Tongkat-tongkat lonceng tidak lagi digerakkan. Bisikan mantera tidak lagi terdengar. Mereka semua diam saat Fiona membuka mata lebar-lebar, melihat ke permukaan air di bawahnya. Mulanya gadis itu hanya melihat bayangannya sendiri yang terpantul. Namun perlahan-lahan, bercak-bercak hitam timbul pada rona air yang kekuningan.

Kontan jantung Fiona berdetak dua kali lebih kencang. Saking tegangnya sampai-sampai dia tidak sadar telah menahan napas lama. Terkesiap, Fiona tersungkur. Wajahnya pucat diikuti dengan bulir-bulir keringat dingin yang berjatuhan.

Firasat buruk.

"Apa yang kau lihat?" tanya salah seorang anggota dewan komite. Selain Fiona tidak ada yang bisa melihat apa yang telah Fiona saksikan barusan.

Fiona diam sembari menggigit bibir. Bayangan hitam yang dilihatnya, sepertinya berhubungan dengan aura iblis yang dia rasakan beberapa kali terakhir.

Tangan Fiona terkepal. Mendadak gadis itu kembali ke pinggir kolam dengan mata yang menyorot nyalang. Di saat orang selainnya saling bertukar pandang bingung, Fiona tidak ragu melepaskan pancaran kekuatan aslinya seketika. Dalam sekejap dia memunculkan sebilah tongkat sebagai gambaran inti dirinya.

"Apa yang kau lakukan?"

Fiona tidak langsung menjawab. Saat puncak tongkatnya mengayun ke udara, layar kabut bundar terpampang di depan mereka sekarang. Fiona menggertakkan rahang, mencoba memutar kembali bayangan tadi—kali ini lebih kuat dan jelas.

Sialan! Dia menjerit dalam hati. Firasatnya akhir-akhir ini tidak meleset.

Sejak kapan perisai pelindung Gihon mampu diterobos untuk yang kedua kalinya? Terlebih lagi, Fiona sadar jika dirinya sekali lagi berhadapan dengan seseorang yang membawa anomali. Hanya saja orang ini tidak sama dengan Quon.

Dia lebih jahat.

Lebih mengerikan.

Dan memiliki kekuatan mematikan bila kembali ke tubuh aslinya.

***

Var mencelupkan sehelai kain putih ke air dalam baskom. Sambil mendesis menahan nyeri, laki-laki itu memerasnya hingga setengah tuntas. Dia lalu menekan luka menganga di lengannya menggunakan kain basah tersebut.

Setelah lebih dari satu jam bergumul dengan orang seperti Cyde, apa yang mereka harapkan? Salah satunya lebih unggul dengan luka yang minim? Oh, yang benar saja. Keduanya sama-sama berantakan. Entah setan apa yang merasuki Cyde hingga habis-habisan menghajar Var. Emosi Cyde juga entah kenapa menular pada Var. Keduanya seperti bertarung seolah hanya satu di antara mereka yang dibiarkan hidup di luar kerangkeng arena.

Baik Cyde dan Var sama-sama merasa tidak puas.

Wajah Var babak belur, dan sesaat sebelum kerangkeng itu dibuka, dirinya sudah susah payah berdiri. Pedang yang dia pakai untuk menyangga bahkan sempat meleset hingga laki-laki itu nyaris jatuh tengkurap.

Keadaan Cyde juga tidak kalah mengenaskan. Seragam dari pinggang sampai ke bahu kanan Cyde koyak dan tidak lagi berbentuk. Pada tulang pipinya telah dipenuhi warna merah gelap. Peluhnya mengalir menganak sungai.

Sampai akhir tidak ada yang mau mengalah. Mereka pun terpaksa mengakhiri duel karena seorang guru datang dan memaksa kerangkeng itu dienyahkan.

Pintu kamar Var diketuk. Masuklah Rife yang mengerjap terkejut melihat Var yang tengah telanjang dada. Selesai duel kemarin, Var kembali ke kamarnya sendiri setelah menolak dipapah. Rife tahu jika laki-laki itu terluka cukup parah, namun saat itu Var masih mengenakan seragam lengkap sehingga guratan lukanya tidak tampak. Sekarang begitu Rife menyelonong masuk kamar, barulah dia bisa meneliti tiap titik memar, goresan, dan luka menganga di badan Var yang padat.

Silver Maiden [Terbit]Where stories live. Discover now