Silvana mengulurkan tangannya demi menyentuh kening Fiona. Tiba-tiba saja gadis itu tersentak. Kelopak matanya membuka seketika, disertai sorot nyalang yang penuh ketakutan. Guratan-guratan kemerahan mencemari sklera Fiona. Silvana terperangah. Pandangan Fiona yang berkabut agak menghalanginya mengenali langsung seseorang di dekatnya. Dia bahkan menepis keras tangan Silvana gara-gara itu.

"Ini aku," ucap Silvana. "Ini aku."

Fiona menarik tubuhnya hingga punggungnya menghimpit ke sandaran ranjang. Butuh beberapa detik baginya untuk bisa mengenali Silvana.

"A-apa yang kau lakukan di sini?" Fiona melunak. Ketakutannya sirna, tapi kadar kegelisahannya masih sama.

Tidak langsung menjawab, iris safir Silvana mengamati segala detil rona Fiona secara seksama. Gadis itu tidak berhenti meremas-remas selimut hingga amat kusut. Tangan kanannya dibebat. Fiona yang Silvana ingat selalu rapi dan tampak segar kini terlihat berbanding terbalik. Berat tubuhnya merosot drastis. Tapi bukan itu saja yang mengganggu Silvana. Hal lain yang selanjutnya dia lihat, seketika membuatnya tegang.

"Kau bermimpi buruk?" tanya Silvana yang menatap serius pada Fiona.

Mata Fiona berkedut lemah. Debaran yang menyesakkan di rongga dadanya sangat berpengaruh pada emosinya yang kadang tidak stabil. Fiona telah beberapa kali bersikap keras pada siswa lain, termasuk pada Areah. Dilihatnya Areah menampakkan raut cemas, membuat Fiona merasa tidak nyaman. Dia pun bisa menyimpulkan Areah telah menceritakan segala sesuatunya pada Silvana.

"Aku tidak tahu..," ucap Fiona resah. Dia menutup wajahnya frustrasi. "Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi padaku."

Setelah mendengar Fiona memaparkan seluruhnya, Silvana keluar dari Cith dalam keadaan kalut. Meski telah berusaha meyakinkan Fiona kalau segalanya akan baik-baik saja, Silvana mulai meragukannya. Gambaran bayangan yang dia lihat ketika menatap Fiona, menggiringnya pada sesuatu yang buruk. Hal ini sama persis bayangan firasatnya sewaktu di Kith—di mana prajurit-prajurit benteng Var tewas dibantai di perairan dekat pulau Phranoa.

Dalam benaknya, Fiona berbaring tertelungkup dan bersimbah darah. Ada seseorang yang sengaja mencelakainya.

Apa yang harus Silvana lakukan? Kapan hal itu akan terjadi?

"Itu bukan kutukan berlian hitam..," gumam Silvana yang telah berdiri di balkon kamarnya sendiri. "Tubuhnya baik-baik saja, tapi mentalnya melemah karena mimpi buruk itu. Seseorang menerornya, namun tidak terdeteksi ritual penyisiran."

Kia berdiri tepat di belakangnya dan diam seperti patung. Setelah mengawasi Silvana dalam kurun waktu yang lama, gadis itu akhirnya benar-benar memanggilnya. Mata dengan pendar cahaya hijaunya berkilat. Sosok di hadapannya seakan tidak sama dengan Silvana Burö yang Kia kenal. Entah apa yang Var maksudkan dengan meninggalkan gadis itu, yang pasti sekarang, sikap Silvana mulai terarah pada pengendalian diri.

"Jaga dia untukku," pinta Silvana. "Jaga temanku, Kia. Jangan sampai dia terluka. Aku mengandalkanmu."

Tombol perintah itu telah ditekan. Sosok Kia berlalu dengan cepat tanpa Silvana sempat menoleh. Perhatian Silvana saat itu juga beralih pada seseorang yang berdiri di atas bangunan di samping asramanya. Silvana mendongak.

Ekspresi meremehkan beserta seringai yang ditunjukkan Cambyses tidak berubah. Jubah putih laki-laki itu meliuk ke samping. Sepertinya dia hadir tepat setelah Kia pergi sehingga auranya tidak akan disadari. Namun teruntuk Silvana yang telah jauh lebih peka mengenali pancaran serpihan berlian terbesar yang dibawa Cambyses, gadis itu bisa mengetahui kedatangannya di saat yang sama.

Cambyses memutuskan berhenti bermain kucing-kucingan dengan Silvana. Gadis itu menatapnya lekat seakan mengundangnya supaya berhadapan langsung. Tubuh Cambyses pun kemudian melayang turun dan dalam hitungan detik telah menjulang persis di depan Silvana.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now