"Revinata"

7.1K 279 4
                                    

Es tidak langsung mencair. Masih ada waktu dan proses. Seperti hatimu. Sayangnya, aku bukan orang yang kuat menunggu. Jadi, cepatlah!

☕☕☕

Revin meletakkan komik pilihannya. Tidak menoleh sedikit saja kepada gadis itu. Tatapannya kosong, namun Nata tahu kalau pikirannya sedang tidak ada di situ. Natalie menjadi sedikit tidak enak, karena dia tahu kalau sebenarnya ini bukan urusannya.

Natalie tertunduk lalu berusaha untuk tidak bicara lagi. Dia takut kalau Revin akan marah kepadanya lalu menjadi dingin. Tidak terbayangkan.

Lelaki itu menoleh kepada Nata sekejap, tepat saat gadis itu menatap Revin lekat-lekat. Ada perasaan bersalah di mata gadis itu, seperti menyesal karena terlalu lancang. Memang dia sadar kalau ini tidak masalahnya, tapi ini juga menjadi bagian dari Nata. Pasalnya, dia akan mencari tahu mengenai sifat si Revin dengan masalah ini.

Dengan sedikit percaya diri dan melawan ketakutannya, Nata memasang wajah serius yang pernah dia keluarkan saat test dadakan matematika.

"Gue tau ini bukan urusan gue, tapi Haydar-"

"Haydar jelek-jelekin gue di depan lo?"

Natalie mengangguk pelan.

"Lo ga usah heran, itu prioritas utama dia sekarang." lanjut Revin.

"Tapi ini kenyataan, makanya sembilan anak itu makin menderita. Apalagi tempat tinggal mereka semua bakal digusur. Kasihan Haydar. Anak-anak itu udah dia anggap jadi sahabat, bahkan saudaranya sendiri."

Revin menghela napas panjang dan berdiri dari tempatnya, "Dan gue ga dianggap jadi saudara. Ayo cari makan, kita omongin di resto. Ambil buku lo!"

Keduanya berjalan beriringan, membayar buku, dan keluar menuju parkiran yang ramai dengan Kendaraan. Pemiliknya bukan ada di toko buku, mereka hanya menumpang untuk parkir saja.

Mereka melaju di jalanan. Sekitar sepuluh menit mereka beradu di jalan, akhirnya mereka sampai di sebuah resto dengan tema kayu. Pintu kacanya menggambarkan keunikan dari tempat makan itu. Masuk melewati pintu utama, langsung terlihat beberapa meja dan kursi kayu yang di-design sangat sempurna. Belum lagi lampu yang terang terpampang, hiasan guci, dan barang antik lain.

Keduanya mengambil tempat yang paling dekat dengan kaca one way yang mempersilahkan mereka dengan leluasa memandangi susana senja di kota.

Natalie meraih kertas menu dan membaca jenis makanan dan minuman. Deretan hidangan yang notabene ialah masakan luar negeri. Nata tersenyum ketika menemukan daftar makanan kentang. Namun senyumnya menciut ketika mengingat dia bersama Revin, dan itu susah.

"Ini!" Natalie menyerahkan menu makanan kepada Revin.
Revin menaikkan alis, lalu tertawa pelan. "Pesen aja, gue pesen apa yang lo mah. Minumannya air putih aja."
Gadis itu mengangguk, lalu menoleh pada pelayan berbaju putih dengan rok hitam. Rambut digulung dan tangannya memegangi papan untuk menulis.

"Baked hesselback potato, baked red potate wedges potato balls, potato chips, oh chips-nya dua porsi, orange juice, sama air putih."

Pelayan tersebut menulis semua dengan cepar, lalu pergi untuk menyampaikan pada koki.

Natalie kembali fokus kepada satu titik yaitu wajah Revin. Andai saja lelaki itu tidak dingin, bukan-- maksudnya, andai lelaki itu tidak sangat dingin. Natalie tahu, yang membuat Revin terkesan keren adalah sifatnya yang batu.

"Gue bisa ngomong lagi?" tanya Natalie.

"Hm, ngomong aja sampe mulut lo berbusa."

Nata tersinggung. Revin seperti baru menyindirnya karena sudah banyak bicara dari tadi. Tapi kan tidak apa-apa selagi ini adalah hal penting. Kecuali kalau Nata bercerita soal cara reproduksi amuba, baru Revin boleh menyindir begitu.

Mr. Ice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang