74. Lost

6.1K 704 82
                                    

Untuk memantau perang, Ghaloth memerintahkan supaya didirikan perkemahan. Tidak terlalu jauh dari titik pusat perang, tapi juga tidak terlalu dekat untuk meminimalisir resiko serangan yang tersasar. Tenda kemah yang dibangun tentu saja lebih besar dari tenda lain untuk para prajurit. Dengan kain putih kekuningan, hiasan bersulam naga, juga kulit beruang beserta kepalanya sebagai karpet, ruang di dalamnya tampak mewah—tidak tampak seperti sebuah tenda.

Di saat Ghaloth, Salazar beserta pentolan-pentolan prajuritnya tengah berdiskusi, Quon seperti biasa duduk diam di salah satu sisi. Pandangannya kosong seperti orang yang sedang melamun. Sorotnya begitu redup, serupa mayat. Kali ini tubuhnya berbalut gaun hitam, dengan dilapisi jubah bulu rubah. Satu-satunya semburat merah yang tersisa, berasal dari bibir gadis itu.

Walaupun tampak seperti mengabaikan topik pembicaraan mereka, Quon sebenarnya terus mendengarkan dengan seksama. Kini salah satu komandan resimen membicarakan soal cambuk yang telah dilumuri racun. Ghaloth bertanya racun apa yang mereka pilih. Menanggapi rajanya, si Komandan kemudian mengeluarkan sebuah botol dari kantung jubahnya. Dan ketika tutup botol itu dibuka, baunya yang menyengat, menyebar ke seisi tenda.

Aroma yang kuat itu langsung membuat beberapa dari mereka meringis. Tapi tidak disangka-sangka, reaksi yang paling dramatis justru diperlihatkan oleh Quon. Gadis itu langsung beranjak dari kursinya, lalu keluar dari tenda dengan setengah berlari. Mereka hanya bisa melihat punggungnya, jadi tidak mengetahui jika dia tengah membekap mulut. Kejadian itu tentu saja menarik perhatian mereka semua karena sedari tadi Quon hanya diam.

Di antara semua orang di sana, Ghaloth tidak bergeming. Kepalanya tidak meneleng, tapi bola matanya bergerak mengiringi kepergian gadis itu.

Quon berlari, mencari tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan melihatnya. Dia memutar salah satu tenda dan kontan saja membungkuk. Tubuhnya berguncang tiap kali sesuatu dalam perutnya memaksa untuk dimuntahkan. Anehnya, hanya cairan bening yang keluar.

"Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Seorang dayang yang akhirnya berhasil menyusul, bertanya cemas. Dengan lembut dia mengurut tengkuk Quon. "Haruskah kita panggil tabib?"

"Tabib belum sampai di sini," tanggap Ghaloth yang entah sejak kapan melangkah mendekati mereka.

Quon menegakkan tubuh lalu berbalik setelah menyeka bibirnya. Dayang yang ada di belakang Quon segera menyingkir supaya tidak menghalangi keduanya yang saling berhadapan.

"Sepertinya memang ada yang salah dengan sarapan tadi. Aku juga merasakan ada yang tidak beres dengan perutku," kata pria itu, tidak lupa mengulaskan senyum samarnya. "Berikan dia pencahar dan beberapa stok penghilang rasa sakit. Kita sama-sama tidak menginginkan gangguan saat ini bukan?"

"Ya, Yang Mulia," tanggap si Dayang kemudian meninggalkan mereka berdua.

Ghaloth melihat gadis itu membisu, dan tidak bereaksi pada kata-katanya. Begitu lebih baik. Quon hanya akan bergerak saat menerima perintah untuk menyerang.

Bunyi dentuman dari kejauhan menarik perhatian keduanya. Seruan dari ribuan prajurit yang berlari, menggema di udara. Dua lautan manusia yang berasal dari arah berlawanan akhirnya saling menabrakkan diri. Panah dilesatkan. Tombak dilontarkan. Kapak diayunkan. Situasi telah memanas.

***

Thadurin tidak menginstruksikan apa pun. Sang Raja Vighę hanya membiarkan ratusan pasukan yang dibawa Var dan Rife bergerak sesuka mereka—tentunya berjuang demi menentang Kith dan Hurdu. Rife benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan Thadurin. Dia secara tidak langsung telah mengizinkan mereka bergabung, tapi kenapa Rife tidak melihat Var di mana pun. Jangan-jangan laki-laki itu masih ditahan? Mungkin sebagai jaminan?

Silver Maiden [Terbit]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz