Dengarkan menggunakan hatimu

3.7K 724 142
                                    

Jangan sombong menjadi pemenang. Kau terlihat di mata orang lain, karena adanya aku yang sering kau anggap pecundang.

Dengan nada gembira Agam menyambut kedatangan Wahid kembali. Laki-laki itu yang sebelumnya pergi tanpa barang-barang, kini kembali dengan satu koper besar barang yang baru dia beli.

Sambil melipat kedua tangannya di dada, Agam hanya tersenyum melihat Barra menyambut Wahid dengan sebuah pelukan hangat. Padahal selama beberapa minggu ini Wahid tidak pergi ke mana pun. Mereka masih dalam satu negara yang sama. Namun mengapa rindunya terasa begitu menyiksa.

"Duh, Hid, akhirnya lo pulang juga."

"Iyalah gue harus pulang. Besok udah mulai kuliah lagi," jawab Wahid santai.

"Kok lo jawabnya bisa santai gitu. Nggak tahu apa, gue sama Agam tersiksa menahan rindu sama lo," curhat Barra melebih-lebihkan.

Agam yang melewati mereka untuk menuju ke arah dapur, hanya bisa mencibir. Dia sudah paham sekali seperti apa tipe sahabatnya itu. Menyebalkan memang, tetapi dia bisa diandalkan menjadi sahabat yang baik.

"Emang Agam kangen gue?" tanya Wahid bagai sindiran.

"Jadi lo nggak percaya kalau dia kangen? Dia itu cuma tampangnya aja tanpa ekspresi. Tapi sebenarnya di dalam hatinya, beuhh.. Lo nggak tahu aja. Pokoknya jangan remehkan calon jaksa kita satu ini,"

Wahid sekilas melirik Agam yang tidak terpancing perkataan Barra. Laki-laki itu nampak tenang menyajikan menu makanan yang baru saja selesai dia masak.

"Heh, lo emang ke mana aja?" tegur Barra sambil menyikut bagian perut Wahid.

"Gue di Jerman kok,"

"Alah, jujur aja, Hid. Gue tahu, selama beberapa minggu ini lo pasti jadi simpenan tante-tante ya?" tuduhnya dengan kedua manik mata yang menyipit. "Pantas aja lo nggak mau cerita secara jelas latar belakang keluarga lo. Pasti lo malu kan? Lo kuliah di Jerman itu hasil..."

"Bar, bisa berhenti kan lo?" tegur Agam agak membentak dari arah dapur.

"Apaan sih lo, Gam. Gue kan nggak ganggu lo masak. Kok lo sewot gitu," gerutu Barra mulai kesal.

"Bukannya gitu, Bar. Wahid baru pulang, lo seharusnya tanya dia udah makan atau belum. Bukan malah tanya-tanya hal yang nggak penting, dan malah membuat lo berburuk sangka sama orang lain."

"Ada kemajuan, Hid. Lo dibelain sama Mak Tiri," bisik Barra.

Sambil tertawa, Wahid mengikuti gerakan Barra menuju ke arah meja makan bundar di mana beberapa sajian makanan telah tersedia.

Tanpa pernah diminta, memang sehari-harinya, Agam lah yang bertugas untuk memasak makanan bagi mereka semua. Walau terkadang masakannya lebih sering terasa asin, namun baik Barra ataupun Wahid tidak pernah ada yang protes. Karena mereka berdua masih bersyukur, Agam masih mau memasak untuk mereka berdua.

"Wah, enak nih," seru Barra sembari ingin mencomot satu menu masakan yang Agam buat. Namun Wahid buru-buru memukul tangan Barra. "Kenapa woy?"

"Doa dulu," ucap Wahid.

Barra dan Agam sama-sama menaikkan kedua alis hitamnya. Sepertinya Wahid lupa saat ini dirinya bukan berada di rumah yang di mana segala halnya dimulai dengan sebuah doa.

"Eh.. Maksud gue, kalau nggak mau doa, lo bisa kan ucapin terima kasih sama Agam. Karena dia juga, kita bisa makan tanpa repot-repot membuatnya setiap hari," ucap Wahid mengalihkan kalimatnya yang pertama.

"Boleh juga kita doa dulu. Nggak ada salahnya kan dalam doa kita berisi rasa syukur karena masih bisa merasakan semua ini. Toh, bagi gue melakukan doa sebelum makan bukan berarti kehidupan lo udah alim banget," kekeh Barra.

Saat Barra memberikan aba-aba untuk berdoa dalam hati, hanya Agam yang masih terlihat diam. Dia kelihatan bingung melihat Wahid yang mengadahkan kedua tangannya ke atas, dengan bibir yang berkomat-kamit membaca sesuatu. Sedangkan di sampingnya Barra, kepalanya tertunduk dalam. Agam kurang yakin doa apa yang dibaca Barra. Karena di matanya, Barra terlihat bukan seperti orang berdoa melainkan orang tidur.

"Aamiin," ucapnya setelah dia rasa cukup.

Karena tidak bisa menahan rasa penasarannya, Agam berbisik ke arah Barra. "Emang lo tahu doa sebelum makan?" selidiknya.

Kepala Barra menggeleng. Menandakan sebuah jawaban dari pertanyaan Agam tadi.

"Terus lo ngapain tadi? Gaya-gayaan pakai doa," sembur Agam.

"Gue emang nggak hafal doa sebelum makan apa. Tapi gue punya otak, Gam. Lo pikir gue bodoh banget. Gue kan bisa ngomong pakai bahasa manusia ke Tuhan. Denger ya Gam, Tuhan tuh nggak memperumit manusia yang mau berdoa kepadaNya,"

Sambil menahan senyum, Wahid hanya mencuri dengar dari percakapan kedua sahabatnya itu. Dia tidak ingin membenarkan perkataan Barra, karena pasti akan menyentil ego yang Agam miliki. Namun dia juga tidak akan membenarkan Agam, karena pada dasarnya apa yang Barra katakan adalah kebenaran. Dan apa yang Agam pikirkan adalah sebuah kebiasaan manusia. Di mana semuanya hanya dinilai dari sebuah tampilan saja.

"Iya. Gue tahu,"

"Kalau lo udah tahu, tolong kasih tahu gue, Gam. Dan kalau gue yang tahu, gue nggak akan segan-segan kasih tahu lo. Walau pastinya lo lebih tahu dari gue. Apalagi manusia yang suka baca buku model kayak lo, nggak boleh sedikit pun gue remehin. Karena dari yang pernah gue pelajari di sekolah dulu, Iqra adalah satu kata pertama yang menjadi wahyu Nabi Muhammad." jelas Barra terlihat begitu yakin.

Tetapi karena tidak ada tanggapan dari Agam, Barra terburu-buru mencolek paha Wahid. "Bener kan apa yang gue bilang tadi? Koreksi dong kalau salah. Kan siapa tahu nanti ada remedial, masa gue harus salah lagi,"

"Iya, iya, benar. Apa yang Barra bilang semuanya benar," sambut Wahid.

Dengan ekspresi bangga, Barra berusaha pamer kepada Agam. Tetapi kini fokus Agam bukan lagi kepada Barra, melainkan ke arah Wahid yang akan memulai menjelaskan hal tersebut.

"اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ"

"Apa yang gue baca tadi adalah ayat pertama dalam surat Al Alaq. Dengan arti, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Iqra sendiri seperti yang dibilang Barra tadi merupakan kata pertama sebagai wahyu untuk Muhammad yang telah Allah berikan. Namun dari yang kita tahu, dulu Muhammad sama sekali tidak bisa membaca dan menulis. Sampai-sampai beliau dijuluki sebagai umi. Akan tetapi pada saat itu, malaikat Jibril tetap memaksa Muhammad untuk membaca wahyu yang dia terima. Hingga akhirnya malaikat Jibril lah yang mengajarinya membaca. Bukan hanya membaca apa yang telah ditulis. Tetapi membaca segala hal, termasuk hal-hal yang sedang terjadi di dunia ini." cerita Wahid panjang lebar. Melirik kedua sahabatnya yang begitu terpesona.

Seperti halnya, Barra. Laki-laki itu membuka mulutnya lebar, sebagai bentuk kekaguman terhadap Wahid. Sedangkan Agam memilih mengerutkan alis hitamnya.

Entah apa yang Agam pikirkan. Namun yang jelas Wahid masih berusaha untuk tetap bersyukur. Karena setidaknya, kedua sahabatnya masih ada niat untuk mendengarkan ceritanya.

Bukankah cara terbaik dalam mengubah kehidupan dengan memilih untuk mendengar hal-hal yang bermanfaat. Seperti halnya mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut. Agar manusia lebih banyak mendengar dari pada mengomentari.

***
Continue..
Wuhuu.. Balik..
Gimana sampai sejauh ini? Masih setia? Dikomen yg banyak kalo gitu.

BALAPANWhere stories live. Discover now