"Taman Ujung Lorong"

5.8K 225 4
                                    

Melupakan seseorang yang pernah memiliki arti lebih itu tidak mudah.

☕☕☕

Bahkan saat jarum jam mengenai angka dua belas, Natalie belum bisa menutup matanya untuk sekedar tidur dan bermimpi bahwa semua baik-baik saja. Seolah ada sesuatu yang mengganjal hatinya untuk tetap terjaga. Walaupun Ridan sudah bilang berapa kali kalau Natalie hanya perlu melupakan hal itu sejanak, namun setelah lelaki itu pergi dari rumahnya kira-kira satu setangah jam yang lalu, hal itu belum terealisasi di benak Nata.

Duduk di tempat tidur dengan lampu yang membuat kamar Nata benderang seperti siang hari, gadis itu menatap saja pada diary merah yang ada di tangan serta mendengar dentingan detik jam yang akan membawanya ke tengah malam.

Seharusnya, Natalie sudah tidur. Karena besok, dia harus menyiapkan tenaga (lagi) untuk lari dari les matematika privat yang memang dilaksanakan Minggu dan Senin demi menonton pertandingan Revin, ralat maksudnya adalah Ridan. Pasalnya, kabur dari raut wajah ibunya yang akan berubah drastis akan penurunan nilai Nata adalah hal yang paling sulit selain menghitung jumlah bulu kucing. Setelah kemarin kabur hanya untuk memberi Revin minuman dingin, rasanya sangat mustahil kalau Natalue pergi dengan minta izin. Sama saja cari bahaya.

Namun, matanya sama sekali tidak bisa terpejam sedikit saja. Batinnya menangis, walaupun tidak ada air mata yang keluar dari mata Nata. Hanya saja dia benar-benar terpukul, karena Revin. Tentu gadis itu tidak terima kalau dia dibuat sebagai mainan, tapi di sisi lain, dia ingin mendekap Revin. Layaknya orang bodoh yang selalu bertahan jika tersakiti.

"Gue ga terima tapi gue ga bisa juga buat lupain dia!" pekik Nata seraya bangkit dan menuju meja belajarnya.

Dipandanginya semua tempelan yang menyajikan nama Revin Winata, lelaki dingin.

Di balik kekesalannya, ada satu hal juga yang mengganggu pikiran Natalie. Yaitu alibi Ridan yang menyatakan kalau Revin bukan seorang yang suka memainkan perasaan wanita. Dia beranggapan kalau yang mengirim pesan itu adalah Haydar. Namun, bagi Nata, pemikiran Ridan adalah salah satu bentuk pendapat yang terlalu jauh dari kata sebenarnya.

Gadis itu meletakkan secara asal buku merah miliknya, kemudian melenggang pelan ke tempat tidurnya. Dia berbaring kemudian mencoba menutup matanya. Walau sebenarnya bukan tidur, tapi seandainya jika seseorang melihatnya, pasti berpikir kalau gadis itu terlelap. Padahal tidak. Dia hanya memikirkan Revin di otaknya.

Sampai tengah malam dia terbawa kantuk, lalu tertidur.

***

Pagi itu cukup indah. Saat Natalie membuka gorden dan pintu kaca balkonnya, dia menghirup udara sebanyak yang bisa ditampung oleh paru-parunya. Sinar mentari pagi smpai ke celah, menerpa kulit Natalie. Berjemur adalah cara yang baik untuk melawan hawa dingin yang masih tersisa. Sengaja Natalie tidak menyentuh teralis besi yang sudah ditempeli butih-butir embun yang sangat dingin.

Gadis itu menarik sebuah sofa bean bag dan duduk manis. Sungguh bahagia, kebiasaan hari Minggu yang seting dia lakukan. Namun tiba-tiba gafis itu tersentak, dia ingat lagi satu hal yang sungguh membuatnya kesal lagi. Revin Winata.

Dia mendecak ketika terdengar suara pintu balkon di seberang akan terbuka. Gadis itu memutar bola matanya dan meraih sebuah majalah dari meja yang memang sudah ada fi balkonya sejak lama. Dia menutu wajah dengan buku itu, sampai akhirnya seseorang di seberang sampai ke ujung balkon dan melihat Natalie.

Sungguh, Natalie tidak ingin yang berdiri di sana adalah Revin. Namun di balik hati kecilnya, dia juga ingin kalau seseorang itu adalah Revin. Jujur saja. Dia tidak akan munafik lagi, kemudian memilih melepas majalah itu dari atas wajahnya, dan mengintip siapa yang keluar dari balkon rumah Revin barusan.

Mr. Ice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang