Masalah terbesar

21.9K 1.4K 11
                                    

Keesokan harinya, aku mengikuti kuliah pagi dari jam 8 sampai jam 10. Karna tadi Pak Yan memberi tugas maka aku dan 2 mahasiswa lain berdiskusi sebentar untuk membagi tugas. Lalu aku pun turun ke lantai 2 mengambil kunci laboratorium. Aku berpapasan dengan Pak Andre saat melewati bagian resepsionis.

"Jangan lupa nanti siang." Ujarnya sambil berbisik dan melemparkan senyumnya padaku. Kubalas dengan anggukan dan berlalu.

Ku buka ruangan laboratorium, melakukan perkerjaan seperti biasa yaitu menata dan mengecek ulang bahan dan alat yang kemarin sempat di pergunakan junior untuk praktikum. Asyik dengan segala hal di laboratorium membuatku tak sadar bahwa bu Rere sudah duduk dikursi dekatku yang sedang menyortir bahan.

"Mbak Fia, kemarin aku di bilangin sama bu Tuti."

"Ada apa ya bu? Apa kemarin praktikan ada yang salah?" Aku cemas, takut bahwa kemarin mungkin aku memberi arahan yang salah pada praktikan.

"Oh nggak-nggak. Cuma bu Tuti suka dengan kinerjanya mbak Fia. Beliau berharap mbak Fia bisa selalu bantu bu Tuti kalau ada praktikum."

"Ah.. saya pikir ada apa bu. Dengan senang hati saya akan membantu." Ujarku sambil tersenyum.

"Syukurlah kalau gitu. Ngomong-ngomong kurang berapa semester lagi mbak disini?"

"Dua bu."

"Lanjut apa kerja?"

"Masih belum tahu bu, inginnya sih kuliah lagi. Saya begitu tertarik dengan dunia teknik lingkungan ini."

"Benarkah?"

"Iya bu, gara-gara tugas dari bu Tuti juga semester lalu, pemberdayaan masyarakat. Jadi suka sharing dengan masyarakat tentang lingkungan."

"Hmmm... lingkungan berbasis masyarakat memang paling seru dan menantang untuk di lakuin. Karna memang merubah mindset masyarakat kita adalah tantangan terbesar." Aku mengangguk setuju. "Kalau gitu lanjut S2 aja. Sekalian nanti jadi dosen disini. Gimana?"

Aku tersenyum. "Insya allah bu." Setelah kami ngobrol bu Rere kembali ke lantai 2. Aku kembali dengan pembukuan alat dan bahan. Tring! Wa masuk. Pak Andre.

'Dimana?'

'Masih di lab pak. Bertemu dimana?' Ku balas.

'Di food court deket kampus ya. Aku berangkat sekarang.'

'Baik pak.'

Tak lama kulihat pak Andre keluar dengan sepeda motornya. Dari laboratorium lt.1 memang terlihat dan ia menoleh padaku. Aku membereskan sedikit kekacauan yang aku buat lalu mengunci pintu laboratorium dan kuncinya aku serahkan pada anak yang sedang berada di ruang SENAT, tak jauh dari laboratorium.

"Rek, nitip sebentar ya. Kalau ada yang nyariin kunci lab tolong dikasihkan." Ujarku mengantung kunci di dekat pintu senat.

"Ok. Mbak Fi..." sahut mereka.

Kunaiki sepeda motorku menuju tempat pertemuan kami. Sesampainya di food court, ku cari sekeliling lokasi. Aku lupa tak menggunakan kacamataku. Kondisi seperti ini kadang merepotkan tapi menurutku lebih merepotkan lagi jika menggunakan kacamata. Pak Andre melambaikan tangannya. Kuhampiri pak Andre. Aku duduk dihadapannya.

"Pesen apa?" Tanyanya.

"Bapak pesen apa?"

"Lha di tanyain malah balik nanya?"

Aku tolah toleh untuk lihat makanan apa yang mau aku masukkan ke perut siang ini. Kulihat ada soto daging. Aku pun berdiri dan bersiap menuju court soto.

"Biar aku yang pesenin." Pak andre menghalangiku untuk pesan. "Pesen apa?"

"Hmmm... biar saya sendiri aja."

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang