Kita bisa karena percaya

3.5K 642 118
                                    

Sering kali kita merasakan keinginan terbesar dalam hidup akan sesuatu. Namun terasa sulit diraih karena Tuhan lebih memintamu untuk menunggu agar Dia bisa memberikannya diwaktu yang tepat bagimu.

Pada salam terakhir Agam langsung melakukan sujud syukur dengan air mata yang berlinang tidak mau berhenti. Hatinya berteriak bahagia begitu kencang. Perasaan gundah yang biasanya sering kali dia rasakan lenyap sudah. Berganti dengan perasaan lain yang menampilkan warna baru dalam hidupnya.

Di sampingnya Wahid melihatnya pun begitu bahagia. Dia merangkul bahu sahabatnya itu lalu tersenyum bahagia dengan tangisan air mata.

"Alhamdulillah, Gam." ucap Wahid terbata.

Agam membalas pelukan Wahid dengan erat. Tanpa malu dia menangis, bersandar pada bahu Wahid. "Thanks, udah bantu yakini hati gue."

"Sama-sama, Gam. Gue sebenarnya nggak ngapa-ngapain. Cuma menemani lo aja. Karena semuanya berasal dari hati lo sendiri yang memang mau untuk merubahnya menjadi lebih baik. Dan bahagianya, gue sahabat lo yang ada di samping lo saat ini."

Agam tersenyum. "Nggak sia-sia gue masukin lo dalam member Balapan. Sekarang gue mau kita jadi anggota Balapan yang sesungguhnya. Balapan dalam memperbaiki diri. Gimana? Jadi sewaktu-waktu kalau gue butuh dukungan dari anggota yang lain, lo setidaknya bisa bantu gue. Karena dalam satu organisasi, tujuan tidak akan tercapai bila salah satu penggeraknya rusak."

"Beres. Bisa diatur. Yuk sambung doa. Masih banyak doa yang belum gue lakuin. Termasuk doain untuk si dia," kode Wahid dengan kedipan sebelah matanya.

"Siap."

Beberapa saat keduanya sibuk atas doa mereka masing-masing. Agam terlihat begitu khusyuk mengucap syukur kepada Tuhan atas berkah yang dia terima saat ini. Dan dalam hati Agam berjanji untuk tetap mempertahankan apa yang telah dia lakukan saat ini. Tentu saja dia berharap Wahid masih bisa menemaninya untuk saat-saat sulit seperti sekarang ini.

"Ngomong-ngomong lo doain siapa emang?" tanya Agam sambil memakai kembali sepatunya.

Wahid tidak langsung menjawab. Dia hanya memamerkan senyuman Indah di bibirnya sambil menatap jauh ke arah depan. Seolah-olah orang yang dia pikirkan tengah berada di hadapannya. Orang yang berhasil membuatnya kabur sejauh ini demi menenangkan perasaannya setelah mendapatkan kenyataan pahit yang sulit untuk diterima.

"Untuk dia yang telah menjadi milik orang lain."

Kalimat Wahid sukses membuat Agam memfokuskan tatapannya pada tubuh kurus di sampingnya itu. Bahkan sebelah tali sepatu yang belum terpasang sempurna saja Agam abaikan demi memperhatikan Wahid begitu jelas.

"Kenapa?" tanya Wahid melirik Agam.

"Maksud lo apa? Jadi lo doain pacar orang lain?"

"Bukan pacar, Gam. Perempuan itu sekarang sudah menjadi istri dari kakak sepupu gue." ucap Wahid begitu tegas.

Kedua manik mata Agam langsung terbuka lebar. Otak pintarnya mulai mencerna dengan baik maksud dari kalimat Wahid tersebut. Hingga dia bisa merasakan kesakitan yang Wahid sedang rasakan kini.

"Lo baik-baik aja kan?"

"Kalau ditanya baik, tubuh gue emang baik. Tapi sebagian dari perasaan gue nggak baik. Meski gue tahu mencintai perempuan tanpa ikatan itu salah, namun siapa yang bisa menghentikan perasaan yang tumbuh dalam diri. Karena itu gue memilih untuk pergi. Bukan untuk kabur dari masalah hati.  Tapi gue cuma mau menjaga dia. Agar setidaknya gue nggak memberatkan dia dengan dosa bila dia tahu gue masih ada rasa sama dia." ujarnya menjelaskan.

"Lagi pula, Gam. Meski dia udah menjadi milik yang lain, gue masih bisa mencintainya lewat doa. Bukannya cara mencintai yang paling indah itu dengan doa? Gue di Jerman dan dia di Jakarta. Tapi gue percaya doa gue selalu sampai kepadanya. Meski kita nggak bertatap muka, namun doa gue untuk dia nggak akan pernah terlupa."

BALAPANWhere stories live. Discover now