Prolog

192 19 54
                                    

“Kamu akan bertemu dengan seorang lelaki yang bisa menghilangkan mata batinmu.”

Konyol. Sumpah. Namun itulah kalimat terakhir yang ia dengar dari telinganya langsung, dari sang Oma sebelum neneknya meninggal sambil tersenyum memegang tangannya.

Tadinya, Serena pikir Oma akan memberi nasehat tetuah seperti biasanya. Seperti, jika ia harus hati-hati pergi ke sekolah saat naik kendaraan umum, jika ia harus hati-hati saat bertemu dengan orang asing yang mengajaknya bicara, dan ia juga harus hati-hati pada lelaki yang akan mencintainya nanti.

Namun yang ia dengar malah seutas kalimat itu. Jika ia akan bertemu dengan lelaki yang bisa menghilangkan mata batinnya?

Oh god. Oma kadangkala bisa menakutinya dengan semua kalimat yang bisa selalu benar dan tepat. Entahlah. Mungkin karena semua jenis keturunannya seperti itu? Seperti Papa yang bisa meramal 15 menit sebelum kejadian, seperti Mba Sissy yang bisa melihat aura seseorang, dan seperti dirinya yang bisa melihat hantu dan menghantui hari-harinya yang damai jelita menjadi mimpi buruk yang acapkali membuatnya hipertensi. Mereka begitu menganggu kau tahu!

Setan-setan tengil itu suka sekali menganggu dan mencoba mengajaknya bermain. Oh ... please. Ia sama sekali tidak tertarik bermain dengan makhluk astral sementara ia bisa memiliki teman manusia lainnya.

Oma memang tahu betul, kelebihanku ini seringkali membuatku tidak nyaman. Serena selalu bisa lihat sorot mata menyesal dalam matanya ketika mata batinnya terbuka lagi, padahal sudah berusaha ditutup dengan susah payah. Kau tahu, menutup mata batin harus datang ke orang pintar dan memberinya upah. Serena harus melakukan itu setiap 3 bulan sekali. Selama bertahun-tahun lamanya. Dia sudah mulai diantar ke orang yang bisa menutup batin, ketika suatu kejadian saat usianya yang masih 12 tahun, salah satu makhluk tak kasat mata itu membuat Serena menangis kalang kabut karena sebal. Serena mogok makan dan terus-terusan menangis. Semenjak kejadian itulah, Serena mulai rutin mendatangi orang pintar untuk menutup mata batinnya, yang selalu diantar oleh Oma dan ayahnya.

Namun setelah kematian sang nenek setahun belakangan. Serena tak pergi lagi ke orang pintar untuk menutup mata batin. Itu semua berkat kalimat ajaib nenek yang membuatnya jadi penuh harap. Bahwa ia akan bertemu lelaki yang bisa menghilangkan mata batinnya.

“Serena Chade.” Mendengar nada tegas dari sang ayah. Serena langsung menghentikan langkah dan berbalik nyengir menghadap ayahnya.

“Iya, papa Austin Chade?” pasang senyum manis-manja-anak-bungsu. Serena kadangkala bisa sekali membuat siapapun lumer kalau sudah sebar senyum seperti itu.

“Kamu Papa jemput pulang, ya, hari ini?”

Waduh, gawat. Serena meremas strap tas berisi gitar akustik kesayangannya dengan gelisah. Ia tahu betul apa maksud sang ayah ingin menjemputnya pulang dari sekolah. “Bukannya Papa sibuk, kan? Nana bisa pulang sendiri, kok, Pa.”

“Papa nggak mau kamu keluyuran kayak biasanya abis pulang sekolah ini. Hari ini kita bakal dinner di luar, kamu ingat?”

Oh iya, ultahnya Mama dan Oma. Pasti sore ini bakal ngunjungin makam oma dulu, sebelum kita berangkat dinner. “Ingat, Pa. Janji kok, Pa, Serena nggak keluyuran sampe kesorean. Telat 2 jam setelah pulang  sekolah nggak apa-apa, kan, Pa?”

“Nggak boleh, sayang.” Kini giliran sang ibu yang datang memberi perlawanan pada bocah dengan segala alasannya itu. “Kalo kamu bandel, gitar kamu, kami sita, mau?”

“Nggak mau! Enak aja!” Serena menggapai softcase gitar akustiknya dengan panik. Memeluknya begitu erat, takut-takut ibunda tercinta langsung mencomot dari hak kepemilikannya.

“Kalo begitu sudah jelas. Papa bakal jemput kamu habis pulang sekolah. Nggak ada acara keluyuran pulang sampai maghrib.” Nada tegas sang ibu membungkam perlawanan Serena yang kalut namun hanya bisa pasrah.

“Okay ... Ma.” Bibirnya maju seketika, beriringan dengan langkahnya maju untuk mencium tangan kedua orang tuanya.

“Jangan cemberut gitu. Nanti cantiknya hilang.” Sang ayah mengelus lembut puncak kepala Serena yang membuat Serena langsung nyengir kuda, senyum palsu.

“Ya udah, Nana berangkat dulu. Do’ain biar Nana nggak nyasar pulang dan malah pulang maghrib lagi.”

Kedua orang tua itu langsung melotot, hendak saja ingin beradu mulut ketika sang anak langsung berlari terbirit-birit, keluar rumah dengan teriakan lantang Assalamu’alaikum setelahnya.

“Seharusnya kita tadi sita saja gitar itu.” Sang ayah menggeleng dengan senyum simpul di wajah. Anak bungsunya itu begitu imut dan polos, namun kadangkala sikap Serena bisa membuat dirinya menghela napas. Pasalnya, Serena sangat mencintai gitar akustik miliknya melebihi santapan di meja makan.

“Mau dia mogok makan, lagi? Liat badannya yang kecil dan kurus itu. Mau dia beneran nggak tumbuh tinggi?”

“Dia masih bisa tumbuh?”

“Ya, ampun!” sang istri, entah kenapa jadi naik pitam dan reflek mencubit lengan suaminya. “Masa iya, Papa ngebully anak sendiri.”

“Nggak begitu, Ma—“

“Papa juga berasa ngebully Mama juga.”

“—karena Rena itu udah 17 tahun, kayaknya dia udah gak bisa tinggi lagi.”

“Papa nggak liat ada perempuan yang juga pendek di rumah ini?” sang istri menunjuk dirinya sendiri.

Sang suami langsung membekap mulut, menahan tawa. Yang justru membuat istrinya langsung melotot dan  menghujaminya dengan cubitan-cubitan kecil di punggung lengan.

Found and LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang