"Kalau penting, bagaimana, Bi? Kebiasaan, deh." Maira berdecak dan hendak mengangkat panggilan itu, sebelum tangan Ali merebut ponselnya.

"Jangan diangkat, Um. Aku cemburu melihat Ummi berbicara dengan lelaki lain." Ali melirik sekilas gawainya dan mematikan panggilan dengan menggeser ikon gagang telepon ke ikon berwarna merah. Maira menyunggingkan senyuman aneh dan kesal. "Aku nggak suka waktuku dengan istri tembamku ini diganggu. Apalagi urusan pekerjaan."

Maira mengembuskan napasnya dan berdiri menjauhi suaminya. Ali mengernyit tak suka. Lalu perempuan bergamis ungu tua itu menjinjing tas hitam yang berisi dokumen pekerjaan Ali. "Kalau begitu segera berangkat ke kantor. Jangan malas, aku nggak suka dengan suami yang tidak tepat waktu. Apalagi urusan menafkahi keluarga."

Ali terkekeh lalu mengambil alih tas hitamnya dari tangan Maira. Tangan kanannya terulur untuk merengkuh bahu mungil istrinya. Ia selalu terkagum menatap Maira, tubuhnya yang kecil begitu terlihat rapuh dan untuk itu ia selalu ingin melindunginya. Namun, di balik tubuh itu tersimpan begitu banyak kekuatan, kebijakan, kelembutan, dan untuk hal itu ia selalu merasa dilindungi. Ia mengecup pelipis Maira dan melangkahkan kaki bersama keluar kamar.

"Abi berangkat kerja dulu. Jangan capek-capek di rumah, banyak istirahat, selalu bawa ponsel kemana pun, ah! Jangan banyak berjalan, makan yang banyak, telepon kalau membutuhkan sesuatu atau rindu, kabari tiap lima belas menit, ah! Lima menit sekali. Dan jangan la—"

"Maaf, Abi. Tapi, aku sudah menghafal dialog Abi tiap pagi itu." Maira mengusap lengan atas Ali yang membuat bahu pria itu sedikit merosot ke bawah, karena ketegangannya berkurang. "Tenanglah," lanjut Maira dengan nada lembutnya.

Mereka masih berdiri di ujung tangga, tanpa berniat untuk beranjak segera ke ruang tamu. Sebenarnya hanya Ali yang tak tergesa pergi. Namun, sebagai istri, Maira khawatir jika suaminya terlambat untuk berangkat dan akan tergesa di jalan. Ia tak suka suaminya mengemudi dengan tidak berhati-hati.

"Kamu ikut aku saja ke kantor. Ya? Aku nggak tega biarkan kamu di sini sendirian." Wajah Ali terlihat sedikit semringah karena idenya sendiri, tapi Maira menggelengkan kepala dan tersenyum lebih lebar.

"Abi, sejujurnya akan sangat membosankan kalau aku harus melihat kertas-kertas di kantor Abi."

"Kalau gitu, lihat aku saja."

Maira mencembikkan bibir dan mencubit pinggang Ali yang kini terkekeh gemas. Tanpa bisa ditahan lagi, tangan Ali terulur untuk mencubit pipi tembam Maira yang sejak tadi membuatnya harus menahan diri. "Sudah, Abi berangkat sana."

"Ah, kalau kamu nggak mau ikut ke kantor. Berarti aku yang di rumah, saja. Deal? Deal." Ali secepat kilat menjauhkan tubuhnya dari Maira dan berlari menaiki tangga. Perempuan itu melongo dan mengikuti arah suaminya berlari. Kemudian mengembuskan napas dengan senyum masam yang nangkring di wajah ayunya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk ke dapur dan mengambil air minum.

Ting!

Suara ponsel Ali yang sejak beberapa saat lalu masih dibawanya itu berbunyi. Maira memeriksa dan mendapati nomor tak dikenal mengirimi sebuah pesan berisi pranala. Hanya itu. Maira mengendikkan bahunya dan hendak berjalan menaiki tangga.

Namun, ia urungkan ketika mendapati Ali yang sudah berdiri di depannya dan berbatasan dengan bar dapur. Pria berwajah Arab itu telah berganti dengan pakaian kasual, tidak ada jas kaku dan kemeja licin serta celana formal lalu dasi lurus, ditambah sepatu hitam mengilat. Hanya kaus berwarna abu-abu dan celana katun cingkrang berwarna krem dengan dua garis hitam di sekitaran betis.

"Abi ganti baju sudah mirip power rangers, saja."

Ali meringis dan berjalan mendekat. "Abi buatkan susu, ya? Ummi duduk manis dulu di sini."

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Where stories live. Discover now