-9-SMILE.

192K 12.3K 40
                                    

"Diers."

"Hm?"

"Apa kamu yang menyelimutiku tadi malam?" Tanya Dyta polos sambil melihat kukunya yang baru ia cat berwarna pinksoft.

"Yang benar saja?! Selimutku jatuh tepat ditubuhmu!" Jawab Diers rada gagu namun masih bisa mengontrol sifat tenangnya.

Sedangkan Dyta hanya membulatkan mulutnya menjadi huruf 'O' "Kalau ini?" Dyta menunjuk gelangnya sambil menatap Diers penasaran. Wajah Diers malah memerah, kenapa?

"A..apa?" Diers terbata.

"Kalau ini, apa kamu yang menaruhnya?" Ulang Dyta memperhatikan gelang yang sudah melingkar indah dipergelangan tangannya.

'Cari alasan...cari alasan..' Batin Diers tak tenang.

"Oh, kalau itu, aku lupa bicara padamu. Gelang itu akan kembali pada yang terakhir memakainya, makanya sekarang gelangnya ada ditanganmu." Bohongnya puas.

Dyta kembali membulatkan mulutnya menjadi huruf 'O' "Tapi ini gak papa buat aku?"

Masih.

Ia masih saja bertanya.

Padahal, Diers ingin menenangkan diri dari kagoknya yang disebabkan oleh wanita didepannya ini. Huh, Dyta ini memang selalu saja membuatnya berfikir lebih banyak untuk mencari alasan bodoh lainnya. "Ya, siapa suruh make tanpa izin. Yasudah, ambil saja. Aku tak butuh." Jawab Diers rada kesal.

"Terimakasih!" Ujar Dyta tersenyum girang.

***

Dyta menyuguhkan teh hangat untuk Diers yang sekarang berada di balkon kamarnya. Malam ini, memang lagi puncak terdinginnya udara sepertinya. "Lain kali kalau bikin teh jangan terlalu manis." Ujar Diers dingin sambil menatap kearah Dyta. Masih dengan wajah flatnya.

"Oke." Balas Dyta membulatkan matanya sambil duduk disamping Diers.

"Ah ya!"

"Hm?"

"Kapan kita balik ke apartment?" Tanya Dyta menatap Diers penuh pengharapan. Sedangkan, yang ditatap masih sibuk dengan laptopnya.

"Maunya?"

"Ayolah, Diers. Aku gak enak lama-lama dirumah orangtuamu. Kerjaanku hanya menyusahkan mereka saja sepertinya." Sebenarnya, Dyta bohong. Ia hanya bosan saja dirumah ini. Tidak ada sesuatu baik untuk dilakukan kecuali makan dan tidur.

"Kira-kira satu minggu lagi. Aku juga sudah menyewa lebih banyak pekerja agar lebih cepat pembangunannya." Jelas Diers masih sibuk dengan laptopnya.

Dyta menganggukan kepalanya. Tiba-tiba saja tatapannya terfokus dengan bulan penuh dan bintang yang tak sebanyak biasanya. Sangat indah sekali, sungguh. "Diers."

"Hm?"

"Kamu tau apa yang indah dari bulan?" Tanya Dyta mendekatkan wajahnya ke wajah Diers sambil menunjuk bulan besar didepannya.

"Apa?"

"Dia mau menyinari malamnya dalam keadaan apapun dan ia juga siap jadi pelampiasan kegelapan!" Jelas Dyta tersenyum senang. Matanya masih terpacu pada bulan yang sering kali dihina karena keberuntusan dan kejelekannya.

"Kan ada bintang." Kini Diers yang menatap Dyta. Baru kali ini Diers menatap wanita didepannya sedekat ini. Dyta cantik. Sungguh, jika saja pertemuan awalnya tak sehedon dan tak sebodoh kemarin pasti tak akan seperti ini jadinya. Bisa jadi, mereka akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Ah, pemikiran macam apa ini. Bodoh sekali.

"Di Jakarta bintang dikit. Jangan terlalu berharap banyak sama bintang."

"Kenapa?"

"Bintang itu sering jatuh, tapi bulan gak pernah jatuh!" Jawab Dyta masih sama girangnya dengan yang tadi.

"Syadyta Berria, bintang jatuh itu hanya ada di dongeng." Balas Diers sambil menghembuskan nafas pelan.

Dyta langsung mencubit pinggang Diers keras. "Ish! Kamu gak tau apa kalau aku lagi belajar bijak!" Kesalnya sambil mengecap keras dan meninggalkan Diers yang masih terkekeh karena ulah dan perkataannya barusan.

"Lucu."

SAH! [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang