Gadis itu terkesiap kaget saat Var menyentak lengannya.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?" geram Var yang terlanjur kesal.

Silvana memberikan raut yang masam. Dia langsung melengos seakan tidak peduli dengan keberadaan Var, meski dia tahu laki-laki itu mencarinya ke mana-mana. Ah, dia sedang merajuk.

"Kau marah karena saat kau bangun aku tidak ada?" tebak Var yang tiba-tiba punya ilham mengusili Silvana.

Var berhasil, karena sekarang raut Silvana bertambah keruh. Alisnya beradu, pipinya agak menggembung, dan bibirnya mengerucut. Tidak mengacuhkan Var, dia pura-pura menyibukkan diri meneliti dua hiasan gantung untuk rambut; satu berwarna kuning, serta satu lagi berwarna merah.

"Pergi saja. Selesaikan urusanmu. Biarkan aku mengerut sampai tua di rumah," gerutu Silvana ketus.

"Urusanku sudah selesai." Var menyilangkan tangan. "Kau sendiri yang bilang selalu ingin menghabiskan waktu denganku. Itu sudah kadaluarsa sekarang?"

Silvana masih diam. Genggamannya pada pernak-pernik yang dia pegang sedikit mengerat. Tapi rupanya gengsi dan kekesalan gadis itu masih cukup besar.

"Jadi rupanya kau dan aku akan sama-sama kesepian selama batas waktu yang tidak ditentukan," ujar Var datar.

Silvana mulai goyah. Saat tadi Var menyentak lengannya, sebenarnya dia ingin langsung melompat ke pelukan laki-laki itu. Var benar. Silvana marah dan kesal karena saat dia terbangun, laki-laki itu tidak ada di sebelahnya. Setelah membuat Silvana cemas setengah mati, bisa-bisanya dia menghilang begitu. Jelas bukan hal yang lucu. Sebagian hatinya telah luluh, tapi di sisi lain ragu bagaimana harus membalas Var tanpa merendah diri.

Tiba-tiba Var menyambar dua pernak-pernik yang dibawa Silvana. Salah satunya ditaruh lagi ke meja pajangan, sementara yang lain—yang berwarna kuning—dia sodorkan di depan muka gadis itu.

"Bagaimana kalau aku membelikanmu ini, lalu kita pulang?" bujuk Var. Laki-laki itu melakukan jurus mautnya—tersenyum manis—sampai-sampai Silvana terpana dan genderang perang dalam dadanya ditabuh gila-gilaan. Diam-diam Var tertawa dalam hati melihat gadis itu nyaris tidak berkedip.

Detik selanjutnya, Silvana berdehem. Wajahnya merona.

"Aku mau yang itu," katanya seraya menunjuk hiasan merah yang diletakkan Var.

Sialan. Gadis itu rupanya juga pintar membuat Var mati gaya.

"Kita ambil dua-duanya," tandas Var kemudian membayar pada si Penjual.

"Boleh aku makan roti kukus juga? Aku lapar dan tidak bawa uang."

Untuk yang kesekian kalinya Var menyimpulkan: Silvana memang sengaja. Mumpung Var ada di sana dan dia tahu laki-laki itu takkan menolaknya.

"Di mana?" Pertanyaan Var merupakan tombol pemicu bagi gadis itu yang langsung berlari-lari kecil girang ke kios roti kukus kesukaannya.

***

"Kau sangat suka warna merah," ujar Var yang mengamati Silvana memakan roti kukusnya. Saat bibir gadis itu belepotan, Var akan membersihkannya dengan mengusapkan ibu jari.

"Mm." Silvana mengangguk membenarkan.

"Juga roti kukus sialan itu."

"Mm." Lagi-lagi Silvana merespon seadanya.

"Jadi sebesar apa kau menyukaiku?"

Mendadak gadis itu tersedak. Tubuhnya berguncang hebat gara-gara terbatuk. Var mengambil wadah minumnya di kantung pelana Nii pada Silvana. Selesai menandaskan semua isinya, barulah gadis itu menatap Var lekat.

"Sangat besar," ucapnya malu-malu.

"Sebesar apa?"

"Sebesaaar ini." Silvana memutar kedua tangannya berlawanan arah hingga membentuk lingkaran.

Var tersenyum. "Lakukan lagi."

Wajah Silvana memanas. Dia cukup kikuk mengulang perbuatannya barusan. Kedua tangannya baru membentuk setengah lingkaran saat Var tiba-tiba menghantam bibir gadis itu dengan bibirnya. Tidak hanya memberikan pagutan yang dalam, Var juga mendorong paksa Silvana ke sela bangunan yang gelap hingga tidak ada yang melihat.

Bunyi kecupan yang tidak berhenti dan merambah ke tiap titik wajahnya membuat Silvana tertawa karena geli. Gadis itu pun tidak mau kalah dengan membalas melakukan hal yang sama persis.

Masing-masing mereka diselimuti hening yang menenangkan saat sentuhan-sentuhan menggelitik yang gencar telah reda. Var hanya memeluknya lembut supaya angin dingin tidak menjamah gadis itu. Dekapan yang begitu erat hingga Silvana hanya butuh memejamkan mata demi mendengar detak halus dari jantung Var ...

.. belahan jiwanya.

.

.

.

"We don't know tomorrow,

Let's live for today

Don't care how far,

Let's go now while we're brave

Climb every mountain

And live for the chase

Then shine bright,

Sparkle the night

With all that I find with you."





Tamat

Kali ini bukan bohongan kok 😁Beneran tamat (akhirnya).

Terimakasih buat para pembaca yang mau repot-repot meluangkan waktu membaca Silver Maiden yang jumlah babnya bikin nyesek ini. You are really my moodbooster. Berkat kalian juga saya nggak bosan buat meningkatkan tulisan supaya lebih baik nantinya.

Sewaktu dapat kabar kalau Silver Maiden masuk ke dalam daftar Cerita Istimewa pilihan wattpad sempet nggak ngeh dan nggak tahu mau diapain. But now I know and so happy, karena makin banyak yang membaca. Para reader kece pokoknya.

Extended chapter sudah dihapus, jadi tunggu versi book-nya ya 😁

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now