Iri tanda belum bersyukur

4.5K 742 229
                                    

Aku merasa menjadi manusia terbodoh di dunia. Sering kali melupakanNya yang selalu setia mengawasiku. Namun selalu ingat kepada manusia sedangkan dia melupakanku.

Pagi ini turun salju cukup lebat di tempat tinggalnya. Membuat beberapa orang yang ingin keluar dari rumah mereka harus mengenakan beberapa lapis pakaian hangat untuk membalut tubuh mereka.

Namun apa yang dilakukan Agam dalam tempat tinggal mereka berbanding terbalik dengan orang-orang diluar sana.

Laki-laki itu sedang banjir keringat karena olah raga ringan yang sedang dia lakukan. Sambil dibantu oleh Barra, Agam berulang kali mengangkat tubuh Barra yang sedang duduk santai di bagian punggung belakangnya.

"10, 11, 9, 8, 10, 11.." ucap Barra sembari mengingit satu buah apel yang ada di tangannya.

Di bawahnya, Agam mengerang kesal. "Lo nggak bisa hitung ya? Masa dari 11 ke 9 lagi,"

"Protes aja, Gam. Kan ini mulut gue. Masih mending gue bisa sampai 11 hitungnya. Coba lo lihat tukang foto, mereka cuma bisa sampai angka 3. Jadi pinteran gue kan," cengir Barra lebar.

Dengan sedikit kesal, Agam memulai kembali olah raganya. Tepat dihitungan ketiga, Wahid keluar kamar sambil membawa ponselnya karena sedang melakukan video call dengan seseorang.

"Mana...? Nada mau lihat saljunya..." teriak seseorang dari balik ponsel tersebut.

Barra dan Agam sama-sama diam mendengar jeritan suara perempuan. Pikir mereka bagaimana bisa Wahid dekat dengan banyak perempuan, sedangkan Agam dan Barra saja yang sudah susah payah mendekati perempuan sering kali menjadi alat pemuas napsu mereka saja.

"Wihh.. Kok keren sih? Kapan-kapan ajak Nada ke sana ya, Bang."

"Nggak. Ngapain kamu ke sini? Abang kan nggak liburan,"

"Wuu.. Pelit. Masa dikeluarga ini, Nada doang yang nggak pernah liburan keluar negeri. Padahal Om Imam dulunya kan tinggal di Jerman juga,"

Sekilas Wahid terkekeh melihat wajah adik sepupunya yang biasa dipanggil Nada. Gadis belia itu sedang mencibirkan bibirnya, tanda protes kepada Wahid.

"Ya udah nanti kapan-kapan Abang ajak ke sini."

"Assiikkkk.."

"Udah balikin ponselnya sama Ibu. Abang mau ngomong sama dia,"

"Beres boss. Ammah... Bang Wahid mau ngomong lagi tuh..."

Wahid tersenyum, melirik kedua sahabatnya yang memandang dirinya penuh arti. "Biasa, adek sepupu gue yang paling nakal," jelasnya.

"Oh, adek sepupu. Kalau pacar juga nggak papa kok. Kita mah berdua apa atuh. Iya kan, Gam." tepuk Barra pada punggung Agam yang berkeringat.

Agam mencoba tidak peduli. Dia memulai olah raganya kembali. Namun setiap hitungan yang Barra lalukan, entah kenapa masih terdengar suara ceria dari perempuan yang Wahid hubungi tadi.

Suaranya langsung mampu membekas dipikiran Agam. Padahal ia baru kali ini mendengarnya.

"Bu, assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam, sayang. Kapan kamu pulang? Ibu kangen sama kamu,"

"Nanti, Bu. Habis ujian, Wahid pulang."

"Ibu doain semuanya lancar ya. Jangan lupa sholat dan jaga kesehatan. Kata Nada di sana lagi musim dingin ya? Kalau mau keluar rumah pakai pakaian hangat. Ibu nggak mau kamu sakit,"

Wahid meringis sambil menggaruk belakang kepalanya. Kedua sahabatnya yang tadinya tidak peduli, kini memasang ekspresi penasaran kepadanya.

"Bu, Wahid bukan anak kecil lagi."

BALAPANWhere stories live. Discover now