Semua yang dilihat berbeda

3.9K 744 144
                                    

Tidak semua hal harus kau pikirkan. Biarkan salah satunya terlarut dalam waktu. Agar kau paham apa arti sebuah pilihan.


"Ibuu.." panggil Wahid dengan senyuman ketika melihat sosok perempuan yang tidak dia duga-duga akhirnya datang ke negara tempat dia melanjutkan sekolahnya. Di samping perempuan yang Wahid panggil Ibu, terlihat seorang laki-laki turut melambai ke arahnya dengan sebuah ponsel yang menyala di tangannya.

Langkah Wahid yang awalnya begitu ringan ingin mendekati Ibunya nampak terhenti. Dia menyamarkan senyum kecewanya sejenak, lalu menghapus pikiran buruk apapun tentang sosok laki-laki yang selama ini dia panggil Ayah.

"Alhamdulillah, akhirnya Ibu ketemu kamu juga," ucap perempuan bernama Umi itu. Walau usianya sudah berkepala empat, namun bagi Wahid, Ibunya itu masih terlihat begitu muda. Apalagi gaya berpakaiannya yang tidak jauh berbeda dengan para sepupu perempuannya, membuat Wahid yakin bila masih banyak laki-laki yang bersedia mencintai Ibunya itu.

"Kamu baik-baik aja kan sayang?" tanya Umi memeluk tubuh Wahid erat.

"Bu, Wahid bukan anak kecil lagi." ucapnya risih.

"Kamu tetap putra kecil Ibu." ungkap Umi jujur. "Lagian kenapa kamu nggak tinggal di rumah kita aja sih sayang. Kenapa harus pindah tempat tinggal segala,"

Wahid terkekeh. Sebelum menjawab pertanyaan Ibunya, dia sempat melirik Ayahnya yang masih sibuk menghubungi seseorang dengan ponselnya.

Jujur saja ada perasaan kesal ketika Wahid melihatnya. Selalu saja sikap Ayahnya seperti ini. Sibuk dengan urusan lainnya, padahal ada keluarga yang membutuhkan perhatiaan laki-laki itu juga.

Namun menurut pendapat Wahid, Ayahnya benar-benar tidak pernah jera. Apalagi pernah terjadi moment ketika Ayah dan Ibu Wahid mengalami insiden kehilangan buah hati mereka, sama sekali tidak dijadikan pembelajaran sedikitpun.

Sang Ayah masih saja mengutamakan hal lainnya jika dibandingkan dengan keluarga. Entah apa alasan dari sang Ayah melakukan semua itu, karena sampai detik ini pun Ibunya tidak pernah memberitahu apapun kepada Wahid.

"Wahid mau mandiri, Bu."

"Mandiri bukan berarti membuat khawatir orang tua, sayang. Setiap saat Ibu cuma bisa berdoa, semoga putra Ibu selalu dilindungi olehNya,"

"Memang doa yang paling Wahid perlukan, Bu. Doa biar sehat, kuliah lancar. Dan bisa banggakan Ibu,"

"Itu pasti, Nak. Orang tua mana yang lupa mendoakan anaknya sendiri," sahut Umi bahagia. Dia merangkul bahu Wahid, lalu memberikan kode kepada suaminya dengan senggolan melalui sikunya.

Hans, Ayah dari Wahid pun mengangkat ibu jarinya tanda mengerti kode yang diberikan oleh istrinya.

Walaupun masih sibuk dengan panggilan di ponselnya, Hans tetap siap siaga membantu Umi untuk membawakan koper mereka berdua. Berjalan menyusuri dalam bandara menuju sebuah mobil yang sudah Wahid persiapkan untuk menjemput kedua orang tuanya.

"Kamu lihat siapa?" tanya Umi pada Wahid yang tersenyum-senyum sambil melirik sesuatu.

"Lihat Ayah, Bu."

"Yah begitulah Ayahmu. Kelihatan cuek tapi dia perhatian." jawab Umi tanpa ragu. "Ayahmu memang bukan sosok laki-laki sempurna. Dia pernah melakukan kesalahan, dan membuat semuanya hancur berantakan. Tapi..." gantung Umi pada cerita singkatnya. "Tapi Ibu bangga padanya. Meski sulit. Meski dia sudah kehilangan banyak kepercayaan dari orang-orang sekitarnya. Dia sampai sekarang tidak pernah ragu. Dia tetap menjadi dia. Nggak berubah. Nggak mendadak jadi alim atau seolah-olah menjadi ustad yang menyiarkan banyak hadits-hadits. Dia tetap seorang Ayah, dan seorang suami. Hanya saja dia sering membagi kisahnya kepada orang lain agar tidak terjerumus kedalam lubang yang sama seperti dirinya," cerita Umi.

BALAPANWhere stories live. Discover now