Ayo hijrah bersamaku

3.9K 724 63
                                    

Sering kali manusia menyakiti banyak orang hanya karena kecewa begitu dalam pada satu orang.

Sudah kesekian kalinya Agam menarik napasnya dalam. Ponsel pintarnya yang berada di tangan berulang kali Agam putar-putar layaknya seseorang yang tengah gusar.

Di hadapannya berdiri bangunan tua yang dijadikan tempat beribadah umat muslim. Dia pun belum yakin mengapa langkahnya bisa sampai di sini. Yang dia ketahui adalah perasaan di dalam hatinya menuntun kedua langkah kaki Agam hingga bisa berakhir di sini.

Sudah hampir setengah jam Agam di sini hanya diam demi menyakinkan sesuatu dalam dirinya, namun hingga suara adzan berkumandang dia masih belum yakin pada keputusannya.

Dia tidak tahu bagaimana caranya memulai. Dia butuh seseorang yang memberinya saran ketika kegundahan ini menetap dalam dirinya.

Baru saja Agam memejamkan kedua matanya. Menahan sesak di hatinya. Seseorang dari belakang tubuhnya, menepuk bahu Agam pelan.

Kedua mata Agam terbuka. Kepalanya terdongak menatap sosok itu yang tersenyum begitu indah. Siang itu, tepat pada hari jum'at, kala laki-laki muslim berlomba-lomba untuk beribadah, Agam kembali bertemu dengan orang itu.

Sosok yang dia anggap seperti anak-anak, namun pemikirannya cukup dewasa dari usianya.

"Gam," tegur Wahid. "Kok di sini?" Tanya Wahid ragu.

Dia melihat ke sekitar, mencari kemungkinan penyebab Agam bisa berada di tempat ini. Namun di sekitar sini hanya berupa taman yang mengelilingi bangunan tua.

Belum ditanya lebih jauh, Agam meringis penuh rasa malu. Kepalanya kembali tertunduk. Dengan kedua tangannya terkepal kuat di atas pahanya.

"Anggap aja lo nggak lihat gue di sini, Hid." suara Agam terdengar bergetar.

"Kok gitu? Emangnya kenapa?"

"Karena gue malu, manusia penuh dosa kayak gue nggak sepantasnya berada di sini."

Sebelah alis hitam Wahid terangkat tinggi. Sejenak dia tertawa. Menepuk bahu Agam berkali-kali. "Lo kenapa sih, Gam? Serius gue aneh lihatnya. Gue kan nggak tegur lo masalah dosa. Hey bro, semua manusia yang hidup pasti memiliki dosa. Entah itu yang disengaja ataupun tidak. Terus kenapa tiba-tiba lo bawa-bawa dosa? Gue emang sahabat lo, Gam. Tapi gue nggak peduli seberapa banyak dosa lo. Karena dosa itu kita tanggung masing-masing." ucapnya memberikan penjelasan kepada Agam.

Wahid turut duduk di samping Agam. Menunggu kumandang Adzan selesai, barulah dia akan ke dalam melakukan ibadahnya.

Bahkan Wahid seolah paham tidak ingin menyinggung tentang agama kepada Agam. Karena terakhir kali mereka terlibat pembicaraan masalah agama malah menimbulkan masalah baru di antara keduanya.

"Lo jangan gugup begitu, Gam. Gue emang sahabat lo dan Barra. Tapi gue nggak pernah memaksakan Tuhan kita sama. Yah meskipun secara KTP Tuhan kita sama," kekeh Wahid di bagian akhir.

"Tapi sebagai sahabat gue sih maunya kita sahabat dalam surgawi juga. Bukan hanya duniawi. Kadang nih,  Gam, kalau pandangan hidup kita hanya tertuju pada duniawi maka yang kita rasakan hanya kelelahan semata. Namun jika apa yang lo jalankan ingin mendapatkan ridho surgawi,  maka insha Allah kebaikan pun akan lo dapatkan. "

Agak ragu Wahid melihat ekspresi Agam di sampingnya. Sekilas Wahid menarik sudut bibirnya. Tanpa perlu dijelaskan, Wahid tahu Agam ingin berhijrah menjadi lebih baik. Namun yang membuat laki-laki itu ragu kini, apa bisa hijrahnya diterima.

"Gam, menjadi manusia lebih baik nggak perlu menunggu waktu bertahun-tahun. Karena sesungguhnya dalam diri manusia itu sendiri memiliki kemampuan untuk berubah menjadi lebih baik kapanpun waktu yang dia mau. Kalau gue boleh simpulkan, yang paling penting masalah mau atau tidaknya aja. Yah, kayak Barra. Gue sih agak kurang setuju dia mau berubah demi sepupu gue. Tapi kalau itu bisa memacu kemauan dalam diri dia, gue bakalan dukung semampu gue." ceritanya.

"Tapi masalahnya Hid, gue nggak siap."

"Nggak siap kenapa? Lo malu diledekin orang lain. Dengan semua sikap buruk lo, nggak mungkin lo bisa jadi lebih baik. Gitu kan? Ah, itu mah alasan klise orang mau hijrah." jelas Wahid.

"Lo yakin kalau gue mampu?"

"Gue bukan yakin lo mampu atau nggak. Tapi gue percaya lo mau."

"Tapi gue hijrah pun percuma. Kalau keluarga gue pun masih jauh dari kata sempurna." lirihnya kembali dengan perasaan malu.

"Kalau gitu, jadikan kesempatan itu sebagai ajang diri lo untuk membuktikan. Jika anak yang lahir dalam keluarga buruk sekalipun, tidak selamanya berakhir buruk. Serius, gue lebih dukung lo hijrah dengan alasan keluarga dibandingkan  alasan Barra." kekeh Wahid di akhir kalimatnya.

Di sampingnya Agam ikut tertawa. Dia juga tidak yakin Barra bisa berubah hanya demi satu perempuan.  Padahal biasanya Barra paling tidak bisa bertahan dengan satu perempuan di sampingnya.

"Kalau begitu...," gantung Wahid pada kalimatnya. "Ayo..., "

"Ke mana?" tanya Agam masih tak mengerti.

"Menemui kekasih hati. Dia menunggu kita,"

Agam mengalihkan pandangannya ke arah bangunan kuno yang dijadikan masjid untuk umat muslim. Di telinganya terdengar beberapa kali panggilan untuk semuanya memulai ibadah sholat jum'at hari ini.

Tanpa bisa ditahan, kedua manik mata Agam berkaca-kaca. Dia tertawa ke arah Wahid sambil menahan segala perasaan di hatinya.

"Apa benar Dia masih mau menerima gue?" gumamnya pelan.

"Disaat hati lo gundah. Disaat lo nggak bisa percaya dengan siapapun. Sewaktu lo bingung atas pilihan. Ketika lo butuh jawaban, maka Tuhan akan menjawabnya dalam surat Al -Mukmin ayat 60.
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Berdoalah (mintalah)  kepadaku, niscaya aku kabulkan untukmu. " jawab Wahid begitu jelas.

Semakin Agam mendengar kalimat Wahid, semakin kencang keinginan di dalam hatinya untuk berubah menjadi lebih baik. Tetapi yang masih membuatnya ragu, apakah ia akan sanggup mempertahankan hijrahnya?

"Ayo..., " ajak Wahid sekali lagi.

Sedikit meragu dalam pikirannya, Agam akhirnya mengikuti langkah kaki Wahid. Menelusuri jalan menuju masjid yang berada di depannya. Dia mencoba untuk merubah dirinya. Meski Tuhan tidak menjanjikan lebih baik dimasa yang akan datang.

"Tapi ngomong-ngomong, Gam. Lo tahu kan bacaan sholat jum'at gimana?" Goda Wahid.

Agam menggelengkan kepalanya. Dia merangkul bahu Wahid erat. "Sholat jenazah aja gue tahu gimana caranya. Cuma ya kurangnya satu, nggak ada jenazah yang mau gua sholatin sekarang. Kecuali lo mau berbaring di depan gue, gue akan pastikan bacaan sholat gue yang terbaik untuk lo."

"Asem lo, Gam."

"Lagian lo meremehkan kemampuan orang banget. Sekali lagi gue bilangin, Hid. Kadang orang yang tidak beribadah itu bukan berarti dia nggak bisa. Namun bisa jadi ada alasan lain yang membuat mereka nggak beribadah. Kayak gue. Gue merasa malu sama Tuhan. Dengan segala kelakuan buruk gue serta kelakuan orang tua gue. Tapi bukan berarti gue nggak bisa beribadah. Atau bahkan nggak tahu bacaan sholat kayak apa. Lo paham kan? Lain kali kalau lo mau memandang rendah seseorang, pastikan posisi berpijak kalian sama. Agar lo bisa mengukur kemampuan kalian dengan adil."

Wahid mengigit bibir bawahnya kuat. Salah memang melawan calon jaksa satu ini.

***
Continue..
Tuh dengerin.  Jangan meremehkan orang lain sebelum memastikan pijakan kalian sama tinggi. Hahahaa.. Bahasanya kiasan.  Tapi kalo yang paham artinya,  dalem cuyyy.

BALAPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang