Cerita cinta para sahabat

3.5K 662 75
                                    

Tuhan menciptakan sebuah penyesalan agar kita tidak seenaknya mengulang masa lalu. Karena itulah aku tidak akan membiarkan dirimu terlewat begitu saja dan menjadi masa lalu dalam kisah yang baru akan dimulai ini.

"AGAM BAIHAQI!!!!!!!" Teriak Barra di sepanjang lorong kampusnya. Beberapa mahasiswa yang dia tabrak nampak marah atas ulahnya.

Memang bukanlah hal aneh melihat Barra berlari-lari tergesa-gesa di lorong kampus seperti sekarang ini. Namun anehnya laki-laki itu tidaklah jera meski sudah berulang kali mendapatkan teguran oleh mahasiswa lain.

Barra selalu beralasan bila di Indonesia hal-hal seperti itu sudahlah menjadi hal biasa. Apalagi bagi beberapa suku yang tinggal di Indonesia, cara mereka berbicara antar sesama terlihat seperti berteriak-teriak. Namun semua itu sudah menjadi ciri khas mereka. Bukanlah dalam hidup untuk dapat dikenal oleh semua orang, dibutuhkan sebuah ciri khas agar orang lain dapat dengan mudah mengingatnya.

Mungkin karena itulah siapa di kampus ini yang tidak mengenal Barra. Mahasiswa semester 5 ini memang sudah begitu terkenal. Tidak hanya prestasi dibidang akademik saja yang begitu melekat pada laki-laki bernama lengkap Barra Athallah ini. Namun juga prestasi dalam hal kegaduhan dan sesuatu yang bernilai negatif juga tidak bisa jauh darinya.

Setelah kemarin ini beberapa orang langsung memukulinya serta Wahid di dalam kampus ini, kali ini hal apalagi yang dibuat Barra dalam memancing keributan.

"Ah..., Ah..., " desahnya kelelahan.

Agam memperhatikannya sambil menaikkan satu alis hitamnya. "Ada apaan?"

"Kok lo gitu sih sama gue." ucap Barra kesal.

"Lo ngomong apa sih?"

"Tunggu. Lo mau ke mana?" tahan Barra ketika Agam malah menghindarinya.

"Gue ada ujian. Ada apaan emang? Kalau nggak penting-penting banget nanti aja di rumah."

"Gam. Nanti dulu. Ini penting banget gila. Lo seenaknya ngomong begitu. Asem banget jadi sahabat."

"Kenapa lagi?"

Sambil memegang bahu Agam, Barra menatap manik mata sahabatnya itu begitu lekat. "Lo kurang ajar ya. Kenapa nggak bilang kalau Wahid si bocah ingusan itu alias oli samping atau lo sering panggil anak SMP ternyata anak orang penting. Gila lo ya. Kenapa nggak ngomong sama gue. Buset tadi gue doang yang cengok lo tahu nggak. Apalagi waktu dia ajak gue ke kantor Bokapnya, rasanya gue mau mati. Sumpah lo cari mati banget sih, Gam!!!" amuk Barra.

Agam menahan tawanya. Dia terbatuk beberapa kali, barulah memulai ucapannya.

"Lo baru sadar?"

"Baru sadar?" ulang Barra. "Emang lo pikir selama ini gue amnesia? Lo aja tuh yang nggak mau kasih tahu gue. Pantes aja lo sama Wahid deket banget. Ah gue tahu, karena gue doang yang bukan anak keluarga konglomerat kayak kalian, jadinya gue diasingkan. Gitu kan maksud kalian?"

"Lo ngomong apa sih, Bar? Siapa yang mau asingkan lo?"

"Itu buktinya cuma gue doang yang nggak dikasih tahu. Bahkan sampai tuh musuh dedengkot gue aja udah tahu. Kenapa gue doang yang nggak tahu. Bener-bener keterlaluan lo, Gam."

"Terus sekarang lo salahin gue? Barra..., Barra..., hijrah apa yang selama ini lo lakuin? Kenapa masih aja dengan mudahnya lo melemparkan kesalahan ke orang lain yang bahkan nggak ada hubungannya."

"Nggak ada hubungannya gimana? Bilang aja lo... "

"Cukup Bar!! Dengerin gue dulu. Sekarang gini, sejak awal gue tahu siapa dia, gue udah pernah kasih tahu langsung ke lo. Tapi lo nya aja yang nggak sadar."

"KAPAN?"

"Waktu itu. Di kamarnya Wahid. Lo lupa?" balas Agam agak kesal. "Gue suruh lo lihat foto di atas meja kecil kamar Wahid. Harusnya dari sana aja lo sadar. Gue bukannya nggak mau menjelaskan secara detail ke lo tentang siapa dia. Karena itu bukan hak gue. Dan kalau sampai detik ini Wahid nggak mau cerita siapa dia, bukan karena dia sombong. Tapi dia nggak ingin persahabatan kita terhalang oleh harta. Dia bahkan rela lo anggap orang miskin, Bar. Lo tahu nggak kenapa dia begitu? Dia cuma ingin dekat sama lo. Sama sahabatnya. Dia nggak mau lo pandang dia berbeda. Itu yang gue sadari sejak awal kalau dia memang berbeda dari orang yang lainnya."

"Dulu, waktu gue masih tinggal sama kedua orang tua gue, sebenarnya melihat harta, dan tahta adalah hal biasa. Mereka yang hanya memiliki sedikit saja langsung merasa ingin dihormati oleh orang banyak. Bahkan dengan mudahnya memandang rendah orang-orang yang tidak selevel dengan mereka. Tetapi dari Wahid gue banyak belajar Bar, kalau di dunia ini semua manusia itu sama. Karena apa yang perlu kita banggakan, saat malaikat Izrail sudah menentukan waktu untuk memanggil kita, yang kita bawa hanya kain putih yang tak berjahit. Itulah yang sering luput dalam pikiran manusia jaman sekarang." jelas Agam. Bahkan segala perasaan yang dirasakan tak luput dia tuangkan ketika menjelaskannya kepada Barra.

Barra tidak mampu bersuara lagi. Dia mengangkat kedua tangannya. Memperhatikan telapak tangannya dengan banyak terdapat garis tangan di sana.

"Lenyap sudah impian gue, Gam. Percuma gue hijrah kalau tujuan gue nggak akan pernah tercapai." lirihnya.

"Maksud lo?"

"Tujuan gue hijrah demi menghadiahkan surga untuknya. Untuk perempuan yang udah berhasil buat gue jadi gila begini. Tapi..., saat gue tahu siapa dia, bagaimana latar belakang keluarganya, gue takut Gam. Gue takut hadiah pintu surga tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan seluruh hartanya."

Kepala Barra tertunduk dalam. Bahunya bergetar tanda dia menangis.

Untuk pertama kalinya setelah 2 tahun lebih mereka berteman, Agam melihat Barra menangis di depannya. Bukan karena tubuhnya terluka. Namun karena dirinya ketakutan atas  sesuatu yang berhubungan dengan hijrahnya.

"Bar..., jangan bandingkan harta di dunia dengan apa yang lo janjikan untuknya di akhirat kelak. Sekalipun saat ini posisi lo masih jauh dari kata sempurna, gue harap hal ini bukanlah alasan dia buat nolak lo. Kalau dia seorang muslimah, dia tidak mencari laki-laki yang sempurna. Namun dia akan mencari seorang pria yang mau saling menyempurnakan. Karena terkadang orang yang sudah merasa paling sempurna akan lebih sering memandang rendah orang lain, terutama seorang perempuan. Apalagi ketika sudah berumah tangga. Kita menikah untuk mencari seorang istri, seorang ibu untuk anak-anak kita kelak. Bukan untuk menjadi seorang pembersih rumah."

"Yang bener, Gam?"

"Iya."

"Kalau gitu lo juga akan nikah muda? Biar kita sama-sama saling berjuang nanti."

Agam tertawa geli. "Gue akan menikah kalau memang sudah ada jodohnya."

"Iyalah. Emang perempuan kayak apa yang lo suka, Gam? Siapa tahu setipe kayak perempuan yang gue suka."

Kali ini Agam tersipu malu. Dia melirik Barra yang begitu penasaran akan jawabannya. "Nggak ada tipe spesifik. Karena bagi gue fisik bukan alasan utama. Tapi..., jika gue udah ketemu sama dia, gue akan lebih taat untuk beribadah. Terutama untuk mendoakannya. Agar bisa sama-sama mencintai Dia dengan lebih ikhlas tanpa iming-iming atau tanpa maksud tertentu."

"ANJIR!! LO NYINDIR GUE?" Teriak Barra kencang.

***
Continue..  Hahahaa.. Cie babang Agam.. Doain siapa sih? Neng Nada kah?

BALAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang