17. Charge

11.1K 1K 25
                                    

Var tidak memperkirakan jika menunggu sore hari datang akan begitu lama. Dari tadi saja dia berjalan tanpa arah yang jelas. Salju memang masih turun, namun hawa yang tercipta tidak sedingin semalam atau pagi tadi. Salju yang menumpuk di beberapa sudut tidak sampai menyentuh tumit. Apakah salju hanya akan turun hari ini saja atau...

Tiba-tiba Var mendengar Quon berseru tidak jauh darinya. Sepanjang mereka menyusuri jalan, gadis itu terus-terusan berlari kecil. Tubuh mungilnya berputar-putar gembira saat bermain salju. Sedikit pun dia tidak memedulikan ekspresi Var yang agak keruh akibat bosan. Dia bersikap seolah-olah bertahun-tahun terkurung dalam sangkar dan sekarang sedang menikmati kebebasan. Semua hal yang tertangkap matanya selalu membuat gadis itu senang. Dan kali ini Quon tambah bersemangat saat melihat rumah kecil yang menjual roti kukus.

"Kenapa kita tidur saling berpelukan tanpa memakai baju?"

Quon pasti menyadari benar jika Var mematung beberapa detik saat pertanyaan itu terlontar. Gadis itu berhak tahu. Hanya saja Var sadar kalau ada kemungkinan Quon akan marah. Tanpa menambahkan embel-embel pembelaan apa pun, Var pun menjawab yang sejujurnya. Var pun siap menerima interogasi macam-macam dari Quon. Akan tetapi di luar dugaan, gadis itu tidak memunculkan reaksi dramatis. Dia justru memakluminya dengan mudah—tentunya dengan wajah yang lebih merona.

Apa dia memang tipe orang yang selalu menggampangkan segala sesuatu?

Var bahkan tidak sadar kalau dia telah melupakan pertanyaan sebelum itu. Dan Quon secara spektakuler berhasil membuat perhatiannya teralihkan.

Var sedikit mengangkat wajah melihat Quon kembali menghampirinya. Kedua tangan gadis itu memegang roti kukus yang dibungkus kertas. Dua-duanya masih mengepul.

"Makanlah," kata Quon sambil menyodorkan salah satunya pada Var. "Sarapan merangkap makan siang. Aku hanya membawa sedikit uang, jadi hanya ini yang bisa kubeli."

Var menerimanya tanpa mengucapkan apa pun. Ada gubuk yang bentuknya menyerupai gazebo tidak jauh dari mereka. Var pun duduk di sana lantas Quon mengikuti. Laki-laki itu tidak langsung makan, melainkan melirik sekilas pada Quon.

Gadis di sebelahnya itu jelas bukan bangsawan. Jari-jari tangannya agak kasar, seperti orang yang melakukan pekerjaan berat. Quon pun tidak perlu tahu jika saat mendekap tubuh telanjangnya semalam, Var menemukan beberapa cekungan di kulitnya. Sepertinya bukan luka akibat dianiaya. Lebih seperti rutinitas yang gadis itu lakukan—entah apa. Di luar itu, Var harus akui Quon terkesan tidak sedang menyembunyikan beban apa pun. Dia selalu tampak begitu "hidup".

"Itu akan cepat dingin kalau kau tidak buru-buru memakannya." Quon mengingatkan Var saat gadis itu baru saja menghabiskan bagiannya. Dia pun tersenyum saat Var mengunyah satu gigitan. "Hei."

Var menoleh.

"Seperti apa Kith?" Mata jernih Quon berkedip penuh arti pada laki-laki itu. "Aku ingin tahu tempat seperti apa kau berasal."

Quon memiringkan kepalanya melihat Var justru menyeringai hambar. "Kenapa orang Vighę mau repot-repot bertanya soal Kith? Kaummu membenci kami."

"Aku tidak membencimu," balas gadis itu yang entah kenapa membuat Var terdiam. Saat mereka saling bersitatap lagi, Var menemukan ketulusan pada binar matanya. Terutama saat dia berkata dalam nada halus yang amat ringan. "Aku menyukaimu. Sangat."

***

Petang menjelang. Para siswa Emerald berhamburan keluar saat pengajaran usai. Salah satu lorongnya ramai dengan anak-anak yang bersliweran. Sampai ketika lorong itu benar-benar sepi, barulah seseorang keluar dari ruangan. Laki-laki itu punya postur yang tinggi dan tegap dengan mengenakan cape hijau lengkap dengan bros kristal emerald.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now