3. Yang Tak Terjelaskan

Start from the beginning
                                    

Sepeda lipat yang dia bawa disimpan ke dalam lemari khusus di ruangannya, lalu dia melangkah menuju kamar mandi. Bersiap untuk membersihkan diri. Sebentar lagi sekretarisnya akan datang. Theo paling tidak suka dengan cara wanita genit itu melihatnya saat sedang dalam pakaian bersepeda.

Theo memang selalu bersepeda menuju kantor karena alasan kesehatan, juga karena dia menyukai kegiatan itu. Bersepeda adalah satu-satunya hal yang paling membuatnya merasa dekat dengan sang ayah, yang kini sudah tenang di alam sana. Dengan kegiatan ini, dia bisa sedikit mengurangi perasaan rindu kepada beliau, dan setidaknya, ada satu kebiasaan baik sang ayah yang dia pelihara. Itu semua membuatnya merasa kalau ayahnya masih ada.

Air dingin dari pancuran terasa begitu segar, membuatnya siap untuk menghadapi apa pun. Lima belas menit kemudian, Theo sudah rapi mengenakan kemeja kerja bermodel konservatif. Warna biru muda menegaskan warna kulitnya yang putih kemerahan karena terbakar matahari, serta celana dan dasi senada berwarna hitam kehijauan yang disempurnakan oleh sepatu pantofel mahal hitam berkilat. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul 8.50 pagi. Theo pun bersiap untuk menerima para penghadapnya.

Tepat pukul 9.00 WIB, pintu diketuk.

"Masuk!" perintahnya.

Pintu terbuka dan wajah cantik sang sekretaris, Sheina, menyembul dari baliknya.

"Pagi, Pak Theo. Sudah boleh laporan?" tanyanya penuh semangat.

Theo mengangguk tanpa menjawab. Penuh percaya diri, Sheina memasuki ruangan. Penampilannya hari ini terlihat begitu menawan. Blus tosca cantik dari kain sutra yang menerawang memperlihatkan lingerie seksi di baliknya. Rok sepan di atas lutut serta stileto dua belas senti yang sama-sama berwarna abu-abu pasir menonjolkan pinggulnya yang montok. Rambutnya yang berwarna burgundi, tampak tergerai indah di punggungnya.

Theo menghela napas. Oke, siksaan harus menghadapi tatapan lapar dari perempuan genit ini pun dimulai.

****

Dia beruntung! Setelah menyisihkan banyak pelamar lain, akhirnya Kania mendapatkan posisi sebagai asisten admin di kantor perusahaan IT itu. Oh, dia harus merayakannya bersama Veby dan Darwis, OB yang sudah memberinya informasi soal lowongan ini!

Riang, Kania melangkah menuju lift. Namun, saat dia hampir tiba, sepasang matanya menangkap satu gerakan di selasar. Spontan dia menoleh dan matanya melebar. Seorang pria sangat tampan dengan pakaian kerja yang konservatif, tapi tidak membuatnya terlihat kuno, berjalan sambil bicara di ponsel. Matanya yang tajam tak sengaja bertemu dengan Kania yang masih terpana. Ya ampun, itu laki-laki yang tadi bawa sepeda, bukan? Tampan sekali dia dalam pakaian kerja!

Pria itu tiba-tiba melemparkan pandangan ke arah lain, membuat Kania merasakan panas di wajahnya karena malu. Misuh-misuh sendiri, dia kembali memusatkan perhatiannya pada tombol lift.

Sial! Pria itu pasti mengira Kania terpesona kepadanya. Karena dirinya cuma perempuan dengan tampang lusuh yang tak menarik, pria itu pasti menyesal bertemu pandang dengannya! Mana mau sosok sempurna itu melihat dua kali pada perempuan seperti Kania.

Sedikit gemetar karena kekecewaan yang janggal, Kania menekan tombol. Apa karena ini pertama kalinya dia melihat laki-laki berpenampilan sempurna seperti itu, makanya dia jadi salah tingkah dan berpikiran negatif? Namun, bukan cuma laki-laki itu yang terlihat wah di gedung ini, kan? Banyak pria keren berseliweran sejak tadi, lalu kenapa efek yang ditimbulkan olehnya bisa berbeda begini? Padahal pria itu bahkan tidak mau melihat ke arahnya.

"Sudah selesai? Sudah mau pergi?" Suara bariton itu terdengar lagi.

Kania tertegun dan menoleh, mendapati seraut wajah datar dengan mata yang tidak terarah kepadanya. Namun, tidak ada orang lain di situ dan ponsel pria itu juga sudah ada di sakunya, berarti memang Kania yang sedang diajaknya bicara. Sopan, Kania mengangguk untuk menjawabnya.

"Iya, Pak."

Pria itu mengangguk-angguk. "Ada perlu apa di Alexander?" tanyanya dengan nada acuh tak acuh. Tatapannya lurus terarah ke dinding.

Kania mengedip beberapa kali. "Melamar kerja," jawabnya. Dalam hati dia sedikit heran. Kalau pria ini tidak ingin melihatnya, kenapa dia harus repot-repot bicara dengannya?

Ada kesiap terkejut dari pria itu. "Melamar kerja? Posisi apa? Diterima?"

Kania makin heran. Kenapa dia ingin tahu? Saat itu pintu lift terbuka, dia pun mengangguk pada pria itu.

"Asisten finance, admin. Syukurlah diterima. Uhm, mari, Pak. Saya duluan," jawabnya sembari pamit. Sedikit merunduk dia berjalan memasuki lift. Jantungnya berdebar keras saat akhirnya pria itu menatapnya. Tuhan, luar biasa indah makhluk ini! Meski sepertinya dia sedikit sombong ... atau aneh?

"Hati-hati di jalan, sampai ketemu lagi." Pria itu berkata sebelum pintu lift tertutup.

Saat pintu lift benar-benar tertutup di depannya, Kania masih membeku. Kenapa pria itu mengatakan hal yang sangat manis dan sopan seperti itu? Bergegas dia memegang dadanya di mana jantungnya berdetak begitu keras. Ah, kalau pria itu sombong, dia pasti tidak akan mengucapkan hal sesopan itu kepadanya. Mungkin pria itu memang tidak pernah menatap lawan bicaranya. Bisa saja, kan? Tanpa sadar, sebuah senyum terbit di bibirnya yang dia gigit. Hmm, sepertinya hari-harinya di kantor ini akan menjadi indah.

***

Theo masih berdiri di depan lift sambil tercenung. Bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia begitu ingin bicara pada wanita tadi? Apa yang istimewa darinya?

Dia betul-betul mirip Kucing Kecil! teriak batinnya, membuat Theo menghela napas. Tapi ..., dia bukan Kucing Kecil.

Besok dia akan bertemu lagi. Kali ini Theo bertekad akan bicara lebih banyak meski bicara bukanlah keahliannya. Dia tidak pernah mampu menatap mata orang lain, selain keluarganya. Saat bicara seharusnya orang saling menatap, bukan?

"Kucing Kecil, jangan takut," desisnya lirih, sebelum memutar langkah dan kembali masuk ke kantornya. "Hus, dia bukan Kucing Kecil, Theo!" sambungnya lagi, menghardik diri sendiri.

His Darkest SideWhere stories live. Discover now