Keputusan

22.6K 1.3K 6
                                    

Dalam perjalanan pulang aku memikirkan apa yang harus aku katakan pada Pak Andre. Aku harus bagaimana?

Sesampainya di rumah aku langsung masuk dan menuju kamar. Ku hapus make upku dan berganti pakaian. Long dress biru dan kerudung lebar warna putih. Ku ambil hp dari tasku. Kulihat notif dari pak Andre. Ia menelfonku dan sms.

'Udah di rumah?'

'Sudah pak, saya tunggu di rumah.' Balasku sambil menggigit jari cemas.

Kira-kira Chika sudah cerita apa belum ya? Apa yang harus aku katakan. Belum ada lima menit bel rumah berbunyi. Aku bergegas turun. Kebetulan di rumah hanya ada aku. Ibu dan adek ke rumah kakakku karna tahu aku kerja. Aku pun sudah ijin kalau Pak Andre ke rumah. Ibu menyuruh untuk menyusul ke rumah kakak yang sekitar 15 menit dari rumah ini. Pak Andre berdiri di depan gerbang sambil tersenyum.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Aku gugup. Sama gugupnya saat ia pertama kali mengajakku ngobrol. "Mau masuk sebentar atau langsung ke rumah kakak?"

"Bisa ngobrol sebentar?" Aku pun menyilahkan beliau masuk dan duduk di teras. Duh kayaknya si Chika memang sudah laporan. Aku menundukkan wajahku.

"Fia nggak ada yang ingin di sampaikan ke aku?"

Kutatap, bingung harus bicara gimana. Akhirnya yang keluar hanya gelengan pelan.

"Fia, ehm... menurutku Fia menyembunyikan sesuatu dariku." Lama aku terdiam.

"Saya... sungguh ingin mengatakan banyak hal namun hubungan kita juga tak tentu. Saya bingung apa wajib bagi saya mengatakan pada pak Andre atau tidak."

"Begitu menurut Fia? Aku pikir kita saling berbagi pemikiran." Wajahnya agak marah. Sungguh aku ingin mengatakannya tapi hati ini tak ingin kehilanganmu.

"Apa bisa pak Andre menerima saya jika saya mengatakan yang sesungguhnya?"

"Kenapa begitu rumit pemikiranmu? Tak bisakah kita saling terbuka satu sama lain?"

"Saya hanya tak ingin pak Andre..." kuhentikan kata-kataku. Tangaku bergetar dan tak terasa air mataku mengalir. Memang serumit inilah aku. Menyukaimu namun tak mampu menerima jika kamu membenciku.

"Maaf jika aku terlalu keras. Aku hanya ingin mengenalmu lebih Fia. Fia mau berbagi sedikit kegelisahan ke aku. Aku akan berusaha open minded." Ia menepuk bahuku lembut.

"Terserah Fia mau seperti apa sekarang. Aku tidak akan memaksa." Lanjutnya.

"Pak Andre sudah mendengar dari Chika?" Ujarku mantap.

"Ya, Chika menelfonku tadi sebelun kesini."

"Saya sudah kerja disitu 1 bulan ini dan gajinya cukup untuk sehari-hari."
Ku atur napas dan pak Andre sabar menanti ceritaku.
"Saat pak Andre membantu saya berkerja jadi Aslab saya sudah di terima. Dan saya memilih mengambil dua-duanya. Sungguh saya ingin cerita ke pak Andre namun saya tak bisa."

Pak Andre, menundukkan wajahnya dan sedikit tersenyum.

"Nah, mudah kan?" Katanya sambil senyum padaku. "Semudah itu seharusnya, aku sama sekali tak keberatan. Seperti yang kamu bilang bahwa hubungan kita memang belum berarti apa-apa, aku tak berhak mengatur tapi setidaknya ceritalah padaku. Aku banyak bercerita tentang diriku namun tak banyak cerita yang keluar dari mulutmu." Bukan hanya bibirnya yang tersenyum namun matanya juga ikut tersenyum, 'eye smile'. Mau tak mau aku ikut tersenyum. Hatiku menjadi lega. Aku harap pak Andre juga seperti ini jika aku cerita tentang keluargaku sesungguhnya.
Setelah itu kami ke rumah kakak.

Saat di rumah kakak kami banyak ngobrol tentang keponakanku, Radit, yang jalannya nggak bisa nyantai alias lari tanpa rem. Pak Andre gemas lihat tingkah Radit, sesekali ia menggendong dan mengajak jalan-jalan.

Bertemu di AkadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang