BUNGA

91 0 3
                                    

--Bunga
"Pranggg..." sebuah suara terdengar dari arah dapur. Aku yang sedang menggambar, terkejut lantas segera mengintip dari balik pintu kayu kamarku. Ada apa ya? Bisik hatiku, aku mencoba untuk tetap tenang. Ku tarik napas yang panjang dari hidung dan ku hembuskan perlahan. Ternyata suara tadi dari piring yang Ibu pecahkan.

"Kamu kenapa sih banting-banting barang?" Teriak Bapak dengan suara lantang.

Aku bergedik, baru kali ini ku dengar Bapak teriak sekeras itu.

"Kamu itu yang kenapa hah?! Dari tempat selingkuhanmu itu ya di KM 25, di telponin dari tadi nggak diangkat-angkat. Sudah puas kamu main disana? Kamu pikir kamu siapa hah, seenaknya saja memperlakukan aku!" semprot Ibu tak kalah kencang, kedua bola matanya melolot ke arah Bapak. Aku melihat rahang ibu mengeras.

Bapak tak kalah sinisnya, "Aku dari jualkan mobil orang di sana. Apa sih pikiranmu itu? Kenapa kamu pikir yang macam-macam?"

"Apa aku nggak salah dengar?" Ibu memegangi telinganya, dan lalu menurunkan tangannya, "Kamu itu dari dulu yang macam-macam! Keluyuran nggak jelas, cepat ngaku sajalah! Biar ini jadi bukti dipengadilan nanti!"

"Aku nggak ngapa-ngapain kok disana! Kamu ini kalau nuduh jangan macam-macam. Suami baru pulang kok malah dimaki-maki." balas Bapak, dia beranjak ke ruang tamu.

Sementara Ibu tiba-tiba masuk ke kamar, entah apa yang hendak dia lakukan. Aku masih menunggu sambil terus mengelus dada dan berdoa. Sejenak aku merasakan pelepuk mataku mulai menghangat, ya pasti sebentar lagi bulir air mata akan jatuh.

"Ibu mau kemana?" tanya Kakakku, Kak Mey memegangi lengan Ibu dengan erat.

"Ibu mau pergi. Bapakmu nggak pernah hargain ibu sedikitpun!" jawab Ibu lirih, sementara tangan kanannya membawa tas jinjing berwarna biru yang berisi pakaian.

Aku tak kuasa menahan air mataku lagi. Ibu menyuruh Kak Mey melepaskan cengkramannya, tapi Kak Mey menggelengkan kepalanya sambil terus terisak, "Ibu jangan pergi, Mey dan adik akan kesepian bu!" katanya disela tangisnya.

Ibu mengelus lembut kepala Kak Mey, lalu jemarinya menyentuh pipi Kak Mey, lantas mengusap air mata anak gadisnya itu. Aku terhenyak, kaki membeku disela pandanganku yang masih melihat kejadian tersebut. Aku menutup mulutku, menahan agar jangan sampai suara tangisku terdengar.

Ibu dan Kak Mey masih saling memandang. Mereka berdua menangis tersedu-sedu, aku tau suara mereka jelas terdengar hingga ruang tamu. Hingga ku dengar suara langkah kaki Bapak.

"Heh? Kamu mau kemana?" bentak Bapak kemudian. "apa tak cukup penjelasanku tadi? Kamu itu jadi wanita kok tadi ada ngerti-ngertinya ya! Aku ini sudah tua buat apa aku selingkuh-selingkuh? Coba kamu pikir pakai otakmu itu?"

"Kamu selalu pulang larut malam dan kamu bilang aku harus mengerti hah? Laki-laki macam apa kamu ini? Apa kamu pernah memikirkan hidup anak-anak atau mengurus anak-anak hah? Kamu itu yang seharusnya berpikir, apakah kamu masih waras? Sedangkan, kalau ada masalah di tempat kerja kamu selalu membentakku?"

"Heh... wanita tak tau diuntung! Masih baik aku mau menafkahimu ya!"

"Aku kalau tau kamu akan memperlakukan ku dengan sekeji ini? Aku nggak bakalan pernah sudi jadi istrimu. Kamu harusnya tau, Mas! Aku sudah rela meninggalkan keluargaku untuk mengurusmu dan anak-anakmu. Tapi, kamu! Ah apa yang sudah kamu lakukan? Sibuk menghabiskan uang disana-sini, membeli hal-hal yang tidak penting, ah dan mungkin juga membeli wanita jalang itu!"

"Plakk....!" suara itu terdengar hingga ke kamarku, kakiku kembali membeku tambah membeku hingga aku jatuh terduduk. Pensil warna yang kugenggam terlepas, duniaku serasa hancur.

Memori (?)Where stories live. Discover now