa geli. Ia tahu Raya menahan dirinya untuk tak tidur karena merasa canggung berduaan saja dengan Genta di kamar ini. Tentulah Raya takut memikirkan kehadiran Genta di tempat tidur yang sama dengan dirinya malam ini.
“Tidurlah,” ujar Genta lembut, “Aku akan tidur di sofa.”
“Tapi...”
Genta bangkit dari sofa bale bambu itu dan melangkah mendekati sisi tempat tidur yang digunakan Raya, “Tidurlah sayang, akan kuselimuti kamu. Apa lampunya mau kumatikan?”
“Ya...”
Genta mengambil selimut dan melingkupi tubuh Raya hingga rapat lalu menunduk dan mencium lembut keningnya, “Selamat malam.”
Lalu lampu dimatikan dan terdengar langkah Genta menjauh. Ia melangkah ke sofa putih itu dan membaringkan tubuhnya. Genta tahu persis ia akan susah tidur malam ini. Bayangan akan rambut Raya yang tergerai di atas bantal dan wangi shampoo yang samar-samar tercium ketika ia tadi mencium kening Raya menimbulkan pikiran tak pantas di kepala Genta. Betapa inginnya ia menenggelamkan wajahnya di helaian rambut perempuan yang telah menjadi istrinya itu. Genta mencoba memikirkan hal lain ketika Raya bergumam.
“Genta...”
“Hmm...”
“Tidurlah di sini, kamu nggak nyaman berada di sana,” ujar Raya dalam kegelapan.
Genta mendesah keras, “Itu bukan keputusan bijak, Raya.”
“Aku percaya padamu.”
Genta termangu dalam kegelapan. Hatinya menghangat oleh rasa bahagia. Tak menunggu di panggil kembali Genta bangkit dan menuju sisi tempat tidur yang kosong. Ia menyibak selimut dan mernyusupkan tubuhnya. Dadanya berdebar keras tak tahu diri menyadari betapa dekat jarak antara ia dan Raya di tempat tidur ini.
“Besok mau jalan-jalan ke Pasar Mengambang?” tanya Genta.
“Mau,” ujar Raya lalu meraba-raba dalam kegelapan.
“Kamu mencari apa?” tanya Genta dengan heran.
“Tanganmu,” bisik Raya, “Aku butuh menggenggam tanganmu malam ini.”
Genta beringsut dan meraih tangan Raya, “Tidurlah.”
Genta memejamkan mata dan terus memikirkan Raya. Jelas Raya telah kehilangan kemampuan untuk memercayai lakin-laki. Ia  tak mengenal ayahnya dan dicampakkan oleh laki-laki yang dicintainya. Ia memang berjanji untuk memercayai Genta, akan tetapi takkan semudah itu untuk mendapatkan hati Raya utuh. Perempuan yang berbaring di sebelahnya ini tersakiti selama bertahun-tahun dan tidak ada penyembuh yang cepat. Butuh waktu dan kesabaran yang lama untuk dapat menyembuhkan luka itu.
Setelah setengah jam lamanya genggaman tangan Raya mengendur dan perempuan itu terlelap. Genta beringsut mendekat, bias cahaya bulan dari jendela memungkinkan Genta menatap wajah damai istrinya. Dengan perlahan Genta menarik Raya dalam pelukannya. Raya bergumam dan mencari ceruk di dada Genta.
“Mas Fatta...”
Genta menghela nafas dalam kegelapan. Semuanya akan baik-baik saja, Genta. Suatu hari nanti ia akan membisikkan namamu dalam tidurnya.

*****

Keesokan harinya sepasang pengantin baru itu terbangun dalam keadaan saling berpelukan. Raya merona dan menarik tubuhnya. Suara lembut ponselnya menyelamatkan dirinya dari suasana canggung di pagi hari.
“Mama… terimakasih untuk bulan madunya,” ujar Raya pada ibu mertuanya yang menelepon.
“Raya suka di sana?”
“Aku bisa betah di sini, Mama,” ujar Raya lembut sembari melirik Genta yang bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
“Apa Genta baik padamu?”
Raya tertawa, “Iya, tentu saja. Genta itu sebaik Mama. Ma... mau dibawain oleh-oleh apa?”
“Apa saja yang kamu pilih, Raya. Jangan pikirkan Mama, nikmati saja bulan madumu.”
“Ya, Mama.”
Dan tiba-tiba Raya merasa memiliki ibunya kembali. Sejak mereka memulai perjalanan bulan madunya dengan Genta, ia tidak pernah menghubungi siapa pun kecuali ibu mertuanya. Mereka bicara apa saja, tentang alam pedesaannya, udaranya, danaunya, bayinya dan tentu saja Genta. Dan Raya mendapati ia begitu menikmati setiap percakapan antara dirinya dan Bu Anindya. Tapi kenapa ia belum memiliki perasaan apa-apa pada laki-laki yang terus-terusan bersamanya, padahal ia begitu mudah mencintai ibu dari laki-laki itu?

TBC


A Homing BirdWhere stories live. Discover now