4. Kai jangan takut...

Start from the beginning
                                    

"Wah, Mbak datangnya pagi sekali." Seseorang tiba-tiba menyapa.

Kania tersentak, lalu menoleh dan mendapati seorang pria berpakaian OB sedang tersenyum menatapnya. Mata Kania langsung membesar.

"Mas Darwis! Ih, gue baru mau nyari lo, Mas!" serunya riang.

Pria itu tersenyum, menampilkan satu gigi yang tanggal di bagian depan. "Cie ... cie .... Neng Nia udah diterima, ya?" Darwis bertanya.

Kania mengangguk. "Iya, Mas. Nanti gue traktir, ya, Mas. Sebagai ucapan terima kasih," katanya penuh semangat.

Darwis terkekeh. "Enggak usah ditraktir, Ni. Mending lo comblangin gue sama Veby. Gue langsung anggap lo udah lunasin utang yang waktu itu, deh," sahutnya.

Kania ikut tertawa. "Elah, Mas! Si Veby udah ilfeel sama lo, kali. Makanya jadi laki jangan mata keranjang. Lihat paha mulus sedikit, langsung main sambar aja! Emang enak lo enggak dilirik lagi sama Veby?" ledeknya.

Darwis tertawa malu. "Yah, namanya juga laki, Nia. Mana bisa nolak kalau dikasih suguhan mantap begitu," kilahnya.

"Huuu!" Kania menyoraki Darwis. Berdua mereka tertawa hingga tidak menyadari kedatangan seseorang.

"Pagi."

Kania membeku. Dia mungkin baru bicara dua kali dengan pemilik suara ini, tapi siapa yang bisa melupakan sosok seindah itu?

Perlahan dia memutar kepalanya dan melihat pria yang sejak kemarin menyita habis ruang di otak dan hatinya. Pria itu sedang berdiri dengan pakaian bersepeda yang ketat dan mempertontonkan bentuk tubuh ideal dan kekar miliknya.

"Pagi, Pak." Dia membalas sapaan pria itu, lirih.

"Pagi, Pak Theo. Pagi sekali datangnya, Pak?" Darwis juga balas menyapa.

Pria yang dipanggil Pak Theo itu mengangguk. "Ya, saya berangkat lebih cepat," jawabnya. "Bisa tolong buatkan jus mangga tanpa gula? Kemarin sudah dibeli, kan, mangganya?"

Darwis mengangguk cepat. "Sudah, Pak. Saya buatkan sekarang, ya, Pak?"

Theo mengangguk. "Mbaknya mau juga?" tanyanya, sambil menatap ke arah Kania, tapi tidak tepat ke matanya.

Kania meneguk ludah. "Uhm ..., tidak, terima kasih, Pak," jawabnya cepat.

Darwis tersenyum melihat Kania salah tingkah. Saat itu Theo mengangguk-angguk, lalu kembali bicara kepada Darwis, "Saya mandi dulu. Tolong jusnya nanti ditaruh di atas meja, ya, Mas." Kemudian dia menghampiri Kania, dan menyentuh pundaknya sedikit.

"Selamat bergabung di kantor kami," ucapnya lirih, lalu melangkah ke sebuah lorong.

Kania tertegun dan memandangi kepergiannya. Sedikit geli, Darwis tertawa kecil.

"Si Bos memang begitu. Enggak melihat ke arah kita, tapi sebetulnya ramah dan sopan. Katanya, sih, bawaan lahir, enggak bisa lihat mata orang. Tapi karena ibunya orang yang baik banget, dan mendidik semua anaknya dengan keras tapi penuh kasih sayang, makanya anaknya baik semua. Almarhum Bapak juga baik banget, tapi pendiam kayak Pak Theo," katanya memberi tahu.

Bibir Kania membulat.

Sambil menepuk pundak ringkih Kania, Darwis pun beranjak. "Gue bikin jus buat Pak Theo dulu, ya, Ni," ujarnya.

Kania tergesa-gesa menjawab. "Ya, Mas."

***

"Nih, tolong kamu minta tanda tangan Pak Theo, terus langsung kasih Bu Merry buat otorisasi, ya, Kai." Ndari, atasan Kania, menyerahkan satu tumpuk berkas pembayaran.

Kania mengangguk sambil menerima tumpukan berkas itu. "Aku langsung kasih gitu aja, Mbak?" tanyanya.

Ndari mengangguk. "Tanya aja sama Sheina, sekretarisnya Pak Theo, dia ada atau enggak. Nanti Sheina yang kasih tahu prosedurnya," jawabnya.

Kania manggut-manggut. "Oke. Aku ke sana, ya, Mbak."

"Jangan lupa, tadi apa aja yang harus kamu sampaikan. Pak Theo orangnya detail, jangan sampai dia anggap kamu enggak bisa."

"Iya, Mbak. Aku jalan, ya."

Ndari tertawa. "Jiah, kayak mau ke mana aja kamu, Kai."

Kania menyengir, lalu beranjak menuju ke kantor Direktur. Di depan pintu ruangan yang dituju, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian seksi, yang mengingatkannya pada mereka di masa lalu, sedang memoles wajahnya dengan bedak, padahal tebal riasannya masih sempurna.

"Permisi, Mbak Sheina."

Wanita menor itu mengangkat sebelah alisnya. "Ya. Kenapa?" Dia bertanya sambil memandangi Kania penuh selidik.

Kania menunjukkan tumpukan dokumen di tangannya. "Mau minta approval untuk otorisasi, Mbak. Kata Mbak Ndari saya disuruh tanya Mbak Sheina," jawabnya.

Sheina melihat ke tumpukan itu, lalu mengangkat bahu.

"Langsung aja, tapi kamu ketok pintu dulu, ya."

Kania mengerjap. "Boleh langsung, Mbak? Saya enggak dimarahin sama Pak Theo, kan, nanti?" tanyanya cemas.

Sheina tertawa meremehkan. "Enggak. Paling kalau marah, ya cuma sedikit. Enggak bakalan dipecat juga," jawabnya.

Kania meneguk ludah. "Uhm ..., ya sudah. Permisi, ya, Mbak."

Sheina mengangguk, lalu kembali pada kegiatannya memperbaiki riasan.

Pelan Kania mengetuk pintu, lalu menunggu.

"Masuk!" Terdengar perintah dari dalam.

Kania menghela napas dalam, lalu membuka pintu.

"Permisi, Pak. Saya boleh minta approval?" tanyanya hati-hati.

Makhluk paling indah di mata Kania itu mengangkat wajah dan menoleh meski tatapannya tetap terarah ke bawah. "Boleh. Bawa kemari dokumennya," jawabnya.

Kania melangkah maju, lalu menyodorkan dokumen di tangannya. "Ini, Pak."

Theo termangu, wajahnya tampak sedikit bingung. "Sudah diajarkan Mbak Ndari?" tanyanya, membiarkan tangan Kania menggantung di udara. Dia tidak langsung menyambut dokumen itu.

Kania mengerjap cepat, lalu tersadar pada kesalahannya. "Oh, sudah, Pak. Maaf, saya tunjukkan yang harus ditandatangani, ya. Izin berdiri lebih dekat, ya, Pak," pintanya cepat. Khawatir kalau Theo marah. Jantungnya sudah berdetak tak menentu, membayangkan dia harus dipecat karena kekeliruan sepele ini.

Theo mengangguk. Wajahnya terlihat datar, tapi Kania bisa melihat kalau napas pria itu sedikit tercekat. Ya ampun, apakah pria itu marah dan menganggapnya bodoh?

Dengan takut-takut Kania mendekat, lalu berdiri di sebelah pria itu dengan sedikit memberi jarak. Dia meletakkan bawaannya ke depan Theo, lalu membuka dokumen pertama.

"Ini untuk pembayaran biaya kendaraan operasional bulan Januari, ini jumlah total, dan rinciannya ...," Kania membuka lembaran kedua, "... di sini. Ada pembulatan dua angka di belakang koma sini, ya, Pak. Dari 7.978.273 rupiah, jadi 7.978.275, karena di angka ini ...," Kania menunjuk, "... supir membayar tunai, bukan transfer."

Theo mengikuti gerakan jari Kania. "Nama kamu siapa?" tanyanya tiba-tiba.

Kania tertegun. "Uhm ...."

Theo mengangkat kepalanya, masih tidak menatap Kania, dan malah melihat ke arah kalender. "Namanya siapa?" Dia mengulang pertanyaannya.

Kania tersentak dari keterpanaan. "Oh, nama saya Kania, Pak. Biasa dipanggil Kai atau Nia," jawabnya cepat.

Theo mengangguk-angguk. Sebuah senyum tipis terulas di bibir merahnya, membuatnya terlihat bagai malaikat polos tak berdosa, tapi menimbulkan dosa bagi yang melihat.

"Kai, jangan takut," katanya lembut, membuat Kania terpaku di tempatnya.

Bolehkah dia terbang sekarang? Karena saat mata teduh Theo kemudian berserobok dengan matanya, Kania merasa terlempar ke surga.

His Darkest SideWhere stories live. Discover now