Baperan amat lo

4.4K 735 157
                                    

Apapun yang diawali dengan kemarahan pasti akan berakhir dengan penyesalan.

Hari Jum'at pagi ini terlihat berbeda. Kondisi tubuh Wahid nampak terlihat tidak sehat. Berulang kali laki-laki itu bersin sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain sarung.

Suhu udara di Jerman pada bulan Desember ini memang sangat tidak bersahabat. Apalagi bagi Wahid yang tubuhnya belum terbiasa, harus perlahan-lahan menyesuaikan diri lebih dulu.

Untung saja kampusnya sedang libur musim dingin. Jika tidak mungkin Wahid akan menyerah untuk datang ke kampusnya itu.

"Hachiiimmmm..."

"Innalillahi.." suara Barra menyahut.

"Lo pikir gue mau mati. Pakai innalillahi segala," gerutu Wahid tak suka.

Hidungnya sudah memerah karena berulang kali diusap dengan tisu agar menyumbat cairan yang selalu berkunjung ketika flu melanda.

"Hahaha. Terus apa? Tapi setahu gue innalillahi itu bukan cuma buat orang meninggal," sahut Barra mencoba membenarkan ucapannya.

"Ya tapi bukan itu jawabannya. Gila lo mah,"

Wahid diam tak ingin menanggapinya lagi. Dia melirik Agam yang masih sibuk berkutik di dapur tanpa suara sedikitpun.

Memang dari mereka bertiga, untuk urusan dapur, Agam adalah juaranya. Masakan yang dia buat selalu membuat Wahid dan Barra ketagihan.

"Ye gitu aja ngambek loh." suara Barra kembali.

"Nggak penting ngambek masalah begitu," sambung Wahid nampak semakin menggigil dengan suhu ruangan yang terlihat 15 derajat. Padahal temperatur suhu sudah dinaikkan oleh Agam agar kondisi Wahid tidak semakin memburuk. Tetapi bagi Wahid semua rasanya sama saja.

"Gam, udah belum. Gue mau minum obat,"

"Bentar lagi selesai. Nggak usah ribut lo!!"

Bibir Wahid mencibir. Memang julukan Mamak tiri cocok sekali disematkan kepada Agam. Walau tubuhnya kekar, namun untuk masalah kebersihan dan makanan yang baik, dia rajanya.

Karena masih menunggu cukup lama, Wahid mulai tertarik melihat kegiatan yang Barra lakukan dengan laptopnya. Sedari tadi Barra terlihat sibuk mengetik-ngetik sesuatu yang Wahid tidak tahu itu apa.

Untuk itu Wahid mencoba mendekat, membaca perlahan-lahan setiap kata yang dirangkai Barra hingga menjadi kalimat yang indah.

"Hayo.. Baca apa lo, bocah!!!" suara Barra mengagetkan.

"Kurang ajar lo. Kaget gue!!" pukul Wahid pada bahu Barra yang duduk di atas karpet bulu berukuran sedang dekat sofa ruang televisi mereka. "Buat apaan lo?"

"Menurut lo apa?" tanya Barra balik sembari membiarkan Wahid membaca tulisan di layar laptopnya.

Wahid menyipitkan mata. Membaca setiap kata yang mengandung kata tersirat penuh makna.

Alangkah anehnya jalan pikiranku ini..
Yang entah mengapa tak pernah memiliki akhir seperti keinginan hati..
Walau seribu bayang hadir dalam mimpi..
Diakhir kisah ini..
Aku hanya berharap ada dirimu menunggu dengan segenap rindu di hati..

"Itu curhat?" tanya Wahid dengan sebelah alis terangkat.

"Kalau menurut lo curhat nggak papa." kekeh Barra.

"Gue serius. Itu apaan? Gue nggak ngerti bahasa-bahasa aneh begitu," balas Wahid malas.

Barra membisu. Memeluk kedua kakinya, lalu memandang jauh ke arah jendela yang menampilkan suasana putih di luar sana karena tertutup salju.

BALAPANWhere stories live. Discover now