Bab 6 [Revisi]

170K 10.2K 85
                                    

Selina berdiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selina berdiri. Menatap gedung besar yang terpajang di depan mata. Ia tersenyum. Teramat bahagia karena bisa memiliki pekerjaan tetap.

Argh!! Akhirnya aku bekerja!

Mata wanita itu berbinar di balik bingkai kacamata hitamnya. Selina senang. Akhirnya ia tidak lagi harus cemas dengan kehidupan esok hari yang tak pasti.

Tanpa ragu ia melangkah. Masuk ke dalam gedung sebelum dicegat satpam.

"Mbak mau rusuh lagi, ya?!"

"Hah?! Saya kerja di sini, Pak. Atasan bapak langsung yang merekrut saya." Selina menjauh. Takut ditangkap seperti tempo hari.

"Mana buktinya kalo Mbak karyawan sini? Id card Mbak mana?"

Si satpam yang agak pendek kini ngotot. Berusaha membuktikan bahwa Selina ini penyusup. Dan sialnya wanita itu memang tidak memiliki id card.

Pria sialan. Kenapa juga kemarin ia tidak sekalian memberiku id card. Atau kartu nama saja juga cukup.

"Saya belum menerima id card saya, Pak. Mungkin, nanti di atas baru diberi."

"Ah, alasan. Enggak ada Id card, maka enggak bisa masuk. Jadi, lebih baik Mbak pulang saja." Sekarang satpam yang agak besar maju, membuat Selina kembali mundur satu langkah.

"Bapak kok hobi banget melarang saya masuk, sih?!" Selina berdebat. Berusaha menunjukkan sedikit keberanian.

"Loh, Mbak sendiri kok hobi banget nerobos kantor orang." Kedua satpam itu tak mau kalah. Mereka sudah bersiap melangkah untuk menangkap Selina.

Sial. Aku harus kabur sekarang juga.

Namun, sebelum sempat niat itu terjadi, seorang pria telah menyentuh tangan Selina dari belakang. Sekelebat momen kembali terputar dalam otak wanita itu. Selina melihat saat dimana dirinya dipermalukan lalu terdengar tawa seorang pria yang mengamati.

Ia menoleh. Saat masa lalu itu selesai terputar, Selina melihat si pria yang menertawainya tersebut. Dan saat mata abu-abu itu mendongak, memperlihatkan sedikit warnanya di sela-sela bingkai atas, maka Demi bisa ikut menatap.

Wanita manis. Hari-hariku pasti tak lagi membosankan.

******

Selina berusaha melepas, tetapi tenaga pria itu jauh lebih kuat.

Warna orange. Ia sedang mempermainkanku. Memang siapa sih pria ini?!

"Lepas," Selina berbisik.

"Diam dan ikuti saja aku," Demi berbalik memerintah sebelum menatap kedua satpam itu.

"Dia memang karyawan sini, Pak. Saya sendiri yang merekrut dia kemarin." Satu senyum manis diumbar pria itu. Terlihat seperti gigolo di mata Selina.

"Oh iya, Pak. Kami enggak tahu. Tadi kami cuma jalanin protokol saja."

Cih! Di depan pria ini saja mereka berlagak sok baik. Tadi kalian lupa memperlakukan aku seperti tikus got!

Selina menatap sebal. Tak sadar bahwa Demi sedang memperhatikan raut wajahnya. Dalam hati ia tertawa, tetapi Demi tidak ingin menunjukkan di depan Selina karena takut dimarahi.

"Ayo kita masuk. Sebentar lagi jam kerja dimulai."

Pria itu pamit lalu menarik tangan Selina. Membuat setiap pegawai melihat mereka. Bukan dengan tatapan iri, tapi dengan tatapan aneh.

*******

"Kubilang lepas!" Selina berteriak. Saat ini hanya ada mereka berdua dalam ruangan yang terlihat seperti ruang pribadi Demi.

"Aku menyelamatkan dirimu. Harusnya kamu berterima kasih, bukan?"

Demi melepas genggaman. Mundur selangkah agar bisa melihat wanita mungil itu lebih jelas.

"Aku tidak meminta dan aku tahu kamu menertawakanku!"

Demi diam. Seakan rahasia kecilnya terbongkar. Berusaha menyanggah tapi bingung ingin berkata apa. Alhasil, pria itu justru memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Sedang apa kamu di sini? Kemarin kamukan diusir. Jangan-jangan kamu ingin membalas dendam, ya?"

"Hah?! Gila. Sepertinya semua orang dalam kantor ini punya daya imajinasi yang amat liar. Kemarin aku dibilang ingin membunuh. Sekarang aku dibilang ingin balas dendam. Besok apa?! Aku dibilang teroris?!"

Demi tertawa. Tidak lagi bisa menahan karena tingkah lucu wanita di hadapannya.

"Siapa memang yang mengiramu sebagai pembunuh?" Demi bertanya di sela-sela tawanya.

"Seorang pria bernama Radit. Ia juga yang memintaku sekarang bekerja dan lupa memberiku id card." Selina mengeluh. Kembali jengkel memikirkan hal tadi.

"Radit?! Bukankah kemarin kamu bermasalah dengannya?"

"Memang. Dan karena itu juga aku bekerja di sini."

Demi ingin bertanya kembali. Memastikan alasan Radit mempekerjakan Selina. Namun, ia bingung. Bagaimana ia bisa membaca lawan bicara yang menutupi matanya.

"Lalu kacamata hitam itu. Kenapa kamu memakai benda semacam itu ke kantor?"

"Aku punya alasan dan tidak ada kewajiban bagiku melapor padamu."

"Kamu benar. Lalu, memangnya kamu ingin bekerja di bagian mana sekarang?"

"Asisten pribadi."

"Asisten pribadi?! Kamu?! Dengan kacamata hitam itu?!" Demi menatap Selina tidak percaya. Radit. Temannya pasti sedang gila saat merekrut wanita aneh ini.

*******

"Ada Pak Radit?"

"Baru saja masuk, Pak."

Tanpa meminta izin lagi dari si sekretaris, Demi melangkah masuk. Menarik Selina bersama untuk datang menemui Radit. Dan saat pria itu melihat mereka dengan mata terkejut, maka Demi membuka suara.

"Jelaskan apa yang sedang terjadi saat ini."

Selina menatap Demi tak percaya. Sementara Demi melihat Radit meminta jawaban. Lalu Radit. Ia melihat kedua tangan yang sedang bergandeng itu dengan kesal.

*****

Semua mulai tersusun

Keping-keping cerita satu per satu terpasang

Membuat suatu kejadian

Yang entah itu baik atau buruk

******

Hulaa behind the color sudah up yaa

Jangan lupa vote, follow, sama komentar

Oh iyaa cek juga behind the story sama behind the wedding sama ending scene yaa

-XOXO

[End] Behind The ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang