33. Bloom

6.2K 808 39
                                    

Pelayan-pelayan kastil itu hampir seluruhnya wanita dengan umur rata-rata di atas empat puluh tahun. Dalam waktu singkat, Silvana menjadi pusat perhatian karena sedang tidak ada kegiatan penting di benteng. Gadis itu diarahkan duduk di salah satu anak tangga dekat bangsal lalu pelayan-pelayan tadi mengerubunginya. Kebanyakan duduk di belakang Silvana lalu saling membantu menata rambut legam gadis itu. Helaiannya dijalin, digulung, selanjutnya disematkan bunga-bunga kering. Sadar jika tengah dijadikan objek mainan, Silvana hanya diam.

Tidak jauh dari mereka, beberapa prajurit juga tengah berkumpul. Mereka menyalakan api unggun. Selain menghangatkan, apinya mereka gunakan untuk memanggang daging hewan yang baru siang tadi disembelih. Salah satu dari mereka mencomot iga lalu meniup-niupnya. Dan ketika akan memakannya, tatapannya dan Silvana tidak sengaja bertemu.

"Dia sedang melihat ke sini?" tanya prajurit tadi setelah menyikut sebelahnya.

Mereka sengaja menggoyang-goyangkan daging yang digantung di atas bara api dan menyadari satu hal. Pandangan gadis itu mengikuti geraknya. Mereka pun saling bersitatap.

"Sepertinya dia lapar?"

"Hei, berikan satu iganya! Biar kuberikan!"

"Kenapa harus kau? Aku saja!"

Beberapa saat mereka saling berebut menentukan siapa yang akan membagikan daging untuk gadis itu. Satu prajurit kemudian beranjak penuh kemenangan. Laki-laki itu pun mendekat pada Silvana lalu menyodorkannya potongan iga terbesar.

Mengerjap, Silvana meraihnya. Senyumnya mengembang hingga prajurit tadi kontan menekan dadanya sendiri. Ada sesuatu yang bergemuruh di dalamnya seperti genderang perang. Prajurit yang lain langsung menyorakinya. Para pelayan tertawa-tawa. Padahal sudah lama sekitaran benteng itu dilingkupi aura muram, tapi petang itu, semuanya terasa mencair. Silvana pun menggigiti daging pada tulang iga dengan lahap. Saat bibir dan tangannya belepotan, saat itulah para pelayan menyeka nodanya.

Perhatian mereka teralihkan ketika tiba-tiba saja pelayan yang baru keluar dari dapur kastil menjerit. Mulutnya menganga dengan jari telunjuk yang terangkat ke atas.

Mereka menoleh ke arah yang dia tunjuk dan sama-sama tercengang.

Di balik dinding pemisah antara bangsal dan arena berlatih prajurit terdapat pohon raksasa. Batangnya hampir seluruhnya mengelupas serta hitam bermandikan jelaga setelah tidak sengaja terbakar kira-kira setahun lalu. Pohon itu mati. Padahal mulanya setiap musim semi, bunga-bunga di dahannya bermekaran indah. Tapi sekarang, pohon itu menggeliat. Daun-daunnya bermunculan, juga disertai kuncup-kuncup bunga putih yang perlahan mekar.

Sekarang bahkan belum musim semi!

Silvana juga menoleh dengan mulutnya yang masih mengemut ujung iga. Setelah menelan daging dalam mulut, gadis itu tersenyum samar.

Mereka tidak menyadari saat gerbang depan dibuka. Masuk sebuah kereta kuda. Sang kusir lalu turun lalu memutar ke pintu. Seseorang menjulurkan tangan. Gaun mewahnya yang berwarna merah muda mengembang ketika keluar. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mendapati tempat itu masih menjijikkan seperti biasa. Kalau saja seorang Varoscar Buriand tidak ada di sana, dia tidak sudi menjejakkan kaki di tempat itu.

Salah seorang prajurit menghampirinya lalu menunduk sekilas.

"Apa Tuan Varoscar ada di dalam?" Saura Kaięl merupakan seorang putri bangsawan di Kith. Belakangan dia sering mengunjungi benteng pesisir karena tahu Var ada di sana. Mumpung Var libur sementara dari Gihon, Saura merasa harus bergerak cepat.

"Kami mendapat pesan kalau tuan akan kembali malam ini. Silakan nona menunggu di dalam."

Saura tersenyum sinis sambil mengipasi diri. Mengamati sekitar, pandangannya terhenti pada kerumunan pelayan dan prajurit yang sepertinya tengah bersenang-senang. Keningnya berkerut tidak suka. Dia lalu melangkah ke sana.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now