04 - Papa

12.4K 787 24
                                    

Aelsya menghela napas panjang. Lega. Setelah mendengar bel yang dibunyikan cukup panjang, mengakhiri sudah semua penyiksaan yang ia derita. Berjam-jam berdiri di lapangan membuat kaki terasa benar-benar pegal. Apalagi air mineral yang harusnya dia dapatkan dua kali, kini harus terbuang di sampah karena perintah sang ketua osis. Alhasil, Aelsya hanya bisa menelan ludah selama dia berdiri di lapangan.

Rasanya Aelsya tak mempunyai tenaga untuk saat ini. Berdiripun rasanya tak bisa. Tapi gadis itu berusaha menguatkan dirinya. Meskipun kadang ia harus menepi sebentar untuk berteduh atau mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

Aelsya menghela napas panjang. Lega. Setelah mendengar bel yang dibunyikan cukup panjang, mengakhiri sudah semua penyiksaan yang ia derita. Berjam-jam berdiri di lapangan membuat kaki terasa benar-benar pegal. Apalagi air mineral yang harusnya dia dapatkan dua kali, kini harus terbuang di sampah karena perintah sang ketua osis. Alhasil, Aelsya hanya bisa menelan ludah selama dia berdiri di lapangan.

Rasanya Aelsya tak mempunyai tenaga untuk saat ini. Berdiripun rasanya tak bisa. Tapi gadis itu berusaha menguatkan dirinya. Meskipun kadang ia harus menepi sebentar untuk berteduh atau mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

Saat berada di gang tak jauh dari sekolah, gadis itu mendapati sebuah angkutan umum yang berhenti di pinggir jalan. Angkutan umum itu tak terlalu penuh. Dan itu membuat Aelsya merasa lega karena ia tak harus jalan kaki untuk pulang. Biasanya jam segini memang sulit menemukan angkutan umum yang sedang berada di jalan.

Gadis itu menghela napas sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam angkutan umum. Seorang wanita dengan kerudung panjang yang menutupi wajahnya terlihat menyingkir dan memberi ruang saat Aelsya masuk. Dari seragamnya, Aelsya bisa menebak kalau wanita itu adalah seorang guru sekolah dasar. Di sudut lain angkutan umum itu juga terlihat seorang wanita tua dengan anting yang berisi ayam. Wanita itu menatap ke luar jendela angkut. Matanya terlihat sayu. Jelas sekali jika dia tengah merasa kelelahan.

Memang di jam seperti ini, jadwal para pekerja untuk pulang. Tak mengherankan jika Aelsya menemukan beberapa orang pria yang sedang menunggu bus di halte. Tangan mereka merangkul erat tas ransel yang mereka taruh di depan. Beberapa pedagang kaki lima pun juga mulai membereskan dagangannya dan beranjak pulang. Terbenamnya matahari memang selalu menjadi tanda berakhirnya semua kegiatan yang ada di luar rumah. Mereka akan pulang untuk mengistirahatkan otot, pikiran, dan tenaga agar kembali merajut asa di hari esok.

Saat menaiki angkot seperti ini, Aelsya memang lebih suka menatap ke luar. Baginya melihat kesibukan orang-orang yang ada di luar sana dan ia tatap lewat kaca angkutan umum membuatnya bahagia. Apalagi jika semilir angin sore menerpa wajahnya. Membuat mata Aelsya semakin ingin terpejam.

Dengan tangan yang masih merangkul tas ransel miliknya, gadis itu tertidur dengan wajah menunduk. Kelelahan adalah faktor utamanya terlelap seperti itu.

***

"Neng, punten neng, ini sudah sampai." Aelsya mengerjapkan matanya pelan. Gadis itu mengucek matanya dan mendapati seorang bapak-bapak yang tengah duduk dengan wajah bingungnya.

"Maaf neng, saya enggak tau tujuan neng mau kemana. Jadi saya turunin di perempatan jalan sini. Soalnya ini juga sudah petang neng, saya mau pulang." Aelsya menoleh ke luar kaca. Setelahnya gadis itu kembali menatap sang bapak supir angkot itu. Benar kata bapak itu, ini sudah gelap.

"Iya pak, gak apa-apa. Rumah saya deket kok dari sini." Aelsya merogoh sakunya lalu menyodorkan uang sepuluh ribuan.

"Ini pak uangnya, kembalinya bapak ambil aja." bapak tua itu menggeleng. "Enggak usah, neng. Enggak usah bayar. Saya malah minta maaf karena tidak mengantarkan neng sampai rumah."

Arlan  [Book 1 - Proses Revisi]Where stories live. Discover now