42 - Home

7.6K 707 38
                                    

He is good, so good..
He treats your little girl
like a real man should

* * *

Setelah Kak Haviz menghembuskan napas terakhirnya, pihak keluarga meminta agar Kak Haviz dimakamkan di Jakarta. Jadilah kini aku berada di Jakarta, menghadiri pemakaman Kak Haviz, mengantarkan Kak Haviz ke peristirahatan terakhirnya. Rasa sesak karena kepergian sosok Kakak terbaik bagiku masih sangat terasa.

Aku sadar, keputusanku pergi ke Jakarta pasti akan penuh resiko. Resiko bertemu kedua orang tuaku. Namun hal itu aku kesampingkan.

"Minum dulu, Nau." Acara pemakaman telah selesai dan kini aku berada di kafe milik Bintang. Kafe tempat pertama kali aku mengenal Bintang, tempat dengan sejuta kenangan perjalanan kami.

"Makasih, Bi," jawabku sambil tersenyum. Senyum yang terpaksa kuhadirkan karena kini hatiku masih merasakan kehilangan karena kepergian Kak Haviz.

"Maaf nggak bisa nemenin kamu di pemakaman tadi. Hari ini banyak pasien."

"Nggak apa, Bi. Kamu udah nemenin aku kemarin seharian." Aku menyesap latte buatan Bintang dan memejamkan mata sejenak menikmatinya. "Delicious, as always."

"Latte dengan rasa seperti ini cuma ada buat kamu, Nau," jawab Bintang sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuatku terpesona.

"Iiisssh gombal banget."

"Aku nggak pernah bikin latte dengan cara ini semenjak kamu bilang latte buatanku rasanya beda. Seolah kesakitan dan kesedihanku kuluapkan dalam latte ini. Dan seketika itu juga aku tau, kamu juga sedang merasakan hal yang hampir sama denganku. Dan ketika kita mulai dekat dan mencoba menjalin hubungan maka sejak saat itu, aku nggak lagi bikin latte dengan sepenuh hati kalau bukan latte itu untuk kamu," jelas Bintang yang membuat sudut hatiku menghangat, mengalir naik ke wajahku.

"Wow, i'm honoured."

"Sudah seharusnya. Saat ini, kamu lah wanita paling spesial dalam hidupku. Setelah Mama dan Dydy tentunya," ucap Bintang yang membuatku terkekeh. Jantungku kembali bertalu hanya karena kalimat-kalimatnya tadi, dan aku harus menyamarkannya, dengan kekehan tentunya.

"Kamu rencana di sini sampai kapan, Nau?" Aku mengendikkan bahu, tak tahu sampai kapan berada di sini. Baik Rava maupun Bang Arsa memberiku beberapa kelonggaran.

"Besok ikut aku ya?"

Aku mengernyit. "Kemana?"

"Bertemu Papa dan Mama kamu." Aku makin mengerutkan keningku.

"Ngapain?"

"Ngasih oleh-oleh? Silaturahmi? Minta doa restu? Banyak alasan buat kita menemui mereka," jawabnya santai sambil mengendikkan bahu. Membuatku berdecak sebal.

"Dan kembali harus menelan pil pahit dengan penolakan Papa? No way!"

"Kita bahkan belum mencoba, Nau. Apa salahnya dicoba? Seandainya pun ditolak atau diusir, yaudah kita pergi. Masih ada hari esok." Laki-laki ini, bisa-bisanya dia mengucapkan dengan sesantai itu.

"Kamu abis kejedot dimana, Bi? Ngomongnya dari tadi ngelantur."

"Aku serius, Nau. Sungguh kalau bisa, aku ingin menikahimu detik ini juga. Yang mana itu masih sangat sulit," ucap Bintang dengan nada memelas di akhir kalimatnya. Aku reflek memutar bola mata melihat ekspresi berlebihan Bintang tersebut. "Nggak ada salahnya mencoba. Dan aku bakal perjuangin kamu bagaimanapun caranya. Jadi aku cuma minta kamu pun mau memperjuangkan hubungan kita," lanjutnya kali ini dengan nada serius penuh wibawa. Dan nada bicara Bintang yang seperti inilah yang selalu mampu menghipnotisku.

Love You, Latte! (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang