23. Farewell

11K 1K 54
                                    

Hari ini ruang arsip tampak begitu sibuk dengan siswa-siswa tingkat dua yang tengah menyusun daftar. Nama-nama siswa tingkat satu Emerald bercampur dalam tumpukan kertas berkas. Mereka mengacaknya, menggabungkannya dengan sekumpulan kelompok lain, juga menentukan tempat di mana anak-anak itu akan dikirim nantinya. Bukan hanya divisi Emerald, kelompok-kelompok yang terpilih juga akan bergabung dengan divisi lain di daerah yang sama.

Kesibukan yang sama juga terlihat di Zaffir, Cith dan Ruby. Setiap tahun Gihon rutin mengadakannya. Para siswa menunjukkan sejauh mana perkembangan mereka dengan menyalurkan bantuan ke tiap-tiap kerajaan Oltra. Acara ini juga dimaksudkan sebagai penyaring utama, di mana hanya setengah dari jumlah siswa yang bisa bertahan lalu naik ke tingkat dua.

Khusus untuk Emerald, seseorang yang memiliki otoritas penuh telah memanipulasi daftar tersebut.

Quon sedang duduk sendirian di dalam ruang pengajaran, meski aktivitas di sana telah usai satu jam yang lalu. Gadis itu melamun. Kedua tangannya saling menggenggam erat di atas meja. Berapa kali pun dia berusaha tenang, detak jantungnya selalu menggila. Napsu makannya berkurang, dan dia pun tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Bagaimana mungkin dia bisa tenang jika Ren diam-diam bergerak menciptakan palung untuknya? Pertanyaan Quon hanya: apakah laki-laki itu tahu jika Quon juga sedang memikirkan hal yang sama?

Mencengkeram kuat ujung lengan kursinya, mata gadis itu memejam.

"Kau telah mati, jadi seharusnya kau telah mengerti."

Saat berada di ballroom pesta beberapa waktu yang lalu, Quon tidak sengaja berpapasan dengan Fiona. Gadis yang punya kekuatan spiritual yang tinggi tersebut tetap pada pendiriannya dengan tidak membenarkan Quon tinggal lebih lama lagi. Dia boleh jadi menolong Quon saat Dalga hampir-hampir melenyapkannya, tapi Fiona menekankan kalau itu adalah kali pertama dan terakhir kalinya dia menyelamatkannya.

"Mortalitas," sebut Fiona di hadapan Quon. "Sudah takdirnya jika setiap manusia di dunia ini harus merasakan kematian. Untukmu, ini bahkan menjadi berkali-kali lipat menyakitkan. Bukan hanya sekali, kau juga akan merasakannya lagi—hanya untuk memenuhi keinginan terakhirmu yang belum sempat dikabulkan."

Saat itu Quon hanya bisa diam tanpa memiliki bantahan.

"Jantungmu mungkin masih berdetak.. tapi pelan-pelan tubuhmu rusak. Berada di divisi medis, membantumu memperlambat hancurnya tubuh itu. Aku tahu ramuan apa yang kau asup setiap hari. Staf medis tidak akan mengizinkan pemakaian zat terlarang itu, jadi kau pasti mencurinya. Belum lagi sudah berapa dosis penghilang rasa sakit yang kau telan." Fiona menatap Quon miris. "Lakukanlah hal yang menurutmu penting.. semakin cepat akan lebih baik. Jangan menantang kematian lebih dari ini.. atau jiwamu akan musnah sia-sia."

Setiap waktu Quon selalu ketakutan apabila mengingat kata-kata Fiona. Obat-obatan penghilang rasa sakit mulai tidak bisa lagi meringankan penderitaannya. Kalau pun ada, maka itu adalah berada dekat Var. Quon tidak peduli ketika laki-laki itu terang-terangan menunjukkan raut terganggu. Pada akhirnya dia pun senang karena Var mulai membiarkannya.

Sampai pada kejadian waktu itu...

Dia tahu. Quon berbisik dalam hati. Tersenyum masam, Quon pun merasa sangat bodoh karena tidak sanggup menyembunyikannya sebaik mungkin.

"Di sini kau rupanya!" Quon membuka mata saat mendengar Ana berseru. Gadis itu berlari kecil ke arahnya sambil membawa dua gulungan surat. "Aku tidak melihatmu di mana-mana, jadi kuputuskan untuk mengambil milikmu."

Satu gulungan Ana letakkan di atas meja di hadapan Quon.

"Di mana kau ditempatkan?" tanya Quon meski hanya basa-basi. Dia hanya menatap kosong pada surat miliknya, karena sudah bisa menduga ke mana dia akan dikirim nanti.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now