Menjadi lebih baik tidak perlu diobral

4K 783 202
                                    

Jangan sampai warna hitam yang muncul karena masalah hidup mengikis warna putih di hatimu.

Berjalan cukup jauh dalam pekatnya malam, Agam malah tertawa atas kelakuannya ini. Mengapa dia memilih pergi dan menghindari kedua sahabatnya itu. Kalau dia bersikap seperti ini sangat terlihat sekali bila hatinya malu mengakui kalau dia juga iri melihat perubahan yang dilakukan sahabatnya, Barra.

Saat melihat sebuah mini market, Agam mencoba masuk ke dalam sana. Menghangatkan suhu tubuhnya dengan membeli secangkir kopi.

Dalam mini market itu bukan hanya dia sendiri yang berada di sana. Ada beberapa orang yang nampak lahap menyantap mie dalam kemasan untuk menghangatkan tubuh mereka.

Tampilan wajah mereka seperti tanpa beban. Mereka bisa tertawa dan menikmati hidup dengan nyaman. Sedangkan dia, entah mengapa Agam merasa ada sesuatu yang mengejar-ngejarnya. Namun sampai detik ini dia masih bingung, apa yang mengejar-ngejarnya.

Hatinya tidak pernah tenang. Perasaan aneh itu terus saja terasa tanpa bisa diartikan.

Jika sudah memikirkan hal ini, Agam hanya bisa menarik napas dalam. Suatu saat dia pasti mengerti apa yang terjadi dalam hidupnya ini.

Saat dia masih menikmati kopi yang tersaji dalam gelas plastik, suara pesan masuk dalam ponselnya terdengar.

Perlahan Agam membukanya, membaca siapa si pengirim pesan ini.

Gue nggak pernah maksa siapapun untuk sejalan sama agama yang gue pilih. Tapi di sini gue maksa lo buat tetap tinggal bareng-bareng gue dan Barra. Gue setuju sama kata-kata lo, kita boleh satu rumah tapi pemikiran kita tidak akan pernah sama. Karena itu, dengan segenap hati gue mohon maaf sama lo.

Sekilas Agam tersenyum membaca pesan itu. "Bodoh," gumannya sendiri.

Rasanya tidak perlu Wahid memohon maaf seperti itu kepadanya. Dia juga mengerti bila dirinya pun salah. Telah marah-marah begitu saja kepada Wahid dan Barra. Padahal keduanya sama sekali tidak memaksanya untuk ikut serta.

Apalagi ini membahas tentang agama. Agam mengerti sekali, agama itu sangat sensitif. Karena Tuhanmu belum tentu menjadi Tuhanku. Begitupun sebaliknya.

Namun sepanjang hidupnya, Agam bukan sama sekali buta tentang agama. Dulu ketika masa sekolah, sedikit banyak dia tahu tentang agama Islam yang tertulis pada KTP dirinya dan kedua orang tuanya.

Akan tetapi orang yang tahu berbeda dengan orang yang paham akan maksud agama tersebut. Apalagi sudah beberapa tahun ini Agam sama sekali tidak menjalankan agamanya dengan baik. Apa masih bisa dia dianggap orang Islam?

Setelah meneguk habis kopinya, dia kembali berjalan untuk pulang. Pikirannya kini tertuju pada sebuah foto masa kecilnya yang kemungkinan besar masih dia simpan sampai sekarang.

"Semoga masih ada,"

***

"Lo sih, Hid. Pakai acara sholat di ruang tengah begitu. Kan Agam jadi ngambek sama kita."

"Kok lo salahin gue? Emang lo mau sholat di mana? Di ajakin ke masjid, nggak mau. Kata lo dingin. Terus di kamar gitu sholatnya? Itu sholat apa..."

"Masih kecil, otak lo ngeres aja," pukul Barra pada kepala Wahid.

Sejenak Wahid terkekeh. Kedua matanya menatap ponselnya berulang kali. Pesan yang tadi dia kirimkan ke Agam sama sekali tidak dibalas oleh laki-laki itu. Sampai-sampai Wahid merasa semakin bersalah kepadanya.

"Sumpah, dua tahun gue kenal dia baru kali ini lihat Agam ngambek. Biasanya dia yang paling cuek loh sama sesuatu," gumam Barra.

Wahid memperhatikan. Batinnya bersuara kencang, apa mungkin hati terdalam Agam merasa tersinggung? Bukan hal aneh lagi, biasanya manusia akan meledak dan meluapkan perasaan marahnya jika apa yang terjadi tepat mengenai hatinya.

"Memangnya selama ini Agam nggak pernah bahas tentang agama?" tanya Wahid pelan.

Barra mengingat-ingat kegiatan mereka selama dua tahun ini yang lebih diisi dengan hal buruk. Mulai dari menjadi anggota balapan yang memberikan kepuasan. Hingga sibuk mempermainkan banyak hati perempuan yang begitu baik kepada mereka.

Tetapi yang Barra tahu, walau Agam tidak pernah terlihat beribadah, laki-laki itu masih sering memberikan sedikit rezekinya kepada anak-anak di sebuah panti asuhan.

"Kalau yang gue tahu sih dia nggak pernah bahas agama. Gue aja nggak yakin agamanya apa. Yah lo lihat sendiri, hampir seluruh badannya habis ditatto sama dia." ucap Barra.

"Iya juga sih," desah Wahid.

"Tapi walau dia nggak pernah beribadah, dia masih punya hati yang baik kok. Bukan sekali aja dia bantu beberapa anak yatim di salah satu panti asuhan. Dan yang gue tahu ya, uang yang dia kasih itu bukan dari hasil balapan. Tapi dari hasil kerja kerasnya yang kadang bantuin teman-temannya ngerjain tugas. Terus, jadi tukang cuci mobil. Dia juga pernah kerja di pom bensin. Dari uang yang kekumpul itu, dia kasih ke anak-anak panti. Yah walau yang gue tahu, setiap bulan orang tua Agam pasti kirim banyak uang ke rekeningnya, tapi anehnya uang itu selalu dia hambur-hamburkan," cerita Barra panjang lebar.

Wahid diam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Dia tidak berani menebak sesuatu hal yang terjadi. Karena takutnya semua yang dia pikirkan adalah salah.

"Dan lo nggak pernah tanya ke dia?"

"Dia bilang, apa yang orang tuanya kasih itu uang haram. Jadi nggak cocok dipakai untuk sesuatu yang baik."

"Uang haram?" ulang Wahid tak yakin.

"Iya. Dia pernah cerita, bokapnya itu punya firma hukum di Indonesia. Dan kerjanya bantu orang-orang yang salah. Jadi yang gue tangkap, kenapa dibilang itu uang haram, karena hasil dari menolong orang yang salah,"

Barra dan Wahid sama-sama diam beberapa saat. Menyamakan pemikiran mereka berdua tentang sahabatnya itu.

"Apa mungkin...?" suara Wahid dan Barra bersamaan dengan pintu masuk tempat tinggal mereka terbuka.

Ada Agam di sana. Memasang wajah bingung karena ditatap Wahid dan Barra secara bersamaan.

"Gue mau tidur dulu ah," gumam Barra merasa tidak enak karena sejak tadi sibuk membicarakan Agam dan keluarganya.

"Apalagi gue. Udah ngantuk banget."

"Iya, anak SMP nggak boleh tidur malem," sahut Barra membela Wahid.

Dalam beberapa detik, Wahid dan Barra sudah kabur ke dalam kamar mereka masing-masing. Sedangkan Agam masih dengan ekspresi yang sama. Menaikkan satu alisnya, dengan tanda tanya besar di keningnya. Ada apa dengan dua sahabatnya itu?

Tanpa mau memikirkan keanehan yang terjadi, buru-buru Agam masuk ke dalam kamarnya. Membongkar beberapa tumpukan kardus yang menyimpan barang-barang lamanya yang dia bawa dari Indonesia.

Hingga akhirnya satu sudut bibirnya terangkat, melihat sebuah foto tua di sana. Foto saat dia masih kecil dan berhasil memenangkan lomba membuat kaligrafi Arab dari sekolahannya.

Namun sayangnya dulu tanggapan kedua orang tuanya tidak begitu antusias. Mereka pikir, banyak yang lebih penting dari hanya memenangkan lomba menulis kaligrafi seperti itu.

Apalagi Ayah Agam mendidik anaknya itu agar bisa sepertinya kelak di masa depan. Akan tetapi, semakin bertambahnya waktu Agam semakin paham kehidupan seperti apa yang dia inginkan.

"Kadang ada perasaan bahagia yang hanya bisa kita nikmati sendiri," ucap Agam menatap pedih foto usang itu. Kelak nanti ketika dia sudah berkeluarga dan memiliki anak, Agam berjanji agar tidak bertindak seperti kedua orang tuanya itu.

Tetapi apa mungkin semua rencana bisa terelisasikan dengan baik?

***
Continue..
Akhirnya update juga.. Semangaattt.. Masih semangat kan bacanya.. Pokoknya baca terus.. Kudu mesti wajib..

BALAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang